U M U M
Pemerintah telah mencanangkan
bahwa Indonesia ke depan haruslah Indonesia yang berkembang berdasarkan jiwa,
semangat, nilai, dan konsensus dasar berdirinya negara Republik Indonesia.
Indonesia ke depan haruslah Indonesia yang tahan terhadap resesi, krisis, dan
berbagai goncangan perubahan. Indonesia ke depan haruslah Indonesia yang siap
menghadapi perubahan serta yakin akan keharusan pergaulan internasional. Untuk
itu, telah ditetapkan tiga agenda pembangunan nasional, yaitu mewujudkan
Indonesia yang lebih aman, damai, lebih adil, demokratis, dan lebih sejahtera.
Ketiga agenda pembangunan tersebut pada dasarnya merupakan tiga pilar
pembangunan yang saling memperkuat bangunan masyarakat adil, aman, makmur, dan
sejahtera.
Upaya untuk mewujudkan ketiga
agenda tersebut telah dituangkan secara sistematis dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004–2009 dan dijabarkan lebih lanjut dalam
Rencana Kerja Pemerintah setiap tahunnya. Namun, pada saat RPJMN ini masih
disusun, Kabinet Indonesia Bersatu telah sejak awal memulai langkah-langkah
yang diperlukan melalui pelaksanaan Agenda 100 hari pertama Kabinet Indonesia
Bersatu.
Dalam kaitan itu laporan
pelaksanaan pembangunan ini mencakup masa 10 bulan pelaksanaan pembangunan nasional
dengan mengacu kepada RPJMN termasuk pelaksanaan Agenda 100 Hari Pertama
Kabinet Indonesia Bersatu. Dalam uraian berikut akan disampaikan hasil-hasil
yang telah dicapai dan rencana ke depan untuk mengatasi berbagai permasalahan
dan tantangan pembangunan yang masih dihadapi.
I. Agenda Mewujudkan Indonesia yang Aman dan
Damai
Dalam rangka mewujudkan Indonesia
yang aman dan damai dilakukan upaya meningkatkan rasa aman dan damai melalui
peningkatan rasa saling percaya dan harmonisasi antarkelompok masyarakat,
pengembangan kebudayaan yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur, peningkatan
keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas. Selanjutnya, untuk
memantapkan NKRI berdasarkan Pancasila dilakukan pencegahan dan penanggulangan
separatisme, pencegahan dan penanggulangan terorisme, dan peningkatan kemampuan
pertahanan negara. Dalam era globalisasi peranan Indonesia dalam percaturan
internasional untuk memperjuangkan kepentingan nasional harus terus diperkuat
dengan memantapkan politik luar negeri dan peningkatan kerja sama internasional
melalui peningkatan kualitas diplomasi Indonesia, komitmen terhadap integrasi
regional, khususnya di ASEAN serta melanjutkan komitmen Indonesia terhadap
upaya-upaya pemantapan perdamaian dunia.
A. Permasalahan yang Dihadapi
Kondisi keamanan sepanjang tahun 2004 telah menunjukkan perkembangan ke arah yang kondusif dalam mendukung terlaksananya
kegiatan pembangunan. Pelaksanaan Pemilu legislatif tahun 2004 dan Pemilu yang
untuk pertama kali memilih secara langsung Presiden dan Wakil Presiden secara
umum telah berlangsung aman dan damai. Namun, perkembangan selama 10 bulan
terakhir menunjukkan kondisi keamanan dan ketertiban di Indonesia masih rawan
terhadap berbagai gejolak.
Peristiwa pertikaian dan konflik
antargolongan dan kelompok masih mewarnai perpolitikan Tanah Air. Hingga
menjelang akhir tahun 2004, meskipun telah dapat dikurangi, peristiwa
pertikaian dan konflik antargolongan dan kelompok masih mewarnai perpolitikan
Tanah Air. Ini merupakan pertanda rendahnya saling percaya dan tiadanya harmoni di dalam masyarakat.
Beberapa konflik sosial yang berdimensi kekerasan politik dan menimbulkan
korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit telah terjadi di beberapa
daerah, di antaranya Mamasa pada bulan Oktober 2004, di Poso pada akhir tahun
2004, dan beberapa kali pada tahun 2005.
Upaya-upaya menghentikan konflik
telah dilakukan sejak konflik di Poso dimulai pada tahun 1998. Namun, situasi
konflik hanya dapat dihentikan sementara waktu karena kemudian muncul lagi konflik susulan dengan eskalasi konflik yang
makin meningkat dan lebih meluas. Pertemuan Malino tahun 2001 serta operasi
pemulihan keamanan Sintuwo Maroso merupakan beberapa upaya yang telah dilakukan
untuk mengatasi dan menuntaskan persoalan konflik di Poso. Munculnya kembali
konflik tersebut pada tahun 2004/2005 mencerminkan bahwa pemicu konflik
tampaknya belum sepenuhnya dapat dikendalikan.
Sementara itu, konflik Maluku dan
Maluku Utara berbasis isu agama sudah berhasil diredam. Kehidupan masyarakat
telah berangsur-angsur normal dan telah beraktivitas dan bekerja di
lokasi-lokasi yang kebanyakan penduduknya berbeda keyakinan agamanya. Bahkan,
warga antarkomunitas agama yang berbeda telah berbaur dan berinteraksi satu
sama lain. Namun, masyarakat Maluku dan Maluku Utara masih menyimpan trauma
akibat konflik yang berkepanjangan sehingga sangat rentan terhadap upaya
provokasi yang dilakukan oleh kelompok kepentingan tertentu.
Dalam hal pencegahan dan
penanggulangan gerakan separatisme, terutama di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
dan Papua, selama beberapa tahun terakhir telah dilakukan upaya intensif dan
telah menguras sumber daya nasional secara signifikan.
Kasus separatisme di NAD merupakan isu lama yang sampai saat ini masih terus diupayakan penyelesaiannya. Tidak sedikit korban jiwa yang jatuh serta tak terhitung kerugian materi yang ditimbulkannya, baik bagi pihak masyarakat, TNI, maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik juga menimbulkan ketakutan bagi masyarakat serta menyebabkan pembangunan di NAD tertinggal jika dibandingkan dengan provinsi yang lain di Indonesia.
Pada masa reformasi, pemerintah bekerja sama dengan masyarakat telah melaksanakan berbagai langkah penyelesaiannya. Penetapan status otonomi khusus terhadap Provinsi NAD melalui UU No. 21 Tahun 2001, tidak menghentikan perlawanan oleh pihak GAM sehingga terus dilakukan upaya penanganan khusus. Melalui penetapan NAD sebagai daerah dengan status darurat militer pada tahun 2003, secara bertahap keamanan berhasil dipulihkan, hingga akhirnya wilayah NAD ditetapkan sebagai daerah dengan status darurat sipil pada tanggal 18 Mei 2004. Dalam kaitan itu, Polri telah menggelar operasi penegakan hukum yang merupakan bagian dari lima program operasi terpadu. Meskipun telah memasuki tahapan penyelesaian dengan diberlakukannya tertib sipil, masalah separatisme NAD tetap membutuhkan penanganan yang tegas sekaligus hati-hati untuk menjamin integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bersamaan dengan itu, kasus separatisme di Papua secara simultan terus diupayakan penyelesaiannya secara komprehensif. Namun, sepanjang periode akhir tahun 2004, telah terjadi berbagai aksi kekerasan yang melibatkan kelompok-kelompok bersenjata tersebut. Misalnya, pada tanggal 14 Oktober 2004, terjadi penembakan terhadap enam warga sipil di Desa Goradi, Tinggi Nambut, Distrik Illu Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. Pada tanggal 12 Oktober 2004, sekelompok sipil bersenjata pimpinan Goliat Tabuni menembak mati enam sopir truk.
Di samping persoalan OPM,
persoalan signifikan lainnya yang terjadi di Papua adalah pertikaian antarsuku,
dan cara penyelesaiannya tidak mudah karena melibatkan ketentuan hukum adat
setempat, dan penolakan terhadap penerapan hukum formal bagi kasus-kasus
demikian. Selain rumit dan lama, perdamaian lewat hukum adat setempat juga
berbiaya besar yang biasanya dibebankan kepada pihak pemda. Potensi konflik
lainnya yang terjadi di Papua adalah berkaitan dengan masalah setuju dan tidak
setuju pemekaran wilayah dengan adanya pemberlakuan UU No. 45 Tahun 1999,
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2003 telah diputuskan pemekaran Irian Jaya
menjadi tiga provinsi, yaitu Papua, Irian Jaya Barat, dan Irian Jaya Tengah.
Provinsi Papua dan Irian Jaya Barat sudah terbentuk, tetapi masih menyisakan
persoalan dengan terjadinya setuju dan tidak setuju di masyarakat atas
penerapan UU tersebut. Potensi konflik juga dapat dicermati dari pecahnya
konflik horizontal Timika pada tanggal 23 Agustus 2003, menyusul Deklarasi
Irian Jaya Tengah.
Selanjutnya, ancaman teror bom
masih terus menghantui masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat di berbagai
belahan dunia. Terjadinya aksi-aksi terorisme di negara-negara yang relatif
maju dan kuat akhir-akhir ini dari segi pertahanan dan keamanan telah
membuktikan bahwa pencegahan dan penanggulangan secara konvensional bukanlah
jaminan untuk terciptanya rasa aman terhadap terorisme. Aksi-aksi teror di
Indonesia diduga memiliki motif bernuasa politik, SARA atau upaya pengalihan
perkara pengadilan, dan ditujukan untuk mengadu domba antarkelompok masyarakat.
Selama 10 bulan terakhir masih terjadi serangkaian kejadian penembakan,
pembunuhan, peledakan bom, dan penyerangan pos polisi di daerah konflik,
seperti wilayah Ambon dan Poso. Ledakan bom terbesar terjadi di Pasar Tentena,
Poso pada tahun 2005, telah memakan korban jiwa yang besar. Selanjutnya, belum
tertangkapnya otak peledakan Bom di J.W. Marriott dan di depan Kedutaan
Australia, menunjukkan bahwa kondisi Indonesia masih tetap rawan terhadap
berbagai aksi bom tersebut. Akibatnya, beberapa negara pada tahun 2005 masih
memberikan Travel Warning kepada
warga negaranya yang akan berkunjung ke Indonesia.
Sementara itu, kejahatan
konvensional yang merupakan karakteristik cerminan kondisi perekonomian,
intensitasnya masih cukup tinggi dan semakin bervariasi. Pada tahun 2005, masih
sering ditemukan peristiwa perampokan, baik di wilayah permukiman, sarana
angkutan, maupun pusat keramaian, perjudian, dan kejahatan narkoba di berbagai
daerah di Indonesia. Angka risiko terkena kejahatan telah meningkat, yaitu dari
77 per 100.000 penduduk menjadi 86 per 100.000 penduduk. Kondisi ini sangat
memprihatinkan karena melibatkan golongan pemuda, baik yang masih duduk di
bangku sekolah maupun perguruan tinggi.
Penyalahgunaan narkoba dari tahun
ke tahun menunjukkan angka yang terus meningkat, dari 3.478 kasus narkoba
dengan jumlah tersangka 4.955 orang pada tahun 2000, menjadi 8.401 kasus dengan
11.315 orang pada tahun 2004. Penyalahgunaan narkoba di Indonesia tersebut
telah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan, karena jumlah penggunanya
mencapai sekitar 3,2 juta orang. Akibat penyalahgunaan narkoba akan lebih parah
dikaitkan dengan ancaman ganda berupa penyebaran dan penularan berbagai
penyakit infeksi yang mematikan, seperti HIV/AIDS dan Hepatitis.
Dalam kaitannya dengan kejahatan
terhadap kekayaan negara, khususnya kekayaan alam, kejahatan pencurian kekayaan
nasional dan pencemaran terhadap lingkungan hidup masih marak terjadi. Praktik
pencurian ikan (illegal fishing), pencemaran laut, dan pembalakan liar (illegal
logging) terus dilakukan oleh penduduk Indonesia bersama-sama dengan
pelaku yang berasal dari negara-negara tetangga. Illegal logging merupakan ancaman yang paling serius bagi
keberlanjutan fungsi hutan, baik aspek ekonomi, ekologis, maupun sosial.
Kerugian hutan Indonesia akibat praktik illegal
logging diperkirakan mencapai US$ 5,7 miliar atau sekitar Rp46,74 triliun
per tahun, belum termasuk nilai kerugian dari aspek ekologis, seperti musnahnya
spesies langka, terganggunya daerah aliran sungai yang berimbas pada kehidupan
manusia dan sekitarnya yang berpotensi menimbulkan dampak bencana, seperti
tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan. Upaya untuk mengatasi masalah
pencurian kayu ini tidak mudah karena pelakunya memiliki jaringan yang sangat
luas. Selama ini, penegakan hukum terhadap upaya pencurian kekayaan alam
tersebut masih sangat lemah. Sementara itu, pengelolaan dan pemanfaatan
pulau-pulau kecil, terutama yang berada di wilayah terluar/terdepan, belum
optimal sehingga memudahkan terjadinya praktik-praktik ilegal tersebut yang
sangat merugikan negara.
Secara geopolitik dan
geostrategi, Indonesia terletak pada posisi yang strategis dan menentukan dalam
tata pergaulan dunia dan kawasan. Dengan potensi ancaman yang tidak ringan
serta kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang beragam, bangsa dan negara
Indonesia memerlukan kemampuan pertahanan negara yang kuat untuk menjamin tetap
tegaknya kedaulatan NKRI. Namun, setelah merebaknya krisis, pembangunan
kemampuan pertahanan relatif terabaikan sehingga mengakibatkan turunnya
kemampuan pertahanan negara secara keseluruhan. Lamanya penanggulangan gerakan
separatisme di NAD dan Papua serta konflik horizontal di Maluku, Maluku Utara,
Poso, dan Mamasa dan terjadinya peristiwa Ambalat dengan Malaysia menunjukkan
bahwa kemampuan pertahanan Indonesia yang lemah tidak saja rentan terhadap
ancaman dari luar, tetapi juga belum mampu meredam gangguan dari dalam.
Akibat anggaran pertahanan yang
belum memadai, yaitu 1,1 persen dari Produk Domestik Bruto atau 5,7 persen dari
APBN, dan adanya embargo yang dikenakan terhadap berbagai peralatan utama
sistem persenjataan TNI oleh negara-negara produsen telah menyebabkan kekuatan
pertahanan Indonesia berada dalam kondisi yang lemah. Sebagai pembanding,
Singapura mengalokasikan anggaran pertahanan nasionalnya sebesar 5,2 persen
dari Produk Domestik Bruto, Malaysia 4 persen, Thailand 2,8 persen, dan
Australia 2,3 persen. Kondisi ini terlihat sangat rawan terhadap berbagai
ancaman mengingat luasnya wilayah NKRI, baik wilayah daratan, laut, maupun
udara, terlebih lagi apabila timbul permasalahan lain, seperti bencana tsunami,
dalam hal itu terlihat keterbatasan TNI dalam rangka memberikan tanggap darurat
dalam waktu yang singkat. Kuantitas, kualitas, serta kesiapan operasional alat
utama sistem senjata (alutsista) yang ada sangat muskil untuk menjaga
integritas da keutuhan wilayah yurisdiksi secara optimal. Kondisi ideal, dalam
periode lima tahun ke depan, anggaran pembangunan pertahanan seharusnya
mencapai 3–4 persen dari Produk Domestik Bruto, atau sekurang-kurangnya 2
persen dari PDB untuk dapat memenuhi kebutuhan minimal pembangunan pertahanan.
Terlebih lagi jika timbul permasalahan lain yang tidak terduga, seperti bencana
alam.
Di samping itu, kebijakan dan
strategi pertahanan belum sepenuhnya bersifat komprehensif dan lebih difokuskan
pada aspek kekuatan inti pertahanan. Potensi dukungan pertahanan yang merupakan
salah satu aspek penting dalam pertahanan semesta juga belum didayagunakan
secara optimal sebagai akibat kebijakan dan strategi pertahanan yang relatif
bersifat parsial.
Sementara itu, rendahnya tingkat
kesejahteraan prajurit TNI juga merupakan masalah yang sangat serius karena
secara langsung atau tidak langsung dapat memengaruhi tingkat profesionalisme
dan kedisiplinan. Selanjutnya, selama ini sumber pengadaan atau pembelian
alutsista TNI sebagian besar berasal dari beberapa negara sehingga rentan
terhadap pembatasan atau embargo yang diterapkan oleh negara pemasok. Hal itu
menuntut adanya suatu industri pertahanan yang mampu menyediakan alutsista TNI,
yang persiapannya perlu dimulai dari sekarang.
Erat kaitannya dengan upaya
menciptakan rasa aman dan damai adalah pembangunan bidang kebudayaan yang
dimaksudkan untuk memperkuat jati diri bangsa, memantapkan budaya nasional,
menciptakan harmoni antarunit sosial, serta meningkatkan apresiasi dan kualitas
pengelolaan kekayaan budaya. Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak akhir
1997 yang selanjutnya, melahirkan krisis ekonomi dan politik telah mendorong
lahirnya era baru, era reformasi/era perubahan. Perubahan yang sangat cepat
tidak diimbangi oleh kesiapan budaya bangsa sehingga krisis tersebut tidak
dapat diatasi dengan cepat. Krisis tersebut terjadi bersamaan dengan menguatnya
orientasi kelompok, etnik, dan agama yang berpotensi menimbulkan disintegrasi
bangsa. Pada tahun 2004/2005 gejala polarisasi/ fragmentasi tersebut masih
mewarnai masyarakat Indonesia. Ini menunjukkan lemahnya kemampuan bangsa dalam
mengelola keragaman budaya.
Dari sisi eksternal, arus
globalisasi mengakibatkan semakin menipisnya batas-batas negara, terutama dalam
konteks sosial budaya sehingga tidak ada budaya yang steril dari pengaruh
budaya global. Hal yang memprihatinkan adalah masyarakat memiliki kecenderungan
lebih cepat mengadopsi budaya global yang negatif jika dibandingkan dengan
budaya global yang positif dan produktif. Demikian pula nilai-nilai solidaritas
sosial, kekeluargaan, keramahtamahan, dan rasa cinta Tanah Air yang pernah
dianggap sebagai kekuatan pemersatu dan ciri khas bangsa Indonesia semakin pudar
bersamaan dengan menguatnya nilai-nilai materialisme. Berbagai tayangan di
media TV dan media cetak akhir-akhir ini menunjukkan lemahnya sikap dan daya
kritis masyarakat, dan kurangnya kemampuan menyeleksi nilai dan budaya global
sehingga terjadi pengikisan nilai-nilai nasional yang positif dan lunturnya
identitas nasional. Di sisi lain, dalam era otonomi daerah, pengelolaan
kekayaan budaya merupakan kewenangan pemerintah daerah. Kurangnya pemahaman,
apresiasi, dan komitmen pemerintah daerah di dalam pengelolaan kekayaan budaya
berdampak pada semakin menurunnya kualitas pengelolaan kekayaan budaya daerah.
B. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil
yang Dicapai
Untuk mengatasi dan mencegah
permasalahan konflik sosial, selama 10 bulan terakhir telah dilakukan hal-hal
sebagai berikut. Penyelesaian persoalan Mamasa terus dilakukan dengan berbagai
upaya dialog tidak hanya di antara para elit politik, tetapi juga kelompok
masyarakat yang bertikai. Hal lain yang dilakukan adalah melaksanakan counter manipulasi informasi untuk
menghilangkan rasa saling curiga sekaligus meluruskan berbagai persoalan yang
ada.
Dalam rangka memantapkan situasi
yang sudah relatif aman dan damai di Maluku dan Maluku Utara terus dilanjutkan
dialog yang melibatkan seluruh pemilik kepentingan (stakeholders). Beberapa peristiwa kejahatan, termasuk penyerangan
pos polisi telah berhasil diungkap sehingga saat ini sudah tercipta kondisi
yang lebih kondusif. Di samping itu, tingkat kewaspadaan serta kesadaran
masyarakat yang telah cukup tinggi dalam peristiwa-persitiwa di wilayah ini
sangat membantu dalam memantapkan kondisi keamanan yang ada, dan masyarakat
tidak terpancing untuk terlibat kembali dalam konflik.
Sementara itu, untuk mewujudkan
dan mempertahankan situasi aman dan damai di Poso secara terus-menerus
dilakukan upaya untuk membangkitkan semangat Sintuwu Maroso atau “Bersatu Kita Kuat”. Upaya lainnya adalah
dengan melibatkan masyarakat dalam melakukan rekonsiliasi dan pengamanan
lingkungan desa dan kelurahan sehingga dapat terwujud dan tercipta rasa saling
percaya di antara komunitas yang bertikai.
Guna mengatasi permasalahan
separatisme ditempuh kebijakan, antara lain penindakan secara tegas separatisme
bersenjata yang melanggar hak-hak masyarakat sipil, perbaikan akses masyarakat
lokal terhadap sumber daya ekonomi, dan pemerataan pembangunan antardaerah,
peningkatan kualitas pelaksanaan otonomi dan desentralisasi, serta deteksi dini
dan pencegahan awal potensi konflik dan separatisme, penguatan kelembagaan
pemerintah daerah di bidang pelayanan publik, dan penguatan komunikasi politik
pemerintah dengan masyarakat.
Proses perdamaian di Aceh selama
10 bulan terakhir telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Penerapan otonomi
khusus di Provinsi NAD telah lebih ditingkatkan. Selanjutnya, dalam upaya
menyelesaikan persoalan konflik Aceh terutama dengan pihak GAM, pemerintah
terus melakukan upaya dialog damai dengan pihak GAM untuk menyelesaikan
berbagai persoalan yang ada, seperti isu otonomi khusus, amnesti, politik, dan
ekonomi. Di samping itu, terjadinya musibah tsunami 26 Desember 2004 telah
mampu memupuk solidaritas dan kepedulian sosial oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia, kondisi ini merupakan landasan awal yang baik dan secara signifikan
dapat mengangkat citra positif pemerintah di mata masyarakat Aceh. Demikian
juga, solidaritas internasional yang dalam pelaksanaan tugas kemanusiaan
bersedia dikoordinasikan oleh Pemerintah Indonesia dan tidak mengaitkan
bantuannya dengan tujuan-tujuan politik tertentu, secara signifikan dapat
mengangkat citra positif pemerintah di mata masyarakat Aceh.
Musibah tsunami juga telah
berpengaruh pada menurunnya perlawanan bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
sehingga pemerintah dapat berkonsentrasi secara lebih baik dalam pembangunan
kembali wilayah Aceh. Bersedianya tokoh separatis GAM di luar negeri untuk
berdialog dengan Pemerintah secara informal melalui mediasi LSM internasional Crisis Management Initiative di
Helsinki, Finlandia merupakan kemajuan yang positif. Oleh karena itu, pendekatan
persuasif secara simultan terus dilakukan untuk mencapai penyelesaian konflik
dan perdamaian yang bermartabat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang berdasar Undang-Undang Dasar kita. Dalam upaya tersebut juga
termasuk dipertimbangkannya anggota GAM yang mau kembali ke pangkuan ibu
pertiwi untuk mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati, atau walikota dalam
pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dengan
demikian, diharapkan dalam tahun 2005 ini masalah separatisme Aceh akan selesai
secara tuntas sehingga proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami
dapat berjalan dengan lancar.
Sementara itu, kasus separatisme
di Papua secara simultan terus diupayakan penyelesaiannya secara komprehensif
dan menunjukkan semakin menurunnya intensitas perlawanan gerakan bersenjata.
Namun, kondisi sosial masyarakat dan masih kuatnya dukungan sebagian kelompok
masyarakat terhadap perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) perlu diwaspadai
dengan baik. Dalam percepatan penyelesaian kasus Papua, langkah utama yang
dilakukan pemerintah adalah menetapkan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2004
tentang Majelis Rakyat Papua pada tanggal 23 Desember 2004. Keputusan Mahkamah
Konstitusi mengenai untuk tetap memberlakukan Provinsi Irian Jaya Barat dan
Kabupaten/Kota sesuai dengan UU No. 45 Tahun 1999 merupakan langkah politik
yang dapat membantu penyelesaian persoalan Papua tersebut. Hal lain yang
dilakukan adalah dengan melakukan multi-track
diplomacy untuk memperoleh dukungan internasional terhadap integritas Papua
di dalam wilayah NKRI.
Untuk mempercepat penanganan
masalah terorisme ditempuh kebijakan, antara lain penyediaan payung hukum
penanggulangan terorisme, upaya investigasi atas peledakan bom, baik motif,
pelaku, maupun jaringan secara tuntas, pengamanan masyarakat pada umumnya, baik
dalam bentuk kewaspadaan masyarakat, revitalisasi aktivitas keamanan swakarsa,
maupun upaya prevensi, peningkatan pengamanan pada pusat-pusat kegiatan
masyarakat, objek vital, proyek vital, dan transportasi massal yang dilakukan
Polri dan TNI, dan peningkatan kerja sama internasional dalam rangka
pengungkapan jaringan terorisme internasional. Di samping itu, dilakukan
peningkatan kerja sama koordinasi dalam bidang intelijen dan penegakan hukum
melalui peningkatan kapasitas urusan antiterorisme dan revitalisasi Badan
Koordinasi Intelijen Daerah (Bakorinda), dan Pembentukan Detasemen Khusus
Antiteror (Densus 88) di Polri. Dalam kerangka pencegahan, terus dilakukan
upaya peningkatan kemampuan profesionalisme intelijen guna lebih peka, tajam,
dan antisipatif dalam mendeteksi dan mengeliminasi berbagai ancaman, tantangan,
hambatan, dan gangguan yang dapat ditimbulkan oleh aksi terorisme.
Secara umum, penanganan dan
pencegahan aksi terorisme dapat berjalan meskipun belum dapat memenuhi harapan.
Berbagai aksi terorisme yang berskala lokal seperti bom Tentena dalam waktu
singkat telah dapat diidentifikasi dan ditangkap para pelaku. Upaya pencegahan
dan penindakan tersebut yang dapat dilaksanakan dalam waktu yang relatif
singkat telah menimbulkan rasa aman di masyarakat. Demikian juga, terhadap
penegakkan hukum pelaku aksi terorisme yang berskala internasional, seperti bom
Bali, bom J.W. Marriott, atau bom Kuningan, telah dilakukan proses hukum dan
sebagian telah sampai pada putusan pengadilan. Pelaku utama bom Bali seperti
Imam Samudra, Amrozi, dan Muchlas telah divonis mati, semetara yang lain,
seperti Ali Imron, Mubarok, Suranto, dan Sawad, divonis seumur hidup.
Upaya pengejaran terhadap pelaku
utama aksi terorisme di Indonesia, Dr. Azahari dan Nurdin Muh Top, terus
dilakukan. Penangkapan para tersangka bom Bali, bom J.W. Marriott, atau bom
Kuningan telah menghasilkan investigasi yang mampu memetakan jejak pelarian dan
mempersempit ruang gerak para teroris. Namun, karena mobilitas yang sangat
tinggi dan sulitnya mengenali penyamaran yang dilakukan, sampai saat ini aparat
keamanan seringkali hanya menemukan bukti-bukti.
Dalam rangka mengantisipasi
aksi-aksi terorisme lebih lanjut, baik yang berskala lokal maupun
internasional, berbagai upaya preventif terus dilakukan. Untuk menekan dampak
aksi terorisme lokal yang menyebabkan munculnya pertentangan SARA, Pemerintah
melalui pemerintah daerah dan aparat keamanan secara terus-menerus melakukan
pendekatan kepada tokoh masyarakat dan tokoh agama. Upaya lainnya adalah
sosialisasi pemerintah tentang pencegahan dan penanggulangan terorisme untuk
meyakinkan bahwa aksi-aksi terorisme yang selama ini terjadi bukan berasal dari
aktivitas SARA; berbagai penyuluhan untuk menangkal aksi terorisme melalui media
cetak dan elektronik, simulasi proses evakuasi korban teror bom di
gedung-gedung pemerintah dan gedung perkantoran komersial, atau pemberian
insentif dalam bentuk material ataupun pelindungan keamanan bagi para saksi
atau pelapor tentang keberadaan jaringan dan pelaku terorisme dan peningkatan
kewaspadaan akan aksi terorisme juga dilakukan pada objek-objek vital.
Upaya-upaya ini secara signifikan mampu menekan aksi terorisme.
Selanjutnya, guna terus
memantapkan keamanan dan ketertiban, pada tahun 2005 ditempuh kebijakan, antara
lain penguatan koordinasi dan kerja sama di antara kelembagaan pertahanan dan
keamanan, peningkatan kapasitas dan kinerja lembaga keamanan, peningkatan
kegiatan dan operasi keamanan di laut, peningkatan upaya komprehensif pengurangan
pemasokan dan pengurangan permintaan narkoba, peningkatan pengamanan di wilayah
perbatasan, serta pembangunan upaya pemolisian masyarakat (community policing), dan
penguatan peran aktif masyarakat dalam menciptakan keamanan dan ketertiban
masyarakat.
Untuk mengatasi kejahatan
terhadap kekayaan negara, khususnya illegal
logging, telah digelar operasi hutan lestari dengan jumlah laporan 363
kasus, tersangka 488 orang dan kasus yang telah diselesaikan sebanyak 60 kasus.
Di samping itu, Pemerintah juga telah menetapkan pemberantasan pencurian kayu
di hutan negara dan perdagangan kayu ilegal sebagai salah satu prioritas
pembangunan di bidang kehutanan. Adapun hasil yang telah dicapai adalah
Pelatihan Polisi Hutan 130 orang, pelaksanaan Operasi Sandi Wanalaga I di
Kalbar yang menghasilkan 25 kasus pelanggaran, Operasi Hutan Lestari II di
Papua yang menghasilkan tersangka sebanyak 147 orang, dan Pelaksanaan Operasi
Wanabahari, dengan hasil penangkapan KM Caraka Jaya Niaga III-23, KMV Iloeva
dan Penangkapan KM berbendera Kroasia.
Untuk mengatasi illegal fishing telah dilakukan
penanganan pemalsuan dokumen izin usaha penangkapan ikan melalui pencabutan
izin usaha penangkapan kepada 155 kapal eks asing berbendera Indonesia yang
melakukan pemalsuan deletion certificate
(penghapusan status bendera kapal dari negara asal ke Indonesia) dan
pengembangan program Vessel Monitoring
System (VMS), dengan pemasangan transmitter dengan sasaran kapal
perikanan Indonesia dengan ukuran lebih besar dari 100 gross ton (GT) dan seluruh
kapal perikanan asing. Sampai saat ini telah terpasang sebanyak 1.312 buah transmitter dari target sebanyak 1.500
buah.
Dalam hal penanganan narkoba
telah dilakukan berbagai upaya penegakan hukum dengan memberantas pengedar dan
bandar-bandarnya, mengungkap pabrik-pabrik pembuatan, pemetaan, dan pencarian
ladang-ladang ganja. Dalam kaitan itu, hasil yang terbesar adalah pengungkapan
pabrik pembuatan ekstasi di Jasinga Bogor dengan kapasitas produksi 525.000
butir per hari, dan penangkapan 9 orang tersangka sindikat internasional heroin
di Bali dengan barang bukti sebanyak 15,75 kg. Di samping itu, telah dilakukan
pula sosialisasi pencegahan di seluruh strata masyarakat, serta upaya
pengobatan dan rehabilitasi melalui pembentukan pusat rehabilitasi, dan peningkatan
kerja sama penanggulangan dengan berbagai negara.
Dalam rangka memperkuat kemampuan
pertahanan kebijakan yang ditempuh dalam peningkatan kemampuan pertahanan,
antara lain revitalisasi di segala bidang, termasuk peningkatan profesionalisme
personel dan memantapkan koordinasi antara Dephan dan TNI dan departemen
terkait, mencari sumber pengadaan alutsista sebagai upaya untuk meminimalisasi
dampak embargo sehingga tidak banyak berpengaruh terhadap kesiapan alutsista
TNI, yang antara lain dilakukan dengan memberdayakan industri dalam negeri
serta mempererat kerja sama di bidang industri pertahanan dengan negara-negara
lain, serta meningkatkan kemampuan pertahanan negara, baik pertahanan militer
maupun pertahanan nonmiliter, agar tercapai satu kemampuan yang sinergis dan
mempunyai daya tangkal terhadap upaya yang merongrong kewibawaan dan keutuhan
NKRI.
Dengan
berpedoman pada kebijakan tersebut, telah dilaksanakan berbagai upaya untuk
mengatasi permasalahan yang menghambat pembangunan dan pengembangan kemampuan
pertahanan negara, yaitu antara lain mengupayakan peningkatan anggaran secara bertahap
sesuai dengan kemampuan negara serta mengelolanya dengan efektif, efisien,
transparan, dan akuntabel; menyiapkan payung hukum untuk menyinergikan upaya
pertahanan dan keamanan negara, serta meningkatkan kerja sama dan koordinasi
dengan departemen/instansi terkait agar terwujud satu political will dalam memberdayakan industri strategis dalam negeri;
meningkatkan kesiapan alutsista melalui program repowering/retrofit dan pengadaan terbatas melalui sistem satu
pintu; meningkatkan kemampuan
prajurit melalui diklat dengan sarana prasarana yang memadai dan mengupayakan
peningkatan kesejahteraan secara bertahap; dan mempercepat penyusunan rancangan undang undang terkait.
Upaya untuk mengurangi
ketergantungan akibat embargo dilaksanakan upaya pemulihan hubungan melalui
jalur diplomasi tanpa mengorbankan kewibawaan dan harga diri bangsa, serta
upaya diversifikasi sumber pengadaan alutsista TNI dari negara negara lain yang
memenuhi kriteria, persyaratan dan spesifikasi, tetapi tidak menetapkan syarat
mengikat.
Dalam kurun waktu 10 bulan
terakhir, hasil-hasil penting yang telah berhasil dicapai, antara lain adalah tersusunnya
Rencana Strategi Pertahanan 2005–2009, kebijakan umum dan kebijakan
penyelenggaraan pertahanan serta Strategic
Defence Review sebagai acuan dalam rangka pembinaan kemampuan dan
pembangunan kekuatan pertahanan negara; tercapai pengurangan birokrasi dan
semakin tajamnya prioritas pengadaan; tercapainya pengurangan ketergantungan
sumber pengadaan alutsista kepada satu atau dua negara saja; penyelenggaraan Indo Defence Expo untuk meningkatkan
kemandirian dan dalam rangka pemberdayaan industri strategis dalam negeri;
dengan segala keterbatasan yang dimiliki, dalam penanggulangan bencana alam
tsunami, TNI telah menunjukkan peran yang sangat proaktif, terutama pada tahap
tanggap darurat serta telah disusun dan disosialisasikan Naskah Akademik RUU
Komponen Cadangan dan RUU terkait lainnya; dalam rangka penghapusan bisnis TNI,
telah dilakukan restrukturisasi bisnis TNI yang dimulai dengan tahapan
inventarisasi secara cermat, berhati-hati dan bertanggung jawab, melalui
koordinasi dengan departemen dan lembaga pemerintah terkait lainnya, serta
Mabes TNI dan angkatan; serta dalam rangka meningkatkan sinergi upaya
pertahanan dan keamanan negara sesuai dengan amanat Pasal 30, UUD 1945, telah
disusun naskah akademik Rancangan Undang Undang Pertahanan dan Keamanan Negara.
Selanjutnya, untuk mendorong
pengembangan kebudayaan kebijakan pada tahun 2005 diarahkan untuk terus
mengembangkan modal sosial dengan mendorong terciptanya ruang yang terbuka dan
demokratis bagi dialog kebudayaan; meningkatkan reaktualisasi nilai-nilai
kearifan lokal untuk memperkuat identitas nasional; dan meningkatkan kualitas
pengelolaan kekayaan budaya melalui pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan
budaya untuk peningkatan kualitas hidup bangsa.
Dalam rangka mewujudkan
pengarusutamaan budaya pada berbagai sektor sekaligus meningkatkan sinergi
lintas departemen/instansi dalam pengembangan budaya telah dihasilkan Rancangan
Instruksi Presiden tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan. Dalam rangka
pengembangan nilai budaya selama 10 bulan terakhir, antara lain telah dilakukan
penerbitan dan sosialisasi pedoman Etika Kehidupan Berbangsa; penganugerahan
penghargaan kebudayaan; penulisan Naskah “Sejarah Indonesia Jilid VIII”; dan
pengenalan nilai-nilai budaya dalam rangka Nation
and Character Building. Dalam pengelolaan keragaman budaya telah dilakukan
pelaksanaan kampanye hidup rukun; penyelenggaraan “Lawatan Sejarah: Merajut
Simpul-Simpul Perekat Bangsa” baik di tingkat lokal maupun nasional. Dalam
upaya pengelolaan kekayaan budaya telah dilakukan penetapan Tana Toraja,
Jatiluwih, Pakeran, dan Pura Taman Ayun dalam UNESCO World Heritage List, pengembangan museum nasional dan
transkripsi, transliterasi dan alih media naskah kuno. Selanjutnya, telah
dilakukan penyelenggaraan Art Summit
Indonesia IV, Festival Film Indonesia 2004 serta pentas seni multimedia Megalitikum Kuantum; dan Opera “I La
Galigo” di Lincoln Center, New
York, Amerika Serikat.
C. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Dalam rangka memelihara situasi
yang telah relatif lebih aman dan damai, baik di Mamasa, Poso, Maluku, Maluku
Utara, Aceh, dan Papua, langkah tindak lanjut yang dilakukan adalah tetap
melanjutkan pembangunan saling percaya antaranggota masyarakat yang
mengedepankan aspek pluralisme melalui berbagai dialog dan komunikasi
antarkultur yang berbeda. Dialog ini dilakukan pada tingkat elite ataupun
masyarakat. Hal ini diperlukan mengingat berbagai konflik yang ada di Indonesia
belum dapat diselesaikan secara tuntas karena proses utuh penyelesaian konflik
memang memerlukan perubahan paradigma dan pemahaman yang utuh mengenai nilai
kebangsaan, serta nilai persatuan dan kesatuan. Proses pemaknaan dan kemudian
dapat dijabarkan ke dalam perilaku tidaklah mudah, mengingat persoalan konflik
yang terjadi sangatlah kompleks karena tidak hanya menyangkut persoalan politik
semata, tetapi juga persoalan ekonomi, sosial, dan budaya.
Seiring dengan telah dicapainya
kesepakatan-kesepakatan, langkah rekonsiliasi telah menunjukkan tanda-tanda
yang positif. Perkembangan terakhir dari perundingan di Helsinki telah dicapai
suatu kesepakatan yang memberikan harapan terselesaikannya kasus separatisme di
Aceh secepatnya. Namun, hasil kesepakatan tersebut masih masih perlu diamankan
dari segi pelaksanaan dan penciptaan suasana yang mendukung dalam bentuk
suasana kepercayaan dan keamanan. Perbedaan pendapat yang terjadi di masyarakat
tentang aspek legalitas pelaksanaan perundingan dan substansi kesepakatan
perdamaian dapat berpotensi menimbulkan sikap skeptis dan dapat mengancam
keberlangsungan proses perdamaian. Proses dan substansi perundingan harus
disosialisasikan kepada kelompok separatisme di lapangan sehingga persetujuan
yang dilakukan di Helsinki dapat benar-benar terwujud dalam suasana damai di
lapangan. Masih terjadinya aktivitas penyergapan, penghadangan, dan kontak
senjata antara TNI/Polri dan GAM menyebabkan implementasi kesepakatan masih
perlu terus dipantau secara ketat.
Meskipun upaya perundingan dan
pelaksanaan hasil kesepakatan di lapangan dipantau oleh lembaga asing,
sempitnya waktu dan kurangnya sosialisasi hasil kesepakatan di lapangan akan
menambah sulitnya implementasi hasil kesepakatan. Tantangan lain yang dihadapi
pada masa mendatang adalah bagaimana menurunkan tingkat perlawanan gerakan
separatis bersenjata dan menangkap tokoh kuncinya. Tertangkapnya tokoh-tokoh
kunci gerakan separatis bersenjata tersebut diharapkan mampu meredam aktivitas
kekerasan. Di samping itu, upaya-upaya pembinaan secara terus-menerus perlu
dilakukan agar gerakan separatisme tidak mengkristal sehingga sulit ditangani.
Dalam upaya peningkatan keamanan,
ketertiban, dan penyelesaian konflik, tindak lanjut yang diperlukan adalah
pengembangan SDM Kepolisian, baik jumlah maupun kualitasnya, peningkatan jumlah
sarana dan prasarana serta kesejahteraan anggota Polri yang masih belum
memadai, pengembangan strategi keamanan melalui peningkatan upaya penanggulangan bahaya premanisme yang meresahkan
masyarakat dan menimbulkan gangguan keamanan, serta pencegahan dan
penindakan terhadap penyalahgunaan senjata api, pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat melalui pengaturan kekuatan di setiap satuan, dan
penciptaan kecepatan tanggapan dan aksi; peningkatan penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana untuk kasus-kasus yang belum diselesaikan; serta upaya
pemantapan keamanan dalam negeri, antara lain melalui peningkatan operasi
bersama dengan TNI dan instansi lainnya yang terkait.
Selanjutnya, potensi kejadian
aksi terorisme terus mengancam dan tidak dapat diprediksikan secara tepat di
waktu-waktu yang akan datang, khususnya untuk aksi terorisme yang bernuansa
internasional. Langkah antisipasi di dalam negeri kemungkinan besar hanya akan
mampu mendeteksi, tetapi seringkali kesulitan untuk mencegah terjadinya aksi
terorisme. Namun, untuk terus meminimalisasi terjadinya aksi terorisme tindak
lanjut yang diperlukan ke depan, antara lain adalah membangun kemampuan penangkalan dan penanggulangan terorisme melalui
penguatan kapasitas kelembagaan nasional penanganan terorisme, seperti desk terorisme dan Bakorinda;
memantapkan operasional penanggulangan terorisme meningkatkan
operasi intelijen dan koordinasi jaringan intelijen; mendayagunakan seluruh
satuan antiteror yang dimiliki institusi negara, termasuk TNI dan Polri; dan mengupayakan penyelesaian masalah
teroris regional melalui kerja sama internasional; dan melanjutkan penangkapan
dan pemrosesan secara hukum tokoh-tokoh kunci operasional terorisme.
Dalam
rangka meningkatkan hasil-hasil yang telah dicapai serta mengatasi permasalahan
yang dihadapi untuk membangun kekuatan pertahanan, langkah tindak lanjut yang
diperlukan adalah terus melakukan penajaman dan sinkronisasi kebijakan
dan strategi pertahanan dan keamanan, penguatan koordinasi dan kerja sama di
antara kelembagaan pertahanan dan keamanan; mempercepat upaya peningkatan kemampuan dan
profesionalisme TNI yang mencakup dimensi alutsista, sistem, materiel, personel
serta prasarana dan sarana; semakin meningkatkan penggunaan alutsista produksi
dalam negeri dan kemampuan industri dalam negeri dalam penyediaan kebutuhan dan
perawatan alutsista; lebih meningkatkan lagi peran aktif masyarakat dan profesionalisme
institusi terkait dengan pertahanan negara; mengintensifkan pemasyarakatan dan
pendidikan bela negara secara formal dan informal; mempercepat pembentukan
kelembagaan Dewan Keamanan Nasional; serta meningkatkan sistem jaminan asuransi
prajurit dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anggota TNI.
Sementara itu, dalam pengembangan
nilai budaya perlu terus ditingkatkan aktualisasi nilai moral sebagai pewujudan
nilai luhur bangsa; revitalisasi dan reaktualisasi budaya lokal yang bernilai
luhur dan pelaksanaan transformasi budaya melalui adopsi dan adaptasi
nilai-nilai baru yang positif untuk memperkaya dan memperkukuh khazanah budaya
bangsa. Dalam pengelolaan keragaman budaya perlu ditempuh pelaksanaan dialog
antarbudaya yang terbuka dan demokratis; pengembangan pendidikan multikultural
untuk meningkatkan toleransi dalam masyarakat; dan pelestarian dan pengembangan
ruang publik untuk memperkuat modal sosial.
Dalam rangka pengelolaan kekayaan
budaya perlu ditempuh pengembangan sistem informasi dan pangkalan data (database) bidang kebudayaan; pengembangan peran serta masyarakat dan swasta
dalam pengelolaan kekayaan budaya, penyusunan sistem dan mekanisme yang lebih
komprehensif tentang kerja sama penelitian dengan pihak asing untuk mencegah
berulangnya kasus temuan fosil manusia Flores yang menunjukkan lemahnya sistem
dan mekanisme penanganan kerja sama pemerintah dengan peneliti asing; dan
melanjutkan upaya transkipsi dan transliterasi naskah-naskah kuno melalui upaya
pemetaan dan penetapan skala prioritas.
II. Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan
Demokratis
Untuk mewujudkan Indonesia yang
adil dan demokratis dilakukan upaya meningkatkan keadilan dan penegakan hukum
melalui pembenahan sistem hukum nasional dan politik hukum, penghapusan
diskriminasi dalam berbagai bentuk, penghormatan, pemenuhan, dan penegakan atas
hukum dan HAM; menjamin keadilan gender dan meningkatkan kualitas kehidupan dan
peran perempuan serta kesejahteraan dan pelindungan anak; melakukan
revitalisasi proses desentralisasi dan otda; menciptakan tata pemerintahan yang
bersih dan berwibawa serta mewujudkan lembaga demokrasi yang makin kukuh.
A. Permasalahan yang Dihadapi
Pelaksanaan pembenahan sistem dan
politik hukum hingga tahun 2005 masih menghadapi dua permasalahan pokok.
Pertama, lemahnya koordinasi dari instansi/lembaga dalam penyusunan Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) dalam menetapkan prioritas undang-undang. Kedua,
kurang kuatnya komitmen dalam Prolegnas yang telah ditetapkan. Lemahnya
koordinasi dalam penyusunan Prolegnas, antara lain, ditandai dengan masih
kuatnya ego sektoral dari setiap instansi/lembaga yang menganggap usulan RUU
yang diajukan merupakan prioritas. Di samping itu, belum jelasnya kriteria
prioritas dari suatu RUU menyebabkan penyusunan prioritas menjadi tidak jelas.
Sementara itu, kurang kuatnya komitmen dalam pelaksanaan Prolegnas disebabkan
oleh kurang dipatuhinya prioritas RUU yang telah ditetapkan dalam Prolegnas.
Sementara itu, persoalan
diskriminasi terhadap berbagai bentuk telah merambah ke berbagai bidang
kehidupan dan menjadi dianggap biasa sehingga yang timbul ke permukaan adalah
suatu hal yang biasa dan wajar dilakukan serta tidak menganggap bahwa hal
tersebut merupakan suatu bentuk diskriminasi. Padahal, menurut Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, definisi diskriminasi sangat
luas. Dari segi peraturan perundang-undangan, beberapa peraturan
perundang-undangan telah disempurnakan dalam rangka mendukung penghapusan
diskriminasi, terutama terhadap perempuan, suku etnis, dan kelompok. Namun,
yang dilakukan belum dirasakan hasilnya secara optimal karena dalam
implementasinya masih banyak aparat penegak hukum yang belum memahami peraturan
tersebut. Sebagai contoh, belum semua pos polisi menyediakan tempat pemeriksaan
khusus (TPK) bagi korban kekerasan/kejahatan seksual terhadap perempuan.
Sementara itu, masih rendahnya
kinerja institusi/lembaga peradilan menyebabkan penegakan hukum di Indonesia
hingga akhir 2004 masih dirasakan belum optimal oleh masyakat. Hal ini, disebabkan
antara lain, oleh belum adanya fungsi check
and balances dalam lembaga peradilan.
Belum adanya penyelesaian
terhadap kasus-kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat menyebabkan
masih belum percayanya masyarakat terhadap pemerintah dalam melakukan upaya
pemberantasan korupsi. Demikian pula, dalam rangka penegakan hukum atas
sejumlah kasus pelanggaran, dan 2004 belum juga ditindaklanjuti dengan
penyidikan. Sampai dengan akhir 2004, baru tiga dari sembilan kasus pelanggaran
HAM berat yang sudah mencapai proses pemeriksaan di pengadilan. Lemahnya kerja
sama, koordinasi, dan komitmen dari setiap instansi terkait telah mengakibatkan
lambatnya upaya penanganan permasalahan hukum yang ada.
Dalam penyelenggaraan fungsi
pemerintahan berbagai kelemahan dan penyalahgunaan kewenangan masih terjadi
dalam jumlah yang tinggi. Berbagai praktik penyalahgunaan kewenangan dalam
bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di lingkungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah masih terus terjadi. Penataan organisasi dan ketatalaksanaan
pemerintahan walaupun telah diupayakan, tetapi belum sepenuhnya didasarkan atas
analisis jabatan dan kebutuhan organisasi serta beban tugas. Masalah
kelembagaan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, masih terlihat tidak
efektif dalam membantu pelaksanaan tugas dan tidak efisien dalam penggunaan
sumber-sumber dayanya. Di bidang pelayanan publik, harapan masyarakat mengenai
terwujudnya pelayanan, yang cepat, tepat, murah, manusiawi dan transparan serta
tidak diskriminatif belum terlaksana sebagaimana mestinya. Upaya-upaya untuk
meningkatkan profesionalisme melalui sistem karier berdasarkan prestasi belum
sepenuhnya dapat teratasi.
Untuk meningkatkan pelayanan
publik dan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, selama ini pemerintah
telah menetapkan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi mencakup, antara
lain, upaya pemberantasan KKN, perbaikan penerapan otonomi daerah, dan
pemantapan netralitas pegawai negeri. Walaupun pelaksanaan reformasi birokrasi
sudah ada kemajuan, tetapi masih terdapat permasalahan yang dihadapi, yaitu (1)
kelembagaan pemerintah masih belum sepenuhnya berdasarkan prinsip-prinsip
organisasi yang efisien dan rasional, sehingga struktur organisasi kurang
proporsional; (2) sistem manajemen kepegawaian belum mampu mendorong
peningkatan profesionalitas, kompetensi, dan remunerasi yang adil sesuai dengan
tanggung jawab dan beban kerja; (3) sistem dan prosedur kerja di lingkungan
aparatur negara belum efisien, efektif, dan berperilaku hemat; (4) praktik KKN
yang belum sepenuhnya teratasi; (5) pelayanan publik belum sesuai dengan
tuntutan dan harapan masyarakat; (6) terabaikannya nilai-nilai etika dan budaya
kerja dalam birokrasi sehingga melemahkan disiplin kerja, etos kerja, dan
produktivitas kerja.
Sementara itu, dalam melakukan
revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah masih
menghadapi berbagai permasalahan, yaitu (1) masih banyaknya tumpang tindih
berbagai peraturan perundangan, baik di tingkat pusat maupun antara pusat dan
daerah, terutama antara UU No. 32 Tahun 2004 dengan undang-undang sektoral; (2)
masih lemahnya mekanisme kelembagaan pemerintahan; (3) masih rendahnya
kapasitas aparat pemerintah daerah; (4) mekanisme pengelolaan keuangan daerah
yang belum efisien dan efektif; (5) masih banyaknya usulan pemekaran kabupaten
baru yang hanya berdasarkan kepentingan politik golongan tertentu; (6)
rendahnya kerja sama antarpemerintah daerah dalam pelaksanaan desentralisasi;
(7) terjadinya bencana alam dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2005 yang
melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara yang menyebabkan
lumpuhnya pelayanan pemerintah daerah di beberapa daerah terkena bencana; dan
(8) protes pendukung pasangan calon kepala daerah terhadap proses dan hasil
Pilkada.
Sementara itu, penyelenggaraan
politik luar negeri dan kerja sama internasional selalu berorientasikan bagi
kepentingan nasional, serta tidak mengorbankan kedaulatan dan harga diri
bangsa. Beberapa persoalan dan tantangan yang dihadapi, antara lain,
mengemukanya
peranan negara adidaya dalam percaturan politik internasional serta menguatnya
kecenderungan upaya pembentukan global governance; pasang surutnya peran
strategis dan kepemimpinan Indonesia di kawasan Asia Tenggara; semakin pesat
arus globalisasi, termasuk di bidang perdagangan dan HAM, dan berbagai
fenomena lintas batas, seperti terorisme, penyelundupan orang, dan migrasi
internasional, baik untuk tujuan ekonomi maupun politik; merebaknya masalah
perbatasan wilayah, baik darat maupun laut, dengan negara-negara tetangga
(Malaysia, Singapura, PNG, dan Timor Leste); meningkatnya aksi-aksi kekerasan
terorisme internasional di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia; dan
masih maraknya masalah kejahatan yang berbentuk transnational crime
seperti illicit-trade, illicit drug, human trafficking atau people smuggling; dan meningkatnya berbagai
permasalahan yang dihadapi oleh warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri,
terutama masalah TKI.
Selanjutnya, proses demokratisasi
yang telah berjalan pada arah benar sejak reformasi masih menghadapi
permasalahan yang dapat menghambat proses konsolidasi demokrasi tersebut
selanjutnya. Perkembangan menunjukkan antusiasme berpolitik masyarakat
melalui organisasi partai politik cukup tinggi belum didukung oleh budaya
politik demokratis. Adanya perpecahan dan keributan dalam beberapa kongres
partai politik pada tahun 2005 merupakan indikasi masih lemahnya organisasi
partai politik di Indonesia. Selain itu, peran masyarakat madani di dalam
menyuarakan suara kepentingan masyarakat masih belum optimal, demikian pula
fungsi dan peran lembaga-lembaga demokrasi belum optimal. Selanjutnya, kualitas
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah belum berjalan, seperti yang
diharapkan yang disebabkan oleh adanya distorsi dan inkonsistensi peraturan
perundangan serta masih belum dapat menghilangkan dampak-dampak buruk
sentralisasi kekuasaan.
B. Langkah-Langkah
Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Untuk membenahi sistem dan
politik hukum nasional, pada tahun 2005 disepakati pembentukan hukum yang
tertuang dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebanyak 55 rancangan
undang-undang (RUU) prioritas. Namun, sampai dengan bulan Juli 2005, baru dua
undang-undang yang telah dilahirkan, yaitu RUU tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun
2005, dan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor
1 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menjadi
undang-undang. Pencapaian ini jauh dari harapan yang ditetapkan dalam rapat
paripurna tanggal 1 Februari 2005 tentang Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) tahun 2005–2009, terlebih lagi kedua undang-undang tersebut bukan
merupakan prioritas yang akan diselesaikan pada tahun 2005.
Dalam rangka pelaksanaan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againsts
Woman/CEDAW) yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 1984 telah
diterbitkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga dan juga perubahan UU tentang Keimigrasian, UU tentang Kesehatan,
dan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta penyusunan RUU tentang
Pornografi dan Pornoaksi.
Sementara itu, upaya peningkatan
kinerja lembaga penegakan hukum, termasuk lembaga peradilan terus-menerus
dilakukan selama 10 bulan terakhir. Di lingkungan peradilan, sebagai tindak
lanjut dari perintah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, dan dengan Keputusan
Presiden Nomor 1/P/2005 telah diangkat tujuh anggota Komisi Yudisial periode
2005–2010. Di samping itu, berdasarkan perintah Pasal 38 UU No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia telah ditetapkan keanggotaan tujuh anggota
Komisi Kejaksaan RI dengan Keputusan Presiden No 116/M Tahun 2005. Dengan
dibentuknya Komisi Kejaksaan, diharapkan kinerja lembaga kejaksaan dalam
menyelenggarakan fungsi penegakan hukum dapat lebih ditingkatkan. Komisi
itu bertugas mengawasi kinerja aparat kejaksaan di seluruh Indonesia. Demikian
pula, di lingkungan Kepolisian berdasarkan perintah UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah dilakukan penyeleksian
anggota Komisi Kepolisian dan tinggal menunggu proses penetapan lebih lanjut.
Untuk mendorong kinerja penegakan
hukum, pada tanggal 2 Mei 2005 telah diterbitkan Keputusan Presiden No. 11
Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor).
Keanggotaan tim ini meliputi unsur Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Tujuan
dari dibentuknya Tim Tastipikor ini adalah untuk meningkatkan koordinasi dalam
rangka mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi.
Untuk melakukan pencegahan dan
pemberantasan korupsi di Indonesia telah dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5
Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai
pelaksanaan Inpres tersebut pada tahun 2005 telah disusun Rencana Aksi Nasional
Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004–2009. Pada dasarnya, kegiatan dalam RAN-PK
empat kegiatan pokok, yaitu (1) Pencegahan Terjadinya Tindakan Korupsi; (2)
Penindakan terhadap Perkara Korupsi; (3) Pencegahan dan Penindakan Korupsi
dalam Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD dan Sumatra Utara; serta (4) Monitoring
dan Evaluasi Pelaksanaan RAN-PK. Dalam rangka untuk melakukan sosialisasi dari
RAN-PK ini telah dilakukan kegiatan konsultasi dan kampanye publik di Padang,
Medan, dan Manado. Hal ini dilaksanakan dalam rangka mengumpulkan informasi
pelaksanaan RAN-PK serta merupakan media dalam melakukan dialog dengan instansi
pelaksana RAN-PK.
Adanya komitmen yang kuat
terhadap upaya pemberantasan korupsi, ditunjukkan pada masa 100 hari pertama
presiden terpilih dengan menetapkan vonis seumur hidup untuk kasus korupsi di
BNI sebesar Rp1,7 triliun, yang melibatkan Adrian Waworuntu sebagai otak
pembobol BNI. Di samping itu,
telah pula ditangani oleh Pengadilan Tipikor tiga kasus korupsi, yang
menetapkan Nurdin Halid dengan vonis penjara 4 tahun dan denda Rp250 juta,
Abdullah Puteh dengan vonis penjara 10 tahun, dan Harun Let Let dengan vonis
penjara 8 tahun dan denda Rp500 juta. Penanganan terhadap kasus-kasus korupsi
tidak terbatas pada kasus-kasus yang menarik perhatian nasional, tetapi juga
kasus-kasus korupsi lain yang terjadi di daerah-daerah. Pada tanggal 9 November
2004 Jaksa Agung telah memanggil seluruh kepala kejaksaan tinggi untuk
melaporkan kasus-kasus korupsi yang terjadi di wilayah kerjanya masing-masing.
Dari hasil laporan sementara, sejak Oktober 2004 hingga Mei 2005 telah
dilimpahkan sebanyak 233 perkara tindak pidana korupsi ke pengadilan.
Selanjutnya, dalam waktu singkat, Tim Tastipikor ini telah menangani sembilan
kasus penting, antara lain kasus pengelolaan biaya jamaah haji dan kasus jamsostek
telah mencapai tahap penyidikan, sedangkan tujuh kasus yang lain masih dalam
tahap penyelidikan.
Selanjutnya,
untuk menciptakan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa, langkah penting
yang dilakukan terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan;
peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur; dan peningkatan sistem
pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.
Dalam hal penataan organisasi
kementerian negara untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan negara, telah
diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kementerian Negara RI serta Peraturan
Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I
Kementerian Negara RI mencakup 3 kementerian koordinator, 20 departemen, dan 10
kementerian negara. Dalam semester kedua tahun 2005 semua unit organisasi
kementerian negara sudah dapat menjalankan tugas pokok, fungsi, dan peranannya
masing-masing. Upaya tersebut didukung dengan penataan dan peningkatan kapasitas
sumber daya manusia aparatur agar lebih profesional sesuai dengan tugas dan
fungsinya untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat serta
peningkatan kesejahteraan pegawai dan pemberlakukan sistem karier berdasarkan
prestasi.
Selanjutnya, untuk mempercepat
terwujudnya pelayanan publik secara cepat, tepat, terjangkau, dan memuaskan
telah disusun RUU Pelayanan Publik. Selain itu, selama 10 bulan terakhir terus
dilakukan upaya pengembangan sistem pelayanan publik yang berbasis pada kemampuan aplikasi
nomor induk tunggal penduduk; penyempurnaan sistem pelayanan publik secara
bertahap ke arah pemanfaatan teknologi informatika (e-government) yang
optimal, untuk memperkecil adanya peluang praktik KKN; dan evaluasi terhadap
sistem dan prosedur pelayanan.
Selanjutnya, penuntasan
penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk praktik-praktik KKN
dilakukan penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) pada semua tingkat dan
lini pemerintahan dan pada semua kegiatan, pemberian sanksi yang
seberat-beratnya pada pelaku KKN sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan
peningkatan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui koordinasi dan
sinergi pengawasan internal, ekternal, dan pengawasan masyarakat. Dengan
dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi telah disusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan
Korupsi.
Untuk meningkatkan kualitas SDM
aparatur negara telah dilakukan penataan PNS secara menyeluruh mulai dari
penataan organisasi dan diikuti penataan pegawai; penyiapan berbagai instrumen
dan prasyarat yang diperlukan bagi pelaksanaan penataan, seperti pedoman
penataan organisasi dan analisis jabatan; pengadaan pegawai baru sesuai dengan
kebutuhan; melakukan pembinaan profesionalisme dan remunerasi PNS; dan
menyelenggarakan (1) diklatpim Tingkat I khusus dan reguler, diklatpim II; (2)
diklat prajabatan; (3) diklat fungsional widyaiswara. Pada tahun 2005 ini telah
mulai dilakukan seleksi secara khusus bagi pegawai honorer dengan tetap
memerhatikan prioritas kebutuhan, khususnya untuk tenaga guru, tenaga
kesehatan, dan penyuluh pertanian.
Sebagai bagian dari upaya untuk
mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis, untuk memperbaiki pelaksanaan
otonomi daerah selama 10 bulan terakhir telah dilakukan langkah-langkah yang
meliputi (1) penyempurnaan secara terus-menerus struktur, fungsi, dan mekanisme
penyelenggaraan pemerintah daerah; (2) penyempurnaan peraturan pelaksana
sebagai turunan UU Nomor 32 tahun 2004; (3) mempersiapkan kebijakan penataan
wilayah secara komprehensif, khususnya yang terkait dengan instrumen
penggabungan dan pemekaran kabupaten; (4) melakukan pemberdayaan pemerintah
daerah dalam melaksanakan otonomi daerah; (5) mendorong kerja sama antardaerah
dan menciptakan iklim investasi yang kondusif; (6) melakukan sosialisasi dan
dialog interaktif pimpinan Depdagri dengan daerah dalam rangka memantapkan
pelaksanaan Pilkada; (7) melakukan berbagai tindakan rekonstruksi dan
rehabilitasi terhadap daerah-daerah yang terkena dampak bencana alam gempa bumi
dan tsunami.
Saat ini pelaksanaan
langkah-langkah tersebut di atas telah memberikan beberapa kemajuan dengan
tercapainya beberapa kebijakan pemerintah yaitu (1) PP No. 6 Tahun 2005 tentang
Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah yang kemudian disempurnakan melalui PP No. 17 Tahun 2005; (2) PP
No. 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua; dan (3) Perpres No. 28 Tahun
2005 tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
Peraturan pelaksanaan yang lain
yang saat ini masih dalam proses penyusunan adalah (1) RPP tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Sebagai Pengganti PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah Pusat dan Provinsi sebagai Daerah Otonom; (2) RPP tentang Pengawasan
Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; (3) RPP sebagai revisi PP No. 25
Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD; (4) RPP sebagai revisi
PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; (5) Pembahasan
konsep RPP sebagai revisi No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan
dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah; (6) RPP tentang
Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal; (7) RPP tentang
Desa sebagai Penyempurnaan PP No. 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Peraturan
Mengenai Desa; (8) RPP tentang Kelurahan sebagai penyempurnaan Kepmendagri No.
65 Tahun 1999 tentang Kelurahan; dan (9) RPP tentang Pengelolaan Kawasan
Perkotaan.
Selanjutnya, untuk menjaga
kesinambungan dan pemantapan peran politik luar negeri dan kerja sama
internasional, antara lain terus dilaksanakan upaya peningkatan kualitas
diplomasi Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional;
melanjutkan komitmen Indonesia terhadap pembentukan identitas dan pemantapan
integrasi regional, khususnya di ASEAN; dan menegaskan pentingnya memelihara
kebersamaan, multilateralisme, saling pengertian dan perdamaian dalam politik
dan hubungan internasional.
Berbagai hasil yang dicapai telah
meningkatkan peran Indonesia dalam politik luar negeri dan kerja sama
internasional. Indonesia telah berperan aktif dalam fora internasional, seperti
pada KTT APEC di Chile, KTT Asean di Laos, KTT Tsunami di Jakarta, Konferensi
Peninjauan Ulang Traktat Nonproliferasi Nuklir, dan pertemuan-pertemuan bilateral
yang bermuara pada terciptanya kesepakatan untuk melakukan upaya lanjut dengan
mengevaluasi kembali prospek kerja sama di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan keamanan. Keberhasilan pengelolaan kebijakan politik luar negeri
yang telah dijalankan selama ini telah memberikan banyak peranan menonjol
kepada Indonesia.
Pada tanggal 22–23 April 2005
Indonesia telah berhasil menyelenggarakan satu peristiwa penting, yaitu
Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika. Dengan memanfaatkan mementum peringatan
50 Tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955, kali ini KTT Asia-Afrika 2005
dimaksudkan untuk membangun jembatan baru yang memperteguh kerja sama
Asia-Afrika melalui Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika yang dilandasi oleh
“Semangat Bandung”. Sebagai langkah awal, 91 kepala negara/pemerintahan dan
wakilnya telah menandatangani Declaration
on the New Asian-African Strategic Partnership (NAASP). Dengan adanya Declaration
on the NAASP terbuka jalan untuk membangun kerja sama antardua benua dalam
tiga bidang kemitraan, yaitu solidaritas politik, kerja sama ekonomi dan
hubungan sosial budaya agar rakyat dapat hidup secara lebih bermartabat,
makmur, damai, bebas dari ketakutan akan kekerasan, penindasan dan
ketidakadilan. Isu-isu global, termasuk reformasi lembaga multilateral dan
hal-hal lainnya yang menjadi kepentingan bersama negara-negara Asia-Afrika,
seperti memerangi kemiskinan, kesetaraan gender, penyakit menular, degradasi
lingkungan, utang luar negeri, akses pasar, pendidikan, dan kualitas sumber daya
manusia juga menjadi sorotan utama.
Di samping itu, para pemimpin
memandang penting untuk melakukan upaya bersama dalam mengurangi dampak bencana
alam mengingat kawasan Asia-Afrika rentan terhadap bahaya alam, seperti gempa
bumi dan tsunami yang telah menelan korban pada tanggal 26 Desember 2004. Untuk
itu, telah disepakati Joint Asian-African
Leaders’ Statement on Tsunami, Earthquake and Other Natural Disasters yang
pada intinya berisi dukungan terhadap negara-negara terkena bencana gempa bumi
dan tsunami, dan meningkatkan kerja sama dalam penanganan dan penanggulangan
bencana, serta pendirian mekanisme sistem peringatan dini.
Dalam bidang kerja sama perdagangan multilateral
Indonesia merupakan salah satu negara yang menginisiasikan lahirnya July Package 2004, yang merupakan
kerangka perjanjian WTO pertama Pasca-Doha yang berhasil memuat program kerja
agenda Doha. Peranan besar Indonesia adalah dalam menggalang aliansi G-33 guna
melahirkan Konsep Special Product
(SP) dan Special Safeguard Measures
(SSM) untuk memberikan pelindungan bagi produk pertanian tertentu yang
dihasilkan oleh negara-negara berkembang berkenaan dengan pembangunan
perdesaan, pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan. Selanjutnya, dalam
rangka memantapkan upaya integrasi ekonomi Asean sesuai “Vision 2020”, dilakukan percepatan pada pengelolaan sebelas sektor
prioritas. Indonesia berperan menjadi koordinator dalam sektor otomotif dan
produk berbahan dasar kayu. Untuk lebih mendorong tercapainya Visi 2020 melalui
integrasi rencana Asean dalam rencana pembangunan nasional setiap negara ASEAN,
pada bulan Juli 2005 Indonesia telah berinisiatif untuk menghidupkan kembali
forum pertemuan para pejabat lembaga-lembaga perencanaan pembangunan ASEAN.
Sementara itu, dalam rangka
memantapkan konsolidasi demokrasi di Indonesia, berbagai langkah kebijakan yang
telah diambil, antara lain (1) menyempurnakan dan memperkuat struktur politik
dan peraturan perundangan, tata kelembagaan dan hubungan antarlembaga negara;
(2) memperkuat lembaga politik dan kemasyarakatan; (3) meningkatkan komitmen
untuk memberikan jaminan kebebasan berekspresi dan kebebasan memperoleh
informasi, serta jaminan kebebasan pers dan media; (4) dan meningkatkan
advokasi dan sosialisasi terhadap penerapan nilai-nilai persatuan bangsa.
Dengan memantapkan pelaksanaan
langkah-langkah tersebut telah dicapai (1) peningkatan kapasitas dari
lembaga-lembaga penyelenggara negara, seperti lembaga eksekutif, DPR, DPD,
DPRD; (2) tersusunnya RRP tentang Bantuan keuangan terhadap partai politik (parpol),
serta dorongan pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU No. 8 Tahun 1985
tentang Ormas; (3) terlaksananya fasilitasi untuk melakukan revisi terhadap
Undang–Undang tentang Pers, fasilitasi penyusunan RUU tentang Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik, RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
RRU tentang Cybercrime, tersusunnya
Standar Kompetensi Sumber Daya Manusia Teknologi Informasi, pelaksanaan
sosialisasi dan implementasi pengembangan e-government,
aplikasi e-procurement; (4) telah dilakukannya
upaya untuk mempersiapkan pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) agar dapat
berjalan dengan aman dan damai, seperti penetapan PP No. 6 tentang Pilkada,
Inpres No. 7 Tahun 2005 tentang Dukungan Pemerintah dan Pemda untuk Kelancaran
Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta
dikembangkannya budaya berkompetisi siap menang siap kalah.
C. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Hasil-hasil pembenahan sistem dan
politik hukum yang telah dicapai masih belum menunjukkan kinerja yang memuaskan.
Untuk mendorong kinerja pembangunan pembenahan sistem dan politik hukum,
diperlukan tindak lanjut sebagai berikut (1) dalam menyusun perencanaan dan
pembentukan hukum pada masa mendatang perlu lebih realistis dengan
mempertimbangkan kapasitas dan kemampuan lembaga pembentuk peraturan
perundang-undangan dalam menyelesaikan peraturan perundang-undangan; (2) membangun komitmen di antara lembaga
pembentuk hukum untuk mematuhi kesepakatan di dalam Prolegnas. Peran
Prolegnas cukup penting dalam rangka menciptakan koordinasi yang baik antara
Departemen/Lembaga Pemerintah Nondepartemen dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR
dalam rangka pembentukan undang-undang; (3) perlu dirumuskan dan disusun
mekanisme yang lebih kuat dalam rangka pembentukan undang-undang antara DPR dan
Pemerintah sehingga dapat disusun penentuan kriteria yang jelas dalam
menetapkan prioritas RUU yang akan dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah
dan menjadi jaminan bahwa RUU yang disepakati antara DPR dan Pemerintah
tersebut akan benar-benar dijalankan; (4) perlu dilakukan percepatan pembahasan
RUU yang saat ini telah sudah ada di DPR sehingga kesepakatan antara DPR dan
Pemerintah di bidang legislasi pada bulan Februari 2005 yang tertuang dalam
dokumen Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2005–2009 dapat
dilaksanakan dengan komitmen yang kuat sehingga dapat tercipta peraturan
perundang-undangan yang mengakomodasi kepentingan serta aspirasi masyarakat dan
tidak terjadi kekosongan peraturan perundang-undangan; dan (5) upaya pengharmonisasian
peraturan perundang-undangan terus-menerus dilakukan berdasarkan UU Nomor 10
Tahun 2004 dengan tujuan untuk menciptakan keserasian, harmonisasi, dan tidak
tumpang tindih antara peraturan yang satu dan lainnya.
Dalam rangka menghapuskan
upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan perlu ditindaklanjuti, antara
lain, melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang tidak diskriminatif
terhadap perempuan melalui penguatan dukungan, komitmen dan keinginan yang
tegas dari semua pihak terkait untuk melakukan penuntasan dalam menghapus
diskriminasi. Selain itu, juga perlu ditindaklanjuti pelaksanaan atau mekanisme
dalam menjalankan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Sosialisasi atau penyadaran hukum
terhadap materi peraturan perundang-undangan perlu lebih ditingkatkan bagi
aparat penegak hukum sehingga dapat dicapai pemahaman yang sama dalam
penanganan kasus. Contohnya dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap
perempuan, sehingga tercipta hubungan yang sinergis antara instansi-instansi
penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, hakim serta instansi terkait
lainnya.
Upaya Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga
Penegak Hukum Lainnya dalam rangka penegakan supremasi hukum tidak akan
tercapai tanpa didukung oleh lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang
lain yang mandiri. Oleh karena itu, diperlukan serangkaian langkah untuk
meningkatkan peranan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang lain yang
independen. Fungsi pengawasan terhadap lembaga peradilan dan perilaku hakimnya
perlu terus-menerus ditingkatkan melalui pemberdayaan lembaga pengawasan yang
telah ada, terutama di lingkungan internal dalam rangka meningkatkan fungsi
pengawasan terhadap lembaga peradilan dan kinerjanya dan lembaga yang sedang
dalam proses pembentukannya, antara lain, dengan pembentukan Komisi Yudisial
dan Dewan Kehormatan Hakim. Memberikan penguatan terhadap peran Komisi
Pemberantasan Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Dalam
pelaksanaannya koordinasi antarlembaga yang tugas dan fungsinya melakukan
pemberantasan korupsi terus ditingkatkan sehingga proses hukum penanganan
perkara korupsi mulai dari tingkat penyidikan sampai dengan penuntutan dapat
dipercepat dan diselesaikan sampai kepada tindakan secara hukum.
Dalam rangka lebih meningkatkan
kinerja lembaga penegak hukum di Indonesia, khususnya dalam rangka penanganan
terhadap kasus-kasus korupsi, ke depan yang perlu dilakukan adalah penguatan
institusi penegak hukum, baik itu dari sudut profesionalisme aparat penegak
hukumnya maupun memperbaiki ketentuan yang mengatur pelaksanaan tugas dan
fungsi penegak hukum sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dan
memudahkan dalam pelaksanaan koordinasinya. Sementara itu, untuk mencegah
larinya tersangka atau terdakwa kasus-kasus yang menarik perhatian masyarakat
luas, seperti kasus korupsi, narkotika dan pelanggaran HAM kantor imigrasi di
masa yang akan datang harus mempunyai sistem informasi menejemen keimigrasian
yang terintegrasi sehingga dapat mencegah terjadinya pelarian ke luar negeri.
Selanjutnya, untuk lebih meningkatkan pemahaman mengenai Rencana Aksi Nasional
Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) di daerah, akan terus dilakukan konsultasi dan
kampanye publik di Makasar, Banjarmasin, Bali, Nusa Tenggara Barat, Jayapura
dan Surabaya.
Untuk mempercepat upaya
mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih bebas dari KKN, perlu
ditindaklanjuti dengan melakukan berbagai kegiatan, antara lain meningkatkan
sosialisasi dan bimbingan teknis dalam rangka peningkatan penerapan
prinsip-prinsip Good governance;
meningkatkan intensitas dan kualitas pelaksanaan pengawasan dan audit internal,
eksternal, dan pengawasan masyarakat serta menindaklanjuti hasil pengawasan
aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dan hasil pemeriksaan ekstern (BPK);
terus mengembangkan dan meningkatkan penerapan sistem akuntabilitas kinerja
pada seluruh instansi; mempercepat penyelesaian pelaksanaan National Civil
Service Information System (NCSIS) dalam membangun data base untuk
perencanaan PNS; mempercepat penyelesaian pembahasan RUU Administrasi
Pemerintahan dengan DPR menjadi UU Administrasi Pemerintahan.
Selanjutnya, untuk terus
meningkatkan peran Indonesia dan memperjuangkan kepentingan nasional secara
lebih efektif dalam percaturan internasional penyelenggaraan diplomasi total
perlu lebih dikembangkan dengan pendekatan integratif, yang mempersempit jarak
antara kebijakan domestik dan kebijakan luar negeri, serta antara kebijakan
sektoral di bidang-bidang politik, hankam, ekonomi, dan sosial-budaya. Interfaith dialogue sebagai wahana yang
tepat untuk mengedepankan pesan-pesan damai yang dibawa oleh agama-agama di
dunia kepada masyarakat internasional perlu terus dilanjutkan. Demikian pula,
pelaksanaan diplomasi publik sebagai bagian penting dalam penyebarluasan citra
baik tentang bangsa dan negara kepada masyarakat negara lain, dan juga
masyarakat internasional terus ditingkatkan.
Dengan mempertimbangkan
pelaksanaan otonomi daerah selama ini, untuk terus memperbaikinya agar sesuai dengan
harapan perlu dilaksanakan tindak lanjut, antara lain (1) mendorong terwujudnya
pelaksanaan kebijakan desentralisasi secara konsisten dan meningkatkan kinerja
pemerintahan daerah melalui upaya penyiapan peraturan perundang-undangan dan
instrumen kerja pelaksanaan UU Nomor 32 Tahun 2004, peningkatan kapasitas,
pemantapan penyelenggaraan pemerintahan di daerah otonom baru, peningkatan
peran gubernur dalam menjalankan fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan,
serta mewujudkan terselenggaranya prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; (2)
menyelesaikan berbagai instrumen pengaturan dan kapasitas kelembagaan
perencanaan dan pengendalian pembangunan dari seluruh tingkatan pemerintahan
dan sektor terkait, sejalan dengan muatan materi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah; (3) menganalisis kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah; (4)
melanjutkan monitoring pelaksanaan Pilkada pada 4 provinsi dan 60
kabupaten/kota; (5) mengatur mekanisme dan koordinasi dana dekonsentrasi melalui gubernur
provinsi sebagai kepala wilayah; (6) memperkuat upaya pembinaan dan fasilitasi
penguatan dan pengelolaan keuangan daerah secara baik; (7) memperkuat peran
pemerintah provinsi dalam memfasilitasi kegiatan lintas daerah melalui kerja
sama antardaerah dan antarwilayah; (8) meninjau kembali daerah-daerah yang
mengusulkan menjadi daerah pemekaran yang tidak hanya dalam pertimbangan
kelayakan politis, tetapi juga pertimbangan kelayakan kesiapan menjadi daerah
pemekaran; (9) melanjutkan revitalisasi fungsi-fungsi penyelenggaraan pemerintahan
daerah pascabencana, terutama pada daerah-daerah yang berpotensi rawan terhadap
konflik dan bencana, seperti di NAD, Poso, Maluku, dan Papua; dan (10) membagi
kewenangan yang lebih jelas antara pusat dan daerah.
Sementara itu, untuk terus memantapkan
konsolidasi demokrasi perlu dilaksanakan (1) reformasi lebih lanjut atas
peraturan perundangan di bidang politik, serta peningkatan capacity building bagi lembaga-lembaga politik; (2) pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan Pilkada dan penanganan berbagai implikasi pascapelaksanaan
Pilkada 2005, (3) peningkatan persatuan dan kesatuan termasuk pada beberapa
daerah dengan dinamika politik tinggi, serta mendukung terciptanya sistem
budaya politik pada tataran lokal; (4) revisi terhadap UU No. 8 Tahun 1985 tentang
Ormas; serta (5) penyempurnaan berbagai peraturan perundangan yang ada terkait
dengan kebijakan komunikasi dan informasi.
III. Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat
Meningkatkan
kesejahteraan rakyat Indonesia dilaksanakan terutama untuk mengentaskan
kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Hal ini ditempuh dengan strategi
pembangunan ekonomi yang mengarah pada pertumbuhan yang berkualitas, yaitu
pertumbuhan yang tidak saja cukup tinggi, tetapi mampu menyerap pekerja,
mengurangi kemiskinan dalam jumlah yang lebih besar jika dibandingkan dengan
masa sebelumnya, dan mengurangi kesenjangan antar kelompok pendapatan antar
daerah. Untuk itu, tumpuan pertumbuhan akan dilakukan melalui upaya peningkatan
investasi dan ekspor, didukung oleh pembangunan infrastruktur yang memadai dan
stabilitas ekonomi yang mantap. Agar pertumbuhan tersebut dapat
berkesinambungan dan dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia, diupayakan
revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan serta percepatan pengurangan
kesenjangan wilayah dan pembangunan perdesaan. Selain meningkatkan pendapatan
terutama bagi penduduk miskin, sasaran utama yang lain dari agenda ketiga ini
adalah meningkatkan kualitas kehidupan rakyat yang tercermin, terutama dari
pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Selanjutnya, demi menjaga pembangunan
yang berkelanjutan, mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam juga
dijaga.
Selain itu, dilakukan pula langkah penanganan bencana tsunami di NAD dan Nias,
meliputi langkah tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
A. Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran
1. Permasalahan yang Dihadapi
Pada tahun 2004
jumlah penduduk miskin masih mencapai 36,1 juta jiwa (16,7 persen). Jumlah
penduduk miskin yang tinggi tersebut menggambarkan kemiskinan di Indonesia yang
bersifat multidimensi dan rendahnya mutu kehidupan masyarakat. Permasalahan
kemiskinan menyangkut permasalahan pemenuhan hak dasar, yaitu terbatasnya
kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, terbatasnya akses dan
rendahnya mutu layanan pendidikan, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya akses layanan
perumahan, terbatasnya
akses terhadap air bersih dan aman, serta sanitasi, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah,
memburuknya kondisi
sumber daya alam dan lingkungan hidup serta terbatasnya akses masyarakat
miskin terhadap sumber daya alam, lemahnya jaminan rasa aman dan lemahnya partisipasi. Selain itu, permasalahan
kemiskinan juga menyangkut ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender,
beban kependudukan dan kesenjangan antarwilayah. Di samping jumlah penduduk
miskin yang masih tinggi tersebut, fluktuasi
angka kemiskinan akibat krisis ekonomi pada tahun 1997 memperlihatkan
kerentanan masyarakat untuk jatuh miskin, akibat besarnya jumlah penduduk yang
berada sedikit di atas garis kemiskinan.
Di
samping masalah kemiskinan, Indonesia juga menghadapi tingkat pengangguran yang
jumlahnya terus meningkat hingga tahun 2004. Meskipun berbagai indikator
ekonomi lain menunjukkan perbaikan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Namun, pertumbuhan ekonomi tahun 2004 sebesar 5,1 persen belum mampu menyerap
seluruh tambahan angkatan kerja yang masuk ke dalam pasar kerja. Pertambahan
angkatan kerja sekitar 1,2 juta orang hanya mampu terserap sebesar 900 orang.
Dengan demikian, pengangguran terbuka bertambah sebesar 300 ribu orang sehingga
pengangguran terbuka seluruhnya menjadi 10,3 juta.
Selain
itu penciptaan lapangan kerja formal juga masih belum dapat menutup
berkurangnya lapangan kerja formal selama periode sebelumnya. Lapangan kerja
formal sampai tahun 2004 hanya menyerap tenaga kerja sekitar 28,4 juta pekerja,
atau sekitar 30,3 persen dari angkatan kerja. Pengurangan lapangan kerja formal
terjadi justru terjadi pada industri-industri yang padat pekerja yang sebagian
berorientasi ekspor. Pengurangan lapangan kerja formal ini memberikan tekanan
kepada kesejahteraan pekerja informal. Tekanan kepada peningkatan kesejahteraan
pekerja informal tercermin pula dari besarnya angka setengah penganggur
terpaksa yang pada bulan Februari 2005 berjumlah sekitar 14,3 juta orang
meningkat dari 13,4 juta orang pada bulan Agustus 2004. Hal ini menunjukkan
bahwa penciptaan lapangan kerja formal harus menjadi prioritas bersama.
Angkatan
kerja yang berpendidikan SD dan SD ke bawah jumlahnya juga masih cukup besar,
yaitu 56,3 juta orang atau 54,1 persen dari jumlah angkatan kerja pada tahun
2004. Masih besarnya jumlah maupun persentase angkatan kerja yang berpendidikan
rendah mencerminkan masih rendahnya kualitas angkatan kerja yang tersedia.
Kondisi ini seringkali menimbulkan ketidaksesuaian kebutuhan di pasar kerja.
Berkaitan dengan permasalahan ini, masih perlu dilakukan penyempurnaan
pengembangan program-program pelatihan dan penyelenggaraan pelatihan kerja. Keterbatasan
dalam penyediaan sarana dan prasarana pelatihan khususnya pada balai latihan
kerja milik pemerintah menyebabkan lembaga pelatihan belum sepenuhnya dapat
memenuhi kebutuhan pasar kerja yang terus berkembang.
Belum
adanya standardisasi dan sertifikasi kompetensi tenaga kerja secara nasional
menyebabkan banyak lembaga pelatihan termasuk lembaga pelatihan milik
pemerintah yang memberikan sertifikasi pekerja menggunakan standar yang
berbeda-beda. Untuk itu perlu adanya pengakuan dan komitmen bersama berkaitan
dengan standarisasi dan sertifikasi tenaga kerja.
Dengan tingginya jumlah
pengangguran yang ada dan kondisi perekonomian yang saat ini belum mampu
menciptakan lapangan kerja secara memadai, pengiriman TKI ke luar negeri dapat
dijadikan sebagai alternatif. Selain menghasilkan devisa yang cukup besar, pengiriman
TKI selama ini juga telah meningkatkan lapangan kerja yang cukup berarti. Namun
demikian masih sering terjadi berbagai permasalahan yang disebabkan lemahnya
perlindungan terhadap TKI. Sebagian besar TKI adalah pembantu rumah tangga yang
berpendidikan rendah sehingga kemampuan dan kesadaran untuk melindungi diri dan
memecahkan persoalan yang dihadapai menjadi sangat terbatas.
2. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Untuk mengurangi jumlah penduduk
miskin selama 10 bulan terakhir telah dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut. Untuk mengatasi lemahnya koordinasi antara lembaga yang terkait dalam
penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui reformasi dan revitalisasi untuk menemukan
bentuk kelembagaan terbaik dalam melakukan penanggulangan kemiskinan. Selain
itu, pemerintah melalui kerja sama dengan kalangan lembaga swadaya masyarakat,
swasta dan perguruan tinggi, telah menyusun Strategi Nasional Penanggulangan
Kemiskinan (SNPK) yang menjadi salah satu agenda 100 hari. Penyusunan SNPK
didorong oleh perlunya kesamaan persepsi tentang kemiskinan, kejelasan tentang
berbagai langkah pemerintahan, peran swasta dan masyarakat, tersusunnya
indikator dan sistem monitoring serta evaluasi dalam pelaksanaan berbagai
program penanggulangan kemiskinan.
Upaya penanggulangan kemiskinan
juga dilakukan melalui pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan pada setiap
dokumen perencanaan pembangunan, baik itu dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah, Rencana Kerja Pemerintah maupun rencana kerja kementerian. RPJMN
2004–2009 yang menjadikan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas utama
pembangunan, akan menjadi acuan dalam pembuatan RPJMD 2004–2009. akibatnya,
diharapkan akan terjadi sinergi dan sinkronisasi upaya penanggulangan
kemiskinan di pusat dan di daerah.
Untuk mengurangi beban penduduk
miskin secara langsung akibat kenaikan harga BBM, pemerintah telah menetapkan
Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM yang mengalihkan subsidi terhadap BBM
untuk program-program penanggulangan kemiskinan. Program-program ini antara
lain mencakup pendidikan dasar gratis untuk masyarakat miskin, penyediaan
layanan kesehatan masyarakat miskin secara gratis melalui asuransi kesehatan,
dan peningkatan pembangunan infrastruktur desa tertinggal. Agar berbagai upaya
penanggulangan kemiskinan lebih tepat sasaran, termasuk melalui Kompensasi
Pengurangan Subsidi BBM akurasi data penduduk miskin semakin disempurnakan,
melalui upaya identifikasi penduduk miskin dengan melakukan perbaikan terhadap
indikator yang dipergunakan selama ini. Dalam kaitan itu, sedang dipersiapkan
identifikasi penduduk miskin yang diharapkan selesai pada akhir tahun 2005.
Langkah kebijakan yang dilakukan
untuk pemenuhan hak dasar masyarakat miskin antara lain dalam hal penyediaan
dan perluasan akses pangan, perluasan akses layanan kesehatan, perluasan akses
layanan pendidikan, peningkatan
kesempatan kerja dan berusaha, perluasan akses layanan perumahan, penyediaan
air bersih dan aman, serta sanitasi dasar, perluasan akses tanah, perluasan
akses sumber daya alam dan lingkungan hidup, peningkatan rasa aman dan
perluasan akses partisipasi. Dalam kaitannya dengan pewujudan keadilan
dan kesetaraan gender serta pengendalian, pertumbuhan, dan persebaran penduduk,
kebijakan kependudukan diarahkan untuk pengendalian laju pertumbuhan,
pemerataan persebaran dan peningkatan mutu hidup penduduk. Kebijakan yang
dilaksanakan untuk pengendalian laju pertumbuhan penduduk adalah program
keluarga berencana dan keluarga sejahtera, kebijakan yang dilaksanakan untuk
pemerataan persebaran penduduk adalah transmigrasi. Untuk pengurangan kesenjangan wilayah langkah
kebijakan dilakukan antara lain adalah kebijakan pembangunan perdesaan,
kebijakan pembangunan perkotaan, kebijakan pengembangan kawasan pesisir, dan
kebijakan pengembangan daerah tertinggal.
Hasil yang dicapai dalam rangka
pemenuhan hak dasar, termasuk untuk penduduk miskin antara lain pelaksanaan
Raskin sebesar 1.992.000 ton beras untuk 8.3 juta KK pada tahun 2005 yang
realisasinya sampai Juli 2005 telah mencapai 993.439 ton atau 49.87 persen. Program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi
masyarakat miskin (JPK-M), telah dilaksanakan atas kerja sama PT Askes, yang
hingga bulan Juni 2005, diperuntukkan bagi 36.146.700 juta penduduk miskin.
Selain itu, juga telah dialokasikan program Kompensasi Pengurangan Subsidi
Bahan Bakar Minyak untuk bidang kesehatan. Di sektor pendidikan, telah
dilaksanakan berbagai program termasuk untuk penduduk miskin, seperti
program Keaksaraan Fungsional, Pendidikan Kesetaraan, Kelompok Belajar Usaha
(KBUI), Magang Kursus, Kelompok Usaha Pemuda Produktif (KUPP), Life Skill PLS, Pendidikan Anak Usia
Dini, Wajib Belajar 9 Tahun, dan Program Pendidikan Menengah. Khusus untuk
penduduk miskin, pemerintah pada bulan Juni juga mengalokasikan program
kompensasi pengurangan subsidi BBM untuk pendidikan.
Pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau, khususnya bagi
masyarakat miskin yang berpenghasilan rendah, dilakukan melalui program pengembangan
perumahan yang berbasis pada keswadayaan sebanyak 19.814 unit dan program P2KP
khususnya daerah perkotaan bagi sekitar 5,2 juta jiwa yang tersebar di 1.298
kelurahan di Pulau Jawa bagian utara dan DIY. Selain itu, juga dilakukan program perbaikan lingkungan kumuh di
perkotaan di 32 kabupaten/kota yang tersebar di 76 kecamatan dan 211
desa/kelurahan. Program pengelolaan pertanahan antara lain melalui sertifikasi
tanah secara bertahap sebanyak 41.600 bidang tanah dengan jumlah penerima
manfaat 2.154 KK, penerbitan sertifikat tanah bagi masyarakat golongan ekonomi
lemah sebanyak 91.205 bidang dengan jumlah penerima manfaat 91.194 KK, redistribusi tanah objek Land Reform bagi petani penggarap tanah objek Land Reform dengan jumlah
penerima manfaat sebanyak 4.800
KK dan penerbitan sertifikat hak
atas tanah bagi transmigran sebanyak 39.548 bidang dengan jumlah penerima
manfaat 15.819 KK, dan program-program yang berbasis komunitas dan pemberdayaan
masyarakat. Selanjutnya, pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan (PPK),
Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), dan Program Pembangunan
Prasarana Perdesaan (P2D), dan forum musyawarah perencanaan pembangunan
(musrenbang) telah melibatkan seluruh pelaku pembangunan sehingga meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan.
Untuk pewujudan keadilan dan
kesetaraan gender serta pengendalian laju pertumbuhan penduduk adalah dengan ditetapkannya kebijakan peningkatan
produktivitas ekonomi perempuan (PPEP), pengembangan model desa prima
(Perempuan Indonesia Maju
Mandiri) yang hingga akhir tahun 2004 telah dilakukan di 7 provinsi, dan hingga
akhir tahun 2005 diharapkan akan menjadi 9 provinsi, terutama provinsi-provinsi
dengan jumlah penduduk miskin terbanyak, program peningkatan kualitas hidup
perempuan, program keluarga berencana, pengadaan alat kontrasepsi gratis kepada
keluarga miskin dengan penerima manfaat 11,75 juta KK dan program pelayanan
kontap kepada keluarga miskin (medis operasi pria/wanita) dengan penerima
manfaat 21.880 KK.
Selanjutnya, sebagai langkah
penting dan terkait erat untuk mengurangi kemiskinan adalah mengatasi masalah
ketenagakerjaan, yaitu terutama untuk mengurangi pengangguran adalah melalui
penciptaan lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran, yang dilakukan dengan
memperbaiki iklim ketnegakerjaan dengan menerapkan kebijakan pasar kerja yang
luwes. Kebijakan pasar kerja yang luwes bertujuan agar pasar kerja dapat
menyerap tenaga kerja seluas mungkin.
Konsistensi antara penciptaan
lapangan kerja dan peraturan di bidang ketenagakerjaan merupakan salah satu
aspek penting, seperti kepastian hukum yang berkaitan dengan ketenagakerjaan,
yang merupakan kunci bagi upaya penciptaan lapangan kerja baru. Selain itu,
kebijakan yang telah dibuat memerhatikan pelindungan tenaga kerja yang dapat
menjamin bahwa peraturan tersebut tidak menghambat pertumbuhan kesempatan kerja
dan tanpa mengurangi keluwesan pasar tenaga kerja.
Untuk memperluas dan
mengembangkan kesempatan kerja, dilakukan upaya perbaikan berbagai peraturan
dalam rangka menciptakan pasar kerja yang lebih luwes, dengan memperbaiki
peraturan yang berkaitan dengan rekrutmen, pengupahan, PHK pekerja, dan uang
pesangon. Untuk itu, secara terus-menerus telah dilakukan berbagai ”dialog”
antarserikat pekerja, pengusaha, dan pemerintah untuk menyempurnakan berbagai
peraturan tersebut. Selanjutnya, dilakukan penyempurnaan kegiatan pendukung
pasar kerja dalam rangka mempertemukan pengguna dan pencari kerja, dengan
melakukan berbagai Job Fair yang
melibatkan perusahaan serta memberdayakan bursa kerja yang ada; termasuk
pengembangan bursa kerja on line
sesuai dengan perkembangan pasar kerja di sepuluh provinsi.
Dalam rangka mendorong dan
melindungi tenaga kerja Indonesia di luar negeri telah disusun peraturan
pelaksanaan Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Pelindungan
Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, dengan memperbaiki mekanisme penempatan
TKI dan pelindungan TKI, memberikan kemudahan memperoleh dokumen imigrasi bagi
TKI yang akan bekerja di luar negeri, dan menghilangkan berbagai pungutan yang
berkaitan dengan kepulangan TKI. Dalam rangka mengamankan dan memudahkan proses
pemulangan TKI dari Malaysia, dilakukan koordinasi pertemuan interdep, termasuk
dengan Pemda asal TKI, dan koordinasi dengan pemerintah Malaysia melalui
Kedutaan RI dalam rangka memberikan pelayanan pada TKI selama masa pengempunan.
Selanjutnya, untuk mendukung pengembangan pasar tenaga kerja di luar negeri
dilakukan promosi pembukaan pasar kerja internasional, dengan negara-negara yang
banyak menerima penempatan TKI, yaitu beberapa negara di Timur Tengah,
Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan.
Untuk memberdayakan para
penganggur dilakukan kegiatan fasilitasi melalui pemberdayaan kegiatan ekonomi
informal, kewirausahaan, pengembangan usaha kecil dan menengah, dan menempatkan
tenaga kerja terdidik secara sukarela di unit-unit ekonomi produktif, terutama
di perdesaan, pelaksanaan kegiatan padat karya di perdesaan/perkotaan, serta
kerja sama dengan pengguna tenaga kerja lintas daerah dan perusahaan yang
membutuhkan pekerja, serta menempatkan TKI ke luar negeri.
Dalam rangka peningkatan kualitas
dan produktivitas tenaga kerja, antara lain, telah dilakukan penyelenggaraan
program-program pelatihan kerja berbasis kompetensi (competency based training); antara lain meliputi (1) kegiatan
pelatihan institusional dan noninstitusional/mobile training unit (MTU) di BLK sebanyak 4.514 orang; (2)
pelaksanaan pemagangan, baik di dalam maupun di luar negeri sebanyak 2.354
orang; (3) pelatihan kewirausahaan sebanyak 820 orang. Selanjutnya,
dikembangkan standardisasi dan sertifikasi kompetensi tenaga kerja; melalui
pembentukan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dalam rangka pemenuhan
standar dan sertifikasi kompetensi kerja yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai jaminan kualitas dan
jaminan keselamatan kerja.
Untuk pelindungan dan
pengembangan lembaga tenaga kerja dilaksanakan persiapan pelaksanaan UU No. 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), antara
lain dengan (a) sosialisasi pelaksanaan UU PPHI dan penyusunan PP dan Kepmen,
(b) mempersiapkan hakim ad-hoc,
sarana dan prasarana peradilan. Dialog sosial melalui berbagai media atau forum
tripartit antara pekerja, pengusaha, dan Pemerintah, serta mendorong
harmonisasi antara pekerja dan pengusaha melalui forum bipartit semakin
ditingkatkan. Selain itu, berbagai kegiatan yang telah dilakukan secara rutin
terus dilanjutkan, seperti (1) mendorong kelembagaan ketenagakerjaan, (2)
membina syarat-syarat kerja dan mengupayakan peningkatan kesejahteraan pekerja,
(3) meningkatkan kualitas dan kuantitas perjanjian kerja dan kesepakatan kerja
sama, dan (4) meningkatkan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek).
3. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan RPJMN 2004–2009 diarahkan untuk penghormatan, pelindungan, dan
pemenuhan hak-hak dasar rakyat miskin. Selain itu, kebijakan dan program
penanggulangan kemiskinan juga diarahkan pada kesetaraan dan keadilan gender
serta pengendalian laju pertumbuhan penduduk, dan pengembangan wilayah. Hal ini
dilakukan diharapkan agar penanggulangan kemiskinan menjadi lebih komprehensif
dan dapat dilaksanakan. Upaya pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan ini
selain bertujuan untuk menjadikan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas
utama pembangunan, juga bertujuan untuk menjadikan penanggulangan kemiskinan
sebagai sebuah gerakan sosial, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Langkah-langkah yang perlu
dilakukan untuk pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan adalah dengan
pelaksanaan Rencana Aksi Penanggulangan Kemiskinan yang tertuang dalam RPJMN
2004–2009, RKP 2006 dan SNPK. Hal ini terutama menyangkut (1) penentuan
prioritas kebijakan dan program, indikator kinerja (performance indicators)
dan penentuan kelompok sasaran (targetting) yang jelas dan
terukur; (2) rencana dan pola penganggaran dalam penanggulangan kemiskinan; (3)
mekanisme kelembagaan terutama pembagian peran yang jelas antara pemerintah,
pemerintah daerah, LSM, perguruan tinggi, organisasi masyarakat, organisasi
profesi, swasta, dan lembaga internasional; (4) mengembangkan sistem deteksi
dini (early warning system) yang memuat informasi awal (core
information), baik indikator kuantitaif yang terukur maupun
indikator kualitatif sehingga dapat menentukan tindakan secara terencana,
terarah, dan sistematis; (5) memperkuat pangkalan data dan menyiapkan peta
spasial (Geographical Information System) kemiskinan, pengangguran,
infrastruktur, konflik, dan data relevan yang lain; (6) mengembangkan sistem
pengendalian dan pengawasan (safeguarding system) yang
meliputi penyebarluasan informasi, pengembangan unit pengaduan masalah,
pelaporan secara reguler, verifikasi independen terhadap laporan, dan
keterlibatan berbagai pelaku; dan (7) melakukan sosialisasi ke daerah dengan
tujuan memastikan pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan di daerah dan
memperkuat komitmen pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan.
Dalam upaya peningkatan
kesempatan kerja, upaya penciptaan iklim ketenagakerjaan tersebut, tidak dapat
berjalan tanpa diikuti oleh program program di bidang lainnya. Mengingat jumlah
pengangguran terbuka yang demikian besar, dibutuhkan strategi komprehensif
dalam penciptaan kesempatan kerja. Penciptaan kesempatan kerja perlu ditempuh
dengan mendorong percepatan perkembangan sektor riil melalui investasi dan
ekspor. Penciptaan kesempatan kerja, investasi, dan ekspor harus menjadi salah
satu prioritas dalam rencana kerja pemerintah mendatang. Untuk itu, perlu
dituntaskan berbagai kebijakan reformasi ekonomi dalam rangka mempercepat
terwujudnya iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan investasi dan ekspor.
Di samping itu, untuk mempercepat pertumbuhan sektor riil diberikan akses lebih
besar kepada pelaku usaha, khususnya usaha kecil dan menengah.
Untuk menjamin agar prioritas
rencana kerja pemerintah dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, investasi,
dan ekspor, dapat terselenggara dengan baik, perlu dilakukan berbagai
kebijakan, seperti (1) menciptakan kebijakan pasar kerja yang lebih luwes; (2)
memperbaiki iklim investasi; (3) memperbaiki harmonisasi peraturan perundangan
antara pusat dan daerah; (4) meningkatkan kinerja perangkat organisasi daerah
serta kualitas aparatus pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan investasi;
(5) mengurangi biaya transaksi dan praktik ekonomi biaya tinggi; (6)
meningkatkan kepastian berusaha dan kepastian hukum bagi dunia usaha termasuk
usaha kecil dan menengah; (7) meningkatkan daya saing industri dan pengembangan
ekspor; (8) meningkatkan akses UKM kepada sumber daya produktif; (9)
meningkatkan kualitas tenaga kerja dan kewirausahaan; dan (10) meningkatkan
pembangunan infrastruktur.
B. Peningkatan Investasi dan
Ekspor Nonmigas serta Penguatan Daya Saing
1. Permasalahan
yang Dihadapi
Dalam periode 2001–2003 investasi
berupa pembentukan modal tetap bruto hanya tumbuh sekitar 4,1 persen per tahun.
Meskipun diwarnai kekhawatiran ketidakstabilan politik karena pelaksanaan
Pemilu, dalam tahun 2004 pertumbuhannya meningkat pesat mencapai 15,7 persen.
Angka pertumbuhan investasi semester pertama 2005 masih menunjukkan
kecenderungan yang menguat yaitu meningkat sebesar 13,6 persen dibandingkan periode
yang sama tahun sebelumnya. Kecenderungan ini, meskipun masih dini, merupakan
indikasi menguatnya sumber pertumbuhan ekonomi berkesinambungan. Sementara itu,
ekspor nasional pada tahun 2004 meningkat 11,7 persen dari tahun 2003 sehingga
nilainya mencapai US$ 71,5 miliar.
Meskipun menggembirakan,
peningkatan investasi dan ekspor nasional masih belum maksimal. Dari sisi
internal, masih dijumpai sejumlah masalah yang menyebabkan kinerja investasi
dan ekspor belum maksimal. Untuk investasi permasalahan utama berkenaan dengan
belum terwujudnya kepastian usaha akibat belum adanya UU Penanaman Modal Baru
yang lebih kondusif, masih rumit dan panjangnya proses perizinan investasi,
masih lemahnya koordinasi antara pusat-daerah, dan masih terbatasnya kapasitas
infrastruktur di dalam mendukung peningkatan investasi sebagaimana diharapkan.
Sementara itu, karena belum
maksimalnya kinerja peningkatan ekspor, beberapa permasalahan utama yang
dijumpai adalah masih rendahnya daya saing produk Indonesia di banyak pasar
internasional, masih besarnya andalan produk ekspor yang berbasis bahan mentah
dan bernilai tambah rendah, masih belum beroperasinya perjanjian perdagangan
regional yang potensial, seperti dengan Cina dan Jepang, masih lemahnya
struktur kebijakan fasilitasi perdagangan akibat buruknya pelayanan dan kapasitas
infrastruktur fisik dan penunjang kegiatan perdagangan, belum optimalnya
pemenuhan standar di negara tujuan ekspor dan masih belum dirumuskannya sistem
distribusi nasional yang bisa secara efektif meningkatkan efisiensi perdagangan
dalam negeri untuk mendorong peningkatan ekspor.
Selain berbagai permasalahan
dalam ekspor barang, juga dijumpai beberapa permasalahan di dalam meningkatkan
perolehan devisa dari sektor jasa. Hal tersebut terutama dapat dilihat pada
kinerja bidang pariwisata yang dewasa ini menghadapi permasalahan sebagai
berikut: belum optimalnya penetrasi promosi pariwisata, karena kurangnya
koordinasi, integrasi dan sinkronisasi, baik intra maupun interlembaga yang
terkait di bidang pariwisata; dan belum adanya dukungan optimal dari pemerintah
kota/kabupaten terhadap perkembangan pariwisata berkaitan dengan munculnya
berbagai peraturan daerah yang menghambat; dan dampak dari isu-isu negatif
bencana alam, kesehatan dan terorisme (seperti tsunami, penyakit flu burung,
dan ancaman bom) yang kesemuanya memberikan kontribusi terhadap penurunan
jumlah wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia.
Meskipun
kinerjanya menunjukkan perbaikan dalam tahun 2004, sektor industri pengolahan
sebagai penghasil utama ekspor nonmigas Indonesia masih banyak menghadapi
permasalahan. Industri nasional menghadapi masalah permesinan yang sudah usang sehingga
daya saingnya makin menurun. Hal ini terjadi justru pada beberapa industri yang
masih menjadi andalan ekspor, seperti tekstil dan produk tekstil (TPT). Di sisi
lain, iklim usaha yang ada masih belum kondusif, termasuk kondisi pasar tenaga
kerja sehingga turut memengaruhi posisi daya saing industri, terutama dalam
menghadapi pasar bebas. Kondisi ini bertambah kompleks dengan belum maksimalnya
dukungan perbankan nasional dan pasar modal, yang mempngaruhi kemudahan akses
pada permodalan yang murah.
Sementara itu, sebagai salah satu
pelaku ekonomi nasional yang penting, kinerja BUMN telah menunjukkan adanya
peningkatan. Namun, peningkatan kinerja ini harus diakui masih belum optimal.
Sebagai contoh, dari keseluruhan laba
sekitar Rp29 triliun yang dihasilkan kelompok BUMN laba pada tahun 2004,
sekitar 70 persen laba tersebut hanya dihasilkan oleh lima BUMN, sedangkan
sekitar 30 persen sisanya dihasilkan oleh 122 BUMN yang lain. Di samping itu,
jika dilihat dari indikator produktivitas kinerja BUMN, peningkatan yang ada
dirasakan belum mantap dan berkesinambungan. Angka return on asset (ROA) misalnya, dari tahun ke tahun perkembangannya
tidak berlangsung secara konsisten. Pada tahun 2001, rata-rata ROA BUMN mencapai 2,28 persen,
dan meningkat menjadi 2,74 persen pada tahun 2002. Namun, angka ini turun
menjadi 2,20 persen pada tahun 2003, dan diperkirakan meningkat lagi menjadi
2,49 persen pada tahun 2004. Dengan kinerja demikian, di samping mempersulit
BUMN untuk dapat berperan utuh dalam memberikan sumbangan bagi perkembangan
perekonomian nasional, masih ada potensi BUMN untuk membebani anggaran negara,
yang dapat memengaruhi upaya mempertahankan kesinambungan fiskal.
Belum optimalnya kinerja
pengelolaan BUMN tersebut antara lain disebabkan oleh masih lemahnya koordinasi
kebijakan antara langkah perbaikan internal perusahaan dan kebijakan industrial
dan pasar tempat BUMN tersebut beroperasi, belum terpisahkannya fungsi
komersial dan pelayanan masyarakat pada sebagian besar BUMN dan belum
terimplementasikannya prinsip-prinsip Good
Corporate Governance secara utuh
di seluruh BUMN. Di samping itu, belum optimalnya kesatuan pandangan dalam
kebijakan restrukturisasi dan privatisasi di antara pemilik kepentingan (stakeholders), berpotensi memberikan dampak negatif dalam pelaksanaan dan
pencapaian kebijakan yang ada.
Sementara itu, usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM) dan koperasi berperan strategis dalam kehidupan ekonomi
nasional, yaitu menjadi sandaran hidup bagi sebagian besar masyarakat Indonesia
serta sekaligus mampu menyerap sebagian besar angkatan kerja yang bekerja pada
tahun 2004. Namun, kenyataan yang ada adalah
produktivitas tenaga kerja usaha
kecil pada tahun 2004 hanya mencapai Rp11,6 juta per tenaga kerja per tahun,
sedangkan usaha menengah mencapai Rp38,7 juta per tenaga kerja per tahun. Angka
ini sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan produktivitas tenaga kerja
usaha besar yang mencapai Rp2,2 miliar per tenaga kerja per tahun.
Secara umum, perkembangan UMKM hingga akhir tahun
2004 belum dapat menghilangkan kelemahan internal, dan ketidakmampuan
menghadapi perkembangan eksternal. Permasalahan internal
yang dihadapi koperasi dan UMKM yaitu adalah lemahnya kemampuan dan posisi
tawar untuk mengelola dan mengakses ke berbagai sumber daya produktif, yang
meliputi (1) sumber informasi; (2) akses pasar; (3) penguasaan dan pemanfaatan
teknologi; (4) pengembangan organisasi dan manajemen; dan (5) keterbatasan akses
ke lembaga keuangan. Selain itu, sumber daya
manusia koperasi dan UMKM juga masih berpendidikan relatif rendah. Mereka
memiliki kemampuan manajerial dan teknis yang tidak memadai, yang berakibat
pada rendahnya produktivitas, kualitas dan daya saing terhadap produk lain.
Tambahan pula kebanyakan koperasi dan UMKM tidak didukung oleh kemampuan
organisasi dan manajemen yang memadai. Bahkan, tidak jarang koperasi dan UMKM
dijalankan alakadarnya.
Beberapa permasalahan eksternal yang
dihadapi dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM adalah kondisi yang belum terlalu kondusif bagi sektor riel, termasuk koperasi
dan UMKM, baik yang berkaitan dengan bidang ekonomi, dan di bidang yang lain,
khususnya politik dan keamanan di tingkat lokal. Selain itu, koperasi
dan UMKM juga dihadapkan pada pelaksanaan perdagangan bebas, sesuai dengan
kesepakatan yang telah disetujui, khususnya melalui WTO, APEC, ASEAN, dan AFTA.
Kesepakatan itu membawa konsekuensi berlakunya prinsip-prinsip dalam
perdagangan bebas. Berlakunya pasar bebas berarti berlakunya persaingan yang
semakin ketat.
Selanjutnya, ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) sebagai faktor penting bagi kesejahteraan, kemandirian, dan
daya saing bangsa, kinerjanya masih jauh dari harapan. Permasalahan yang
dihadapi dalam pembangunan iptek, antara lain adalah (1) rendahnya tingkat
kemajuan iptek nasional, ditunjukkan dalam Indeks Pencapaian Teknologi (IPT)
pada urutan ke-60 dari 72 negara (2001) serta peringkat daya saing pertumbuhan
urutan ke-69 dari 104 negara (2004); (2) rendahnya kontribusi iptek dalam
sektor produksi, ditunjukkan oleh rendahnya tingkat efisiensi dan produktivitas
sistem produksi, serta minimnya kandungan teknologi dalam kegiatan ekspor; (3)
belum optimalnya mekanisme intermediasi iptek yang menjembatani interaksi
antara kapasitas penyedia iptek dan kebutuhan pengguna; (4) terbatasnya sumber
daya iptek; (5) belum sinerginya kebijakan iptek dengan kebijakan bidang
pendidikan dan industri; serta (6) belum kondusifnya kebijakan fiskal bagi
pengembangan kemampuan iptek.
2. Langkah-Langkah
Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Dalam rangka meningkatkan
investasi untuk mendorong pertumbuhan yang tinggi dan berkesinambungan sejumlah
langkah penting telah dilakukan oleh Pemerintah selama 10 bulan terakhir. Proses
penyelesaian RUU Penanaman Modal dipercepat agar dapat segera diundangkan.
Prosedur perizinan investasi PMA dan PMDN lebih diserderhanakan melalui
penyempurnaan pelayanan investasi yang lebih komprehensif di BKPM sebagaimana
telah diatur dalam Keppres No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman
Modal dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN) melalui sistem pelayanan satu atap. Konsistensi peraturan perundangan
yang terkait dengan penanaman modal melalui sinkronisasi peraturan, baik
antarsektor ekonomi maupun antarpemerintah pusat dan daerah semakin diupayakan
dan ditingkatkan. Sistem insentif disusun bagi kegiatan investasi agar
Indonesia mampu bersaing dengan negara lain untuk menarik investasi pada
sektor/bidang usaha dan lokasi tertentu, termasuk insentif bagi pembangunan
infrastruktur. Citra Indonesia sebagai lokasi investasi yang aman dan
menguntungkan melalui pelaksanaan Tahun Investasi Indonesia 2005 dengan
peningkatan kualitas kegiatan promosi dan kerja sama investasi yang lebih
terarah dan terfokus. Upaya untuk membantu investor dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapi, antara lain, melalui pendayagunaan Tim Peningkatan
Ekspor dan Peningkatan Investasi.
Dengan sejumlah upaya tersebut,
didukung pula oleh stabilitas makroekonomi yang mantap, perkembangan investasi
PMDN dan PMA mengalami peningkatan cukup menggembirakan. Realisasi nilai
investasi PMDN berdasarkan izin usaha tetap PMDN periode 1 Oktober 2004 – 30
Juli 2005 mencapai sekitar Rp15,0 triliun dengan 184 proyek dan realisasi izin
usaha tetap PMA sebesar US$ 6,5 miliar dengan 728 proyek.
Selanjutnya, untuk terus
meningkatkan ekspor, terutama ekspor nonmigas dilakukan sejumlah langkah
sebagai berikut. Harmonisasi tarif 2005–2010 dilakukan untuk berbagai produk
pertanian, perikanan, pertambangan, dan terutama berbagai produk industri
sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 591/PMK.010/2004.
Kapasitas dan kelembagaan laboratorium uji produk ekspor dan impor semakin
diperkuat dan prosedur ekspor-impor disederhanakan, terutama dalam kaitannya
dengan administrasi kepabeanan, dengan menghapuskan biaya untuk pengadaan
dokumen ekspor-impor. Forum kerja sama perdagangan semakin ditingkatkan dengan
beberapa negara, seperti dengan Cina (mulai efektif 14 juli 2005), dengan
India, dan Jepang melalui Economic
Partnership Agreement (EPA) dan Strategic
Investment Action Plan (SIAP), serta dengan Amerika Serikat melalui Trade and Investment Council/TIC. Standar produk melalui Standar Nasional Indonesia (SNI) dan
menyelaraskan SNI dengan standar internasional melalui Mutual Recognition Agreement (MRA).
Dalam upaya peningkatan kinerja
di bidang pariwisata, langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh antara lain
peningkatan aksesibilitas bagi wisman untuk berkunjung ke Indonesia, melalui
diberlakukannya Visa on Arrival (VoA) tambahan kepada 11 negara mitra
utama di bidang pariwisata; penyederhanaan prosedur di bidang pariwisata
bahari dan pengembangan pulau-pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia untuk
mendorong peningkatan iklim investasi di bidang usaha pariwisata.
Untuk mendorong pertumbuhan dan
memperkuat industri manufaktur, telah dilakukan pertemuan koordinasi dengan
seluruh instansi terkait, khususnya dengan kalangan perbankan, hal itu
dilakukan dalam upaya memberikan dukungan finansial bagi keperluan investasi
beberapa subsektor industri yang memiliki daya saing seperti halnya TPT dan
industri produk dan komponen alat transportasi. Upaya tersebut didukung
sejumlah upaya meningkatkan kontribusi iptek pada sektor industri dengan
menyempurnakan berbagai aspek di dalam mekanisme intermediasi antara keduanya.
Selanjutnya, dilakukan pengembangan sejumlah fasilitas pendidikan kejuruan
untuk mendukung upaya memacu pengembangan kapasitas SDM industri yang kompeten
dan sesuai dengan keperluan pasar dalam rangka pengembangan daya saing
industri. Demikian pula efektivitas bantuan teknis kepada IKM yang berdaya
saing lebih ditingkatkan.
Dengan langkah-langkah tersebut,
dicapai hasil yang menggembirakan. Sektor industri manufaktur pada triwulan pertama 2005
tumbuh rata-rata sebesar 8,1 persen. Kelompok Lapangan Usaha Industri (KLUI)
yang tumbuh paling tinggi adalah pupuk, kimia dan barang dari karet (KLUI 35);
semen dan barang galian bukan logam (KLUI 36); dan alat angkut, mesin dan
peralatannya (KLUI 38) masing-masing sebesar 19,8 persen; 13,6 persen; dan 13,5
persen. Perkembangan tiga KLUI tersebut di atas seiring dengan peningkatan
utilisasi kapasitas produksi. Selain itu, pertumbuhan sektor industri yang tinggi
juga diwarnai oleh perubahan kandungan teknologi produk ekspor dari produk
ekspor berbasis sumberdaya alam dan berteknologi rendah ke produk ekspor
berteknologi sedang/tinggi.
Sementara itu, di sektor
pariwisata langkah-langkah kebijakan yang dilakukan, di tengah berkembang isu-isu
negatif bencana alam, kesehatan dan terorisme (seperti tsunami, penyakit flu
burung dan ancaman bom) terhadap kunjungan wisatawan mancanegara, telah berhasil mencegah
penurunan kinerja
pariwisata dalam kurun waktu Januari – Juni 2005 hanya sekitar 3,9 persen jika
dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2004.
Selanjutnya, sebagai salah satu
sumber pembiayaan defisit anggaran tahun 2004, privatisasi BUMN ditargetkan
sebesar Rp5 triliun dari 10 BUMN yang siap diprivatisasi. Namun, mengingat saat
itu kondisi pasar tidak kondusif untuk melakukan semua rencana privatisasi,
realisasinya hanya mencakup 4 BUMN dari 10 BUMN yang direncanakan, yaitu PT
Pembangunan Perumahan, PT Adhi Karya, PT Bank Mandiri, dan PT Tambang Batubara
Bukit Asam dengan perolehan dana hanya sebesar Rp3,455 triliun atau 69,10
persen dari nilai yang telah ditargetkan.
Sementara itu, dalam upaya
penyehatan BUMN, selama tahun 2004, Kementerian BUMN, telah melakukan
restrukturisasi terhadap beberapa BUMN yaitu BUMN Perikanan dan BUMN
Penerbangan, yaitu dengan melakukan kajian terhadap rencana merger. Upaya ini dilakukan
pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan.
Adapun upaya pemantapan
pelaksanaan Good Corporate Governance
(GCG) selama tahun 2004 telah dilaksanakan penandatanganan Statement of
Corporate Intent (SCI) oleh 75 perusahaan yang merupakan wujud dari
transparansi pengelolaan usaha oleh BUMN. Sebagai tindak lanjutnya, Kementerian
BUMN terus memonitor dan menilai, antara lain melalui audit pelaksanaan GCG, review terhadap temuan auditor GCG, dan
memasukkan unsur-unsur tersebut dalam key
performance indicator’s (KPI) penilaian kinerja direksi dan komisaris BUMN
yang bersangkutan.
Dengan
memerhatikan kondisi dan permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan KUMKM, kebijakan
KUMKM dilaksanakan secara berkesinambungan, seiring dengan perubahan yang
terjadi. Untuk menciptakan lingkungan usaha yang efisien, sehat dari
persaingan, dan nondiskriminatif bagi kelangsungan dan peningkatan kinerja
usaha UMKM, langkah yang paling
mendasar adalah menyusun Rancangan Undang-Undang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah untuk menyempurnakan UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Diharapkan dalam waktu dekat setelah tersusun RUU Pemberdayaan Usaha Mikro,
Usaha Kecil dan Usaha Menengah dapat segera dilaksanakan pembahasannya.
Sementara
itu, untuk
mempermudah, memperlancar, dan memperluas akses UMKM kepada sumber daya
produktif, di antaranya akses kepada modal, saat ini sedang dilakukan penyusunan RUU Penjaminan Kredit. Aspek penting yang
dicakup di antaranya meliputi masalah kelembagaan, mekanisme penjaminan,
prosedur pangawasan dan pembinaan yang terkait dengan penjaminan kredit.
Selanjutnya, dilakukan juga perkuatan modal awal dan padanan (MAP), yang
merupakan bentuk dukungan keuangan untuk meningkatkan usaha UMKM sebagai dana
stimulan. Pada tahun 2004 telah dialokasikan dana MAP bagi lebih dari 4.000
UKM, melalui 200 KSP/USP-Koperasi di 30 provinsi. Pengembangan lembaga
pengembangan bisnis (LPB) atau yang juga populer disebut Business
Development Services-Providers (BDS-P) juga terus dilanjutkan. Pada tahun
2004 telah diberikan perkuatan terhadap 200 BDS dengan total penyediaan
dukungan dana operasional sebesar Rp10 miliar. Dengan demikian, sejak tahun
2001 dan sampai akhir tahun 2004 ini telah dikembangkan 907 BDS di seluruh
Indonesia.
Untuk
mengembangkan kewirausahaan dan daya saing, telah ditingkatkan upaya penerapan dan kualitas
kewirausahaan oleh PKM dan calon-calon wirausaha baru, melalui antara lain pelaksanaan
pelatihan kewirausahaan. Selanjutnya, untuk memberikan peluang yang lebih luas
bagi UKM dalam rangka meningkatkan nilai tambah berbagai produk telah
dilaksanakan kegiatan percontohan usaha dengan pola perguliran di sektor
agribisnis yang dirintis di berbagai baerah meliputi pengembangan usaha sapi
perah, sapi potong (penggemukan sapi), persusuan, usaha budi daya, pembibitan
itik, usaha kambing, domba, perikanan, dan serat rami.
Dalam
rangka memberdayakan usaha mikro melalui peningkatan produktivitas dan mutu produk telah
dilakukan bimbingan/pemanfaatan teknologi tepat guna, sertifikasi label halal
dan merek, standardisasi bagi produk-produk UKM dan pengembangan desain produk.
Hingga saat ini telah dikembangkan sebanyak 1.006 sentra yang tersebar di
seluruh Indonesia, melalui dukungan berupa penyediaan dana MAP dan pendampingan
oleh lembaga pelayanan bisnis.
Selanjutnya,
untuk mendorong
kualitas koperasi, koperasi lebih diorong untuk lebih akuntabel, baik aspek
kinerja maupun keuangan. Pelaksanaan akuntabilitas koperasi ini merupakan wujud
pertanggungjawaban, yang diharapkan akan mendorong peningkatan kesejahteraan
anggota dan kemajuan usaha koperasi yang bersangkutan.
Dalam kaitannya dengan upaya
peningkatan daya saing nasional, penguatan iptek difokuskan pada enam bidang
prioritas, yang mencakup (1) ketahanan pangan, (2) sumber energi baru dan
terbarukan, (3) teknologi dan manajemen transportasi, (4) teknologi informasi
dan komunikasi, (5) teknologi pertahanan, dan (6) teknologi kesehatan dan obat-obatan.
Selanjutnya, mekanisme intermediasi iptek dalam bentuk penataan aspek
kelembagaan, regulasi, pola komunikasi, serta standardisasi lebih dikembangkan.
Sementara itu, pengelolaan sumber daya iptek lebih ditata, antara lain melalui
(1) penataan data dan informasi iptek dalam bentuk statistik dan indikator
iptek, (2) optimalisasi sumber daya manusia dan fasilitas litbang, serta (3)
perbaikan sistem pengelolaan litbang. Bersamaan dengan itu, pengembangan sistem
inovasi nasional dalam rangka sinergi kebijakan lebih didorong dengan didukung
oleh revitalisasi pola insentif iptek.
Beberapa hasil penting yang
dicapai dalam 10 bulan terakhir, antara lain adalah (1) peluncuran roket
balistik buatan Indonesia yang berdiameter 150 mm dan 250 mm untuk jenis RX-1110.01.01; RX-1512.02.02; RX-2728.03.01
dan 2 jenis roket RX-70; (2) pengembangan biofuel gasohol E-10 (biodiesel
sawit, biodiesel jarak pagar, dan bio-etanol) sebagai alternatif energi baru
dan terbarukan ketahap produksi sehingga diharapkan layak bagi pasar energi;
(3) persiapan pengembangan Sistem Peringatan Dini Tsunami (Tsunami Early Warning System) di Indonesia yang melibatkan 13 institusi pusat.
Saat ini telah disusun skenario besar Pembangunan Sistem Peringatan Dini
Tsunami. Sistem Peringatan Dini Tsunami tersebut nantinya akan merupakan bagian
dari Regional Center baik untuk
wilayah Indian Ocean maupun Pasific Ocean, sehingga merupakan Network of Networks; (4) diterbitkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual
serta Hasil Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga
Penelitian dan Pengembangan. Peraturan Pemerintah ini pada dasarnya merupakan
salah satu bentuk pertanggungjawaban lembaga litbang yang selama ini dibiayai
oleh pemerintah agar dapat dimanfaatkan seluas mungkin oleh masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraannya.
3. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi yang berkesinambungan, peningkatan kinerja investasi ke depan masih
sangat diperlukan. Oleh karena itu, langkah-langkah tindak lanjut yang masih
diperlukan adalah merealisasikan penyelesaian RUU Penanaman Modal dan berbagai
pelaksanaan terkait, termasuk di dalamnya pemberian insentif yang menarik.
Perhatian lebih besar akan diberikan pada hal-hal terkait dengan tertib
pelayanan dan tertib administrasi, termasuk di dalamnya perbaikan pelayanan
perizinan dan administrasi birokrasi yang masih dikeluhkan oleh para investor,
terutama investor asing.
Adapun dalam upaya terus
mendorong peningkatan kinerja ekspor nasional sejumlah upaya tindak lanjut yang
penting dilakukan antara lain adalah meneruskan harmonisasi tarif untuk seluruh
produk di dalam pos tarif nasional dan meningkatan efisiensi dan akuntabilitas
prosedur ekspor-impor, yang mengarah ke paperless and on-line mechanism.
Untuk memperluas akses pasar ke negara-negara tujuan ekspor, terutama pasar
yang potential, akan lebih ditingkatkan kerja sama perdagangan internasional,
termasuk pengembangan kebijakan perdagangan
luar negeri yang menunjang bisnis dan persaingan. Dalam kaitan itu, lebih ditingkatkan
jaringan informasi ekspor dan impor agar mampu merespons kebutuhan dunia usaha,
terutama eksportir kecil dan menengah dan dikembangkan kebijakan fasilitasi
perdagangan yang lebih efektif dan meningkatkan bantuan teknis dan finansial,
terutama untuk eksportir UKM. Sementara itu, efisiensi perdagangan dalam negeri
akan lebih ditingkatkan melalui pengembangan sistem distribusi nasional untuk
mendukung kinerja ekspor nasional.
Untuk terus meningkatkan kinerja
pariwisata, tindak lanjut utama yang diperlukan adalah memfasilitasi kerja sama
pemasaran antarnegara, antarpusat dengan daerah, dan antarpelaku industri
pariwisata dalam berbagai bentuk aliansi strategis, dan meningkatkan citra
kepariwisataan nasional baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Langkah-langkah tersebut perlu didukung oleh berbagai sektor penting terkait,
antara lain penyediaan infrastruktur dalam jumlah dan kualitas yang memadai.
Di samping penciptaan iklim yang
kondusif bagi industri, peningkatan daya saing industri manufaktur ke depan
akan dilakukan melalui penataan struktur industri, peningkatan kemampuan
teknologi, dan pengembangan industri kecil dan menengah. Penataan struktur
industri dimaksudkan untuk memperbaiki struktur industri nasional, baik dalam
hal konsentrasi penguasaan pasar maupun dalam hal kedalaman jaringan pemasok
bahan baku, bahan pendukung, komponen, dan barang setengah-jadi bagi industri
hilir. Peningkatan kemampuan teknologi dan pengembangan industri kecil dan menengah
dimuarakan dalam mendukung penataan industri nasional. Dengan demikian, upaya
penataan ini memerlukan komitmen bersama dan berkelanjutan antara pemerintah,
pelaku usaha, dan masyarakat.
Sementara itu, upaya meningkatkan
kinerja BUMN ke depan akan berlandaskan pada Master Plan Revitalisasi BUMN 2005–2009 yang saat ini sedang dalam
proses penyusunan. Upaya peningkatan kinerja BUMN ini akan dilakukan secara
bertahap melalui kebijakan reformasi BUMN yang menyelaraskan secara optimal
kebijakan internal perusahaan dan kebijakan industrial serta pasar tempat BUMN
tersebut beroperasi; memisahkan fungsi komersial dan pelayanan masyarakat pada
BUMN; serta mengoptimalkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance secara utuh dalam kerangka
revitalisasi BUMN. Adapun langkah tindak penerapan kebijakan tersebut, antara
lain (1) melanjutkan upaya peningkatan revitalisasi bisnis, yaitu meningkatkan shareholder value BUMN yang ada; (2) meningkatkan efektivitas manajemen BUMN,
baik ditingkat komisaris, direksi, maupun karyawan; (3) meningkatkan kualitas
operasi, pelayanan, dan pendapatan BUMN; (4) menyempurnakan sistem pengadaan
barang dan jasa di lingkungan BUMN sehingga tercipta tingkat efisiensi yang
semakin tinggi; (5) melanjutkan pelaksanaan restrukturisasi, termasuk pemetaan
secara bertahap setiap BUMN di berbagai sektor; (6) meningkatkan sosialisasi
tentang privatisasi BUMN di semua level
stakeholders agar pelaksanaan privatisasi menghasilkan pendapatan yang
optimal; dan (7) melanjutkan privatisasi BUMN. Kebijakan privatisasi akan lebih
ditujukan untuk meningkatkan nilai perusahaan (value creation) dan daya
saingnya di pasar global tanpa mengabaikan pemenuhan anggaran untuk APBN.
Dengan demikian maka program privatisasi akan lebih mengutamakan peningkatan
pendapatan negara dibanding hanya sekedar pemenuhan kewajiban setoran ke APBN.
Setoran ke APBN akan dipacu melalui peningkatan dividen perusahaan dan pajak.
Selain melanjutkan program dan
kegiatan yang telah dilakukan selama ini, pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
dan koperasi pada tahun 2006, diarahkan agar memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap penciptaan kesempatan kerja, peningkatan ekspor dan
peningkatan daya saing, sementara itu pengembangan usaha skala mikro diarahkan
untuk memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan masyarakat
berpendapatan rendah, khususnya di sektor pertanian dan perdesaan.
Tindak lanjut yang diperlukan
dalam meningkatkan kemampuan iptek adalah (1) meningkatkan kemampuan dan
produktivitas penguasaan ilmu dasar, ilmu terapan, dan rekayasa teknologi
menuju terbentuknya pusat-pusat unggulan iptek yang berbasis kompetensi inti;
(2) mengembangkan aplikasi teknologi pemanfaatan sumber energi baru dan
terbarukan; (3) menyelesaikan roadmap
riptek pada enam bidang unggulan; (4) meningkatkan implementasi mekanisme
intermediasi iptek untuk pemanfaatan hasil litbang oleh dunia usaha dan
masyarakat dengan menumbuhkan jaringan kemitraan dalam kerangka sistem nasional
inovasi; (5) menindaklanjuti kerja sama pembangunan teknologi pertahanan dalam
rangka mengurangi ketergantungan Indonesia pada pihak asing dan meningkatkan
penguasaan teknologi pertahanan dalam menghadapi kemungkinan dampak embargo
dalam hal pengadaan alat utama sistem pertahanan; (6) meningkatkan pemanfaatan
secara komersial hasil teknologi di bidang energi; (7) melanjutkan survey
statistik iptek bidang perguruan tinggi, persiapan survey untuk bidang
industri, dan pemutakhiran data indikator pembangunan iptek; serta (8)
menyelesaikan grand scenario tsunami
early warning system dan implementasinya. Empat subsistem dalam TEWS yaitu
Subsistem Observasi dan Integrasi Data, Subsistem Diseminasi Informasi,
Subsistem Capacity Building, dan
Subsistem Kesiapan Masyarakat (Community
Preparedness) perlu segera dijabarkan secara rinci sehingga peran, tanggung
jawab, fungsi, dan kontribusi masing-masing kementerian dan lembaga dapat
segera dilaksanakan.
C. Pemantapan Stabilitas Ekonomi
1. Permasalahan yang Dihadapi
Di sisi moneter, selama 10 bulan
terakhir stabilitas ekonomi mendapat tekanan berupa kenaikan laju inflasi dan
depresiasi nilai tukar rupiah. Laju inflasi meningkat dari 6,4 persen pada
tahun 2004 menjadi 8,81 persen pada bulan Maret 2005 dan tercatat sekitar 7,84
persen pada bulan Juli 2005. Sementara itu, nilai tukar rupiah terdepresiasi
dari Rp9.290/USD pada akhir tahun 2004 menjadi sekitar Rp9.819 pada akhir Juli
2005.
Faktor yang memengaruhi tingginya
laju inflasi, antara lain disebabkan oleh tingginya ekspektasi inflasi di
masyarakat serta depresiasi rupiah sebagai dampak dari tingginya kebutuhan
valas oleh BUMN/swasta dan kenaikan harga minyak mentah dunia. Adapun dari
faktor eksternal lainnya adalah kebijakan ekonomi AS yang mengarah ketat yang
dicerminkan oleh kenaikan suku bunga Fed
Fund hingga mencapai 3,25 persen pada akhir Juni 2005.
Di sisi
keuangan negara, pemerintah juga menghadapi tekanan dan tantangan eksternal dan internal
yang cukup berat. Pertama, tingginya beban pengeluaran negara yang
disebabkan oleh meningkatnya harga minyak mentah di pasaran dunia dan
terjadinya bencana alam dan tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam dan
Nias (Sumatra Utara). Peningkatan harga minyak mentah tersebut menyebabkan
meningkatnya alokasi belanja pemerintah pusat untuk subsidi bahan bakar minyak
(BBM). Beban subsidi BBM pada tahun 2004 realisasinya mencapai Rp69,0 triliun
atau 3,0 persen PDB dengan harga minyak mentah Indonesia sebesar USD 37,2/barel
dan nilai tukar rupiah terhadap USD mencapai Rp8.939. Sementara itu, jika harga
BBM tidak dilakukan penyesuaian dan harga minyak internasional mencapai
USD50,0/barel dengan nilai tukar sebesar Rp8.900/USD, subsidi BBM dalam tahun
2005 dapat mencapai Rp110 triliun. Permasalahan kedua adalah adanya kendala dalam penerapan sistem penganggaran baru berdasar UU No. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara. Perubahan sistem penganggaran yang baru tersebut memerlukan
perubahan dalam proses penyusunan dan bentuk dokumen-dokumennya. Dampak dari
perubahan tersebut mengakibatkan proses penyelesaian dokumen anggaran terlambat
dari jadwal yang ditetapkan sehingga realisasi semester I tahun 2005 sebagian
pengeluaran pemerintah pusat menjadi rendah.
Pada sisi penerimaan negara,
tantangan yang dihadapi adalah menyeimbangkan antara kebutuhan untuk
meningkatkan penerimaan berbasis pajak yang berkelanjutan dan tetap
memerhatikan prinsip keadilan dan memberikan ruang bagi berkembangnya dunia
usaha.
Sementara itu, pada sisi
pembiayaan defisit, tantangan yang dihadapi adalah memperoleh komposisi
pinjaman yang optimal, antara lain dari segi beban bunga, risiko pembayaran
kembali (refinancing risk) serta tidak menimbulkan crowding-out
terhadap pembiayaan investasi masyarakat. Oleh karena itu, defisit anggaran
pemerintah dibiayai melalui pembiayaan dalam dan luar negeri yang dibatasi pada
upaya untuk (1) mengelola risiko pinjaman dengan menurunkan jumlah pinjaman
luar negeri; (2) mengelola penerbitan surat utang negara (SUN) agar tidak
menimbulkan efek crowding out pada
investasi swasta; serta (3) memantapkan kesinambungan fiskal dengan menurunkan
rasio pinjaman/PDB yang berarti penurunan secara bertahap defisit anggaran.
Dengan berbagai kendala yang
dihadapi keuangan negara, peran swasta dalam pembangunan perlu ditingkatkan. Untuk itu, diperlukan sektor keuangan dan pasar modal yang
makin berkembang dan dapat diandalkan. Pada pelaksanaannya sektor
keuangan menemui berbagai permasalahan. Pertama,
masih lemahnya penerapan good governance
pada pengelolaan bank. Beberapa kasus yang terjadi menunjukkan bahwa
terdapat kegagalan dalam pengelolaan risiko pada tingkat pengurus bank maupun
pemilik bank. Selain itu, pengenalan nasabah yang kurang baik berpotensi
menimbulkan terjadinya risiko penyimpangan seperti dalam pengelolaan kredit.
Kedua,
konsolidasi perbankan berjalan lambat. Struktur perbankan yang sebagaimana
diharapkan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia belum dapat terwujud melalui merger atau akuisisi secara mandiri oleh
bank-bank. Oleh kerena itu, dalam kondisi ini perbankan nasional dipacu untuk
mempercepat proses konsolidasi melalui konsep bank jangkar. Namun, meskipun
secara konseptual bank jangkar dapat membawa dampak positif pada sektor
perbankan, tetapi penanganan yang kurang berhati-hati justru berpotensi
menciptakan kekhawatiran publik mengenai kredibilitas bank-bank yang tidak
memenuhi status bank jangkar. Permasalahan akan terjadi apabila kondisi bank
tersebut tidak memungkinkan untuk berkonsolidasi sehingga dapat menjatuhkan
kredibilitas bank tersebut, yang menyebabkan terjadinya pengalihan dana
sehingga pada akhirnya bank tersebut masuk dalam kriteria bank gagal.
Ketiga,
operasionalisasi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melalui pengurangan secara
bertahap cakupan penjaminan pemerintah, berpotensi memperlambat penghimpunan
dana. Pengurangan cakupan penjaminan, jika tidak dikelola secara hati-hati, dapat
menimbulkan kekhawatiran pada deposan serta terjadinya pengalihan aset,
termasuk capital flight akan
mengganggu proses menstabilkan kembali perekonomian yang tengah berlangsung.
Keempat,
masih terkendalanya fungsi intermediasi perbankan. Meskipun penyaluran kredit
perbankan telah menunjukkan adanya peningkatan, Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan masih rendah serta adanya
potensi peningkatan risiko penyaluran kredit. Dalam hal penyaluran kredit
terhadap Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), perbankan telah menunjukkan
kinerja yang sangat baik. Namun, khusus untuk penyaluran kredit usaha kecil
(KUK) masih terkendala yang tercermin dari kecilnya pangsa kredit KUK terhadap
total kredit perbankan (15,6 persen pada bulan Oktober 2004). Sementara itu,
bencana alam tsunami di Aceh dan Nias yang telah melumpuhkan sarana dan
prasarana fisik juga menimbulkan dampak negatif terhadap perbankan di daerah
tersebut, antara lain hilangnya data nasabah atau debitur.
Kelima, perbankan berbasis
syariah meskipun berkembang pesat, perannya dalam perbankan nasional relatif
masih terbatas. Tantangan ke depan
adalah meningkatkan peran tersebut, dengan tetap menjaga kesehatan perbankan
syariah. Keenam, peran lembaga jasa keuangan nonbank masih belum signifikan
untuk dapat menjadi sumber pendanaan jangka panjang. Pasar modal sebagai
penggerak dana-dana jangka panjang bagi sektor swasta masih perlu ditingkatkan
peranannya dalam perekonomian.
Selanjutnya, data dan informasi
statistik sangat penting dalam upaya penciptaan stabilitas ekonomi makro.
Namun, dalam upaya penyediaannya masih terkendala. Jumlah data dan informasi
statisitik yang tersedia masih terbatas, akibat keterbatasan SDM dan sarana dan
prasarana pendukung bagi penghimpunan data. Di sisi lain, berbagai perubahan di
berbagai bidang pembangunan, telah meningkatkan kebutuhan informasi statistik
baik pada skala nasional dan regional, maupun skala internasional. Kebutuhan
ini semakin penting dengan adanya penerapan otonomi daerah. Namun penyediaan
data dan informasi daerah, terutama kecamatan atau desa, masih cenderung sulit
diperoleh karena selama ini penyediaan data dan informasi masih terkait dengan
wilayah administrasi yang lebih besar.
2. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil
yang Dicapai
Dalam upaya memperkuat stabilitas
ekonomi, kebijakan moneter diukur dengan porsi yang tepat (fine tuning) dengan menyeimbangkan antara kebutuhan untuk menjaga
stabilitas harga dan nilai tukar dengan tanpa menekan potensi pertumbuhan
secara berlebihan. Kecenderungan kebijakan moneter yang ketat ditandai dengan
kenaikan tingkat suku bunga SBI secara bertahap dan terukur disebabkan masih
tingginya tingkat inflasi aktual dan ekspektasi, serta gejolak nilai tukar yang
cukup signifikan dan cepat. Tingkat suku bunga SBI baik 1 bulan maupun 3 bulan
naik hingga mencapai sekitar 8,49 persen dan 8,45 persen pada akhir Juli 2005.
Apabila dibandingkan dengan akhir tahun 2004, tingkat suku bunga SBI 1 bulan
dan 3 bulan masing-masing telah naik sebesar 1,06 persen dan 1,16 persen.
Naiknya tingkat suku bunga SBI
ini diperkirakan tidak berdampak pada investasi mengingat tingginya selisih (spread) antara tingkat suku bunga kredit
dan tingkat suku bunga deposito yang berkisar 6–7 persen. Oleh karena itu,
meskipun terjadi kenaikan tingkat suku bunga SBI yang diikuti kenaikan tingkat
suku bunga simpanan, masih terjadi penurunan tingkat suku bunga kredit. Tingkat
suku bunga kredit investasi dan modal kerja sampai dengan triwulan II tahun 2005
turun masing-masing mencapai 13,65 persen dan 13,36 persen dari 14,05 persen
dan 13,41 persen pada akhir 2004, meskipun tingkat suku bunga simpanan
(deposito 1 bulan) naik dari 6,43 persen pada akhir 2004 menjadi 6,98 persen
pada triwulan II tahun 2005.
Penyempurnaan pengendalian
moneter melalui operasi pasar terbuka (OPT) juga terus dilakukan dengan
diperkenalkannya fine tuning operation.
Dengan kebijakan yang baru ini, transaksi OPT dapat digunakan sewaktu-waktu
untuk memengaruhi likuiditas perbankan jangka pendek pada waktu, jumlah, dan
harga yang ditentukan oleh otoritas moneter.
Di samping langkah-langkah berupa
pengetatan posisi moneter, telah dilakukan langkah-langkah yang bersifat
koordinatif antara Bank Indonesia dan Pemerintah guna menjaga stabilitas nilai
rupiah. Langkah-langkah tersebut mencakup (1) pemenuhan kebutuhan valas bagi
Pertamina oleh Pemerintah; (2) pemenuhan kebutuhan valas bagi BUMN di luar
Pertamina melalui bank yang telah ditunjuk; (3) penempatan devisa hasil ekspor
(DHE) bagi BUMN pada perbankan dalam negeri; dan (4) penerbitan peraturan
pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing pada bank umum.
Di sisi keuangan negara, beberapa
langkah telah ditempuh untuk mengatasi permasalahan yang ada. Untuk mengatasi
beban pengeluaran negara yang cukup tinggi, terutama beban subsidi BBM akibat
melonjaknya harga minyak mentah di pasaran dunia, Pemerintah menaikkan harga
BBM dalam negeri per 1 Maret 2005 rata-rata sekitar 29,0 persen. Namun, untuk
minyak tanah yang diperuntukkan bagi rumah tangga tidak dinaikkan harganya.
Kenaikan harga jual BBM dalam negeri tersebut dilakukan untuk menyisihkan
anggaran yang lebih besar dan lebih bersifat langsung kepada masyarakat
golongan miskin serta mengelola ekonomi secara berhati-hati yang pada
gilirannya menjaga stabilitas makroekonomi. Kebijakan yang bersifat price adjustment tersebut diikuti dengan
dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 10 Tahun 2005 tentang
Penghematan Energi guna menekan beban subsidi. Dengan langkah-langkah tersebut,
subsidi BBM selama tahun 2005 diperkirakan masih akan mencapai Rp76,5 triliun
atau 2,9 persen PDB (APBN-P 2005). Namun, akan terdapat dana yang dapat
direalokasikan untuk membiayai sektor pendidikan sebesar Rp6,3 triliun,
kesehatan sebesar Rp3,9 triliun, dan infrastruktur perdesaan sebesar Rp3,3
triliun.
Dalam pelaksanaannya, berbagai
rencana pengeluaran pemerintah tersebut masih terkendala oleh sistem
penganggaran yang baru. Guna mengatasi permasalahan tersebut, telah dilakukan
sosialisasi dan konsultasi secara terus-menerus pada jajaran pemerintah untuk
meningkatkan pemahaman terhadap proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran.
Berkaitan dengan pembiayaan
rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias, diperoleh dana yang bersumber dari
luar negeri melalui hibah dan moratorium, sedangkan dana pinjaman digunakan
sebagai pelengkap. Selain melaksanakan kebijakan tersebut, untuk pemulihan Aceh
dan Nias juga dilaksanakan berbagai kebijakan lainnya. Sebagai contoh, dalam
upaya pemulihan fisik dan ekonomi di Aceh dan Nias sebagai akibat dari bencana
tsunami, pada sektor perbankan telah diterapkan kebijakan khusus perkreditan.
Melalui PBI No. 7/5/PBI/2005 dan PBI No. 7/17/PBI 2005 telah dilakukan
kebijakan kelonggaran kredit bagi bank umum dan BPR.
Guna membiayai pengeluaran yang
meningkat, Pemerintah terus mengusahakan peningkatan penerimaan negara,
utamanya yang berbasis pajak. Untuk itu, penerimaan pajak dilanjutkan secara
konsisten melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak.
Langkah-langkahnya mencakup penyisiran (canvassing),
penyuluhan, dan penyempurnaan bank data serta audit dan tindakan penagihan.
Selain itu, dilakukan upaya penyempurnaan administrasi pajak dan kepabeanan
melalui pengembangan sistem informasi pajak dalam rangka meningkatkan pelayanan
kepada wajib pajak. Untuk mendorong investasi dan peningkatan daya saing dunia
usaha dan juga memerhatikan rasa keadilan, Pemerintah telah mengeluarkan
beberapa kebijakan di bidang perpajakan dengan memberikan insentif perpajakan
bagi masyarakat dan dunia usaha. Secara keseluruhan, penerimaan pajak
diperkirakan akan meningkat dari yang semula Rp280,9 triliun atau 12,2 persen
PDB pada tahun 2004 menjadi Rp331,8 triliun atau 12,6 persen PDB pada APBN-P
tahun 2005.
Upaya meningkatkan penerimaan
yang disertai dengan pengendalian pengeluaran seperti diuraikan tadi, merupakan
pewujudan dari kebijakan memantapkan ketahanan fiskal. Defisit anggaran
ditargetkan akan dapat menurun dari 1,3
persen PDB pada tahun 2004 menjadi sekitar 0,8 persen di tahun 2005.
Di samping upaya menurunkan
defisit secara bertahap, dilakukan pula langkah-langkah pengelolaan utang,
antara lain melalui peningkatan pengelolaan SUN secara prudent dan
transparan untuk meminimalkan biaya utang pada tingkat risiko yang terkendali
dalam jangka panjang serta penyempurnaan struktur portofolio. Untuk mengurangi
risiko refinancing jangka menengah akibat tidak meratanya struktur jatuh
tempo kewajiban SUN, Pemerintah melakukan program pertukaran obligasi (debt-switching)
dan cash buyback, di samping mengupayakan pula peningkatan pendanaan
dari pinjaman dan hibah luar negeri. Namun, secara absolut pinjaman luar negeri
tetap diarahkan menurun secara bertahap dengan penyerapan pinjaman yang lebih
kecil jika dibandingkan dengan amortisasi pinjaman.
Langkah-langkah yang telah
dilakukan di bidang moneter dan keuangan negara itu ditujukan pada upaya
memantapkan stabilitas makroekonomi. Sementara itu, untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi dilakukan pembenahan struktural di sektor riil yang didukung oleh
perkuatan kinerja sektor keuangan guna meningkatkan kemampuan pembiayaan.
Perkuatan sektor keuangan
dilakukan melalui peningkatan ketahanan dan fungsi intermediasi perbankan,
serta peningkatan peran lembaga keuangan nonbank yang meliputi jasa perasuransian,
dana pensiun, perusahaan pembiayaan, dan pasar modal.
Dalam rangka meningkatan
ketahanan perbankan telah diterbitkan peraturan untuk meningkatkan pelaksanaan good governance yang dikenal dengan
paket Januari 2005. Selain itu, juga dilakukan penyempurnaan sistem kliring
nasional serta pengembangan daftar hitam nasional untuk mendukung ketahanan
perbankan. Seiring dengan upaya tersebut, kinerja perbankan relatif stabil yang
ditunjukkan dengan CAR bank umum yang mencapai sekitar 20,0 persen (Mei 2005) dibandingkan
dengan sekitar 19,4 persen pada akhir tahun 2004. Namun, jika terdapat potensi
kenaikan risiko yang tercermin dari kenaikan angka NPL (gross) 7,3 persen pada bulan Mei 2005, lebih tinggi jika
dibandingkan dengan akhir tahun 2004 yang sebesar 5,8 persen.
Selanjutnya, dalam kerangka
menjaga keamanan sektor keuangan, langkah awal yang telah dilakukan adalah
membentuk Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) melalui UU No. 24 Tahun 2004
tentang LPS yang telah ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keputusan Presiden
No. 95 tahun 2004 dan Peraturan Presiden No. 43 Tahun 2005 sebagai landasan
hukum untuk melakukan pengurangan lingkup dan pengakhiran penjaminan pemerintah
terhadap kewajiban bank umum dan BPR, beserta penyusunan peraturan pelaksana
dan kelengkapan organisasinya.
Selanjutnya, fungsi intermediasi
perbankan menunjukkan adanya optimisme akan prospek perekonomian yang lebih
baik ke depan. Kredit perbankan sampai dengan triwulan II tahun 2005 tumbuh
mencapai sekitar 28,1 persen dari sekitar Rp486,1 triliun (triwulan II tahun
2004) menjadi sekitar Rp622,6 triliun pada triwulan II tahun 2005. Membaiknya
kondisi perbankan secara nasional juga diikuti dengan membaiknya fungsi
intermediasi di daerah. Hal ini dicerminkan dengan meningkatnya rasio antara
data penyaluran dana terhadap data penghimpunan dana (LDR) pada beberapa daerah
tertentu, seperti Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah.
Bahkan, ketiga provinsi tersebut kinerjanya di atas rata-rata LDR nasional yang
sekitar 61,6 persen (Mei 2005). Di lain pihak, Provinsi DKI Jakarta yang
memiliki LDR di atas 100,0 persen pada 1994–1995, telah turun menjadi 43,1
persen pada bulan Mei 2005. Perkembangan ini menggambarkan bahwa penyaluran
dana perbankan di daerah relatif telah terdistribusi secara lebih merata dan
tidak didominasi oleh provinsi tertentu.
Selanjutnya, penyaluran kredit
terhadap UMKM menunjukkan pertumbuhan yang mencapai 29,9 persen dan porsi yang
mencapai 49,3 persen dari total kredit perbankan nasional (triwulan II tahun
2005). Peran UMKM terus ditingkatkan antara lain melalui kesepakatan antara
Pemerintah dan Bank Indonesia tentang Pemberdayaan dan Pengembangan UMKM dalam
rangka Penanggulangan Kemiskinan tanggal 8 Juni 2005. Sementara penyaluran
kredit KUK telah meningkat 38,5 persen dari sekitar Rp69,9 triliun pada
triwulan II tahun 2004 menjadi Rp96,9 triliun pada triwulan II tahun 2005.
Selanjutnya, perbankan syariah
menunjukkan perkembangan cukup pesat yang tercermin dari pertumbuhan aset yang
mencapai sekitar 50,0 persen per tahun dan penghimpunan DPK syariah mencapai
55,0 persen per tahun. Fungsi intermediasi yang dilakukan oleh perbankan segmen
ini telah berjalan optimal tercermin dari angka Financing to Deposit Ratio (FDR) yang berkisar 95,0 sampai dengan
105,0 persen jauh jika dibandingkan dengan perbankan konvensional yang baru
sekitar 52,9 persen.
Dalam upaya meningkatkan
peran lembaga keuangan nonbank berbagai langkah telah dilakukan. Pada industri
jasa perasuransian, telah ditegakkan pengaturan terhadap pengawasan berbasis
risiko antara lain dengan dicabutnya izin usaha 10 perusahaan asuransi yang
tidak dapat memenuhi ketentuan Risk Based
Capital sebesar 120,0 persen selama 10 bulan terakhir. Di bidang dana pensiun, orientasi
investasi sudah semakin beralih dari deposito bank dan dana-dana jangka pendek
kepada investasi yang bersifat jangka panjang (seperti obligasi pemerintah dan
obligasi korporasi). Perubahan ini didorong oleh maraknya pasar obligasi yang
dipacu oleh penurunan suku bunga. Di bidang perusahaan pembiayaan, telah
terjadi peningkatan nilai dan kualitas aset serta kegiatan usaha. Selain itu,
dalam upaya meningkatkan pendanaan bagi usaha kecil, perusahaan modal ventura
telah berhasil meningkatkan kerja samanya dengan perusahaan pasangan usaha.
Di bidang pasar modal, diperoleh
berbagai kemajuan sebagai berikut. Pergerakan pasar yang ditandai oleh indeks
harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta berhasil mencapai level 1.182,3
di akhir Juli 2005. Selaras dengan peningkatan indeks tersebut, nilai kapitalisasi
pasar BEJ juga mencapai Rp805,5 triliun pada akhir Juli 2005. Perkembangan
tersebut merupakan respons positif dari pergerakan pasar terhadap situasi
politik dan keamanan di Indonesia yang cukup baik, antara lain tercermin dari
keberhasilan menyelenggarakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung yang akhirnya turut meningkatkan kepercayaan investor di pasar modal.
Hal tersebut terlihat dari semakin meningkatnya transaksi pemodal asing
mencapai 41,0 persen (2004) dari total perdagangan saham jika dibandingkan
dengan tahun sebelumnya sebesar 28,0 persen. Meningkatnya aktivitas pemodal
asing juga mendorong aliran modal masuk yang mencapai Rp18,8 triliun (2004)
atau meningkat 90,5 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Selain itu, perkembangan lain di
bidang pasar modal yang patut dicatat adalah semakin terbukanya peluang
pengembangan efek beragun aset (EBA) melalui pembentukan Secondary Mortgage Facility (SMF). Dengan dukungan penuh dari DPR,
modal awal bagi pendirian SMF telah disetujui dan dimasukkan dalam UU No.36
Tahun 2004 tentang APBN Tahun Anggaran 2005 sebesar Rp1 triliun. Selanjutnya,
sebagai landasan hukum untuk pendirian badan hukum SMF telah diterbitkan
Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2005 tentang Penanaman Modal Negara Republik
Indonesia. Selanjutnya, telah ditetapkan pula Peraturan Presiden No. 19 Tahun
2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan untuk memberikan pokok-pokok
pengaturan terhadap SMF yang meliputi mekanisme pembiayaan sekunder perumahan,
pembinaaan dan pengawasan, dan prudential
regulation. Selanjutnya, untuk meningkatkan kredibilitas SMF di mata
investor, Pemerintah telah menjajaki peluang lembaga keuangan internasional
sebagai pemegang saham SMF. Adapun lembaga-lembaga keuangan internasional yang
telah menyatakan minatnya untuk berperan serta adalah Asian Development Bank (ADB), Islamic
Development Bank (IDB), dan International
Finance Corporation (IFC).
Sementara itu, untuk meningkatkan ketersediaan data dan informasi
statistik yang cepat, lengkap, dan akurat, secara nasional dan regional, dalam
tahun 2005 telah diambil beberapa langkah utama antara lain berupa peningkatan
kualitas dan profesionalisme SDM melalui pelatihan dan pendidikan di bidang
teknis dan manajemen statistik; pengembangan sistem informasi statistik; dan
pembangunan gedung serta kantor statistik, terutama untuk BPS provinsi dan BPS
kabupaten/kota yang baru terbentuk atau pindah lokasi akibat adanya pemekaran
wilayah administrasi. Dalam kaitannya penyediaan data sosial telah dilakukan
survei angkatan kerja nasional (Sakernas), survei sosial ekonomi nasional
(Susenas), survei penduduk antarsensus (Supas), dan survei upah. Untuk
pengadaan data statistik lintas bidang, seperti bidang politik, pertahanan
keamanan, hukum, dan penyelenggaraan negara, kemiskinan, dan gender
dilaksanakan melalui penyusunan indikator kesejahteraan rakyat, penyusunan
indikator dan indeks kerawanan sosial, penyusunan statistik politik dan
keamanan, penyusunan indikator kekerasan, penghitungan penduduk miskin dan
statistik desa tertinggal. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pemerintah
menyalurkan dana kompensasi subsidi BBM langsung pada rumah tangga miskin, juga
telah dilaksanakan pendataan sosial ekonomi penduduk (sensus rumah tangga
miskin). Selain itu, untuk mendukung penyediaan data statistik ekonomi telah
dilakukan persiapan sensus ekonomi tahun 2006 (SE2006), survei harga konsumen
untuk penghitungan inflasi, survei harga produsen dan konsumen perdesaan untuk
menghitung nilai tukar petani, survei usaha rumah tangga terintegrasi, survei
bidang jasa dan pariwisata, survei bidang transportasi, survei statistik
lembaga keuangan, kompilasi data statistik ekspor, dan penghitungan PDB dan
PDRB.
3. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Dengan tetap memerhatikan situasi
yang terjadi, kebijakan moneter yang cenderung ketat masih akan digunakan untuk
mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan, antara lain melalui koordinasi
antara Pemerintah dan Bank Indonesia guna menyamakan langkah dan arah kebijakan
moneter dan fiskal dalam rangka mendukung perekonomian nasional. Dalam rangka
mengubah ekspektasi masyarakat dari yang bersifat adaptif menjadi forward looking, pada pertengahan tahun
2005 mulai diperkenalkan inflation
targeting dengan instrumen kebijakan moneter berupa suku bunga sebagai pengganti
instrumen uang primer. Melalui instrumen tingkat suku bunga tersebut,
diharapkan otoritas moneter dapat dengan cepat merespons perkembangan yang
terjadi guna menuju ke arah sasaran inflasi yang telah ditetapkan.
Di sisi keuangan negara, dengan
melihat perkembangan dari realisasi keuangan negara pada semester I tahun 2005,
diperlukan langkah-langkah guna mempercepat pengeluaran/belanja negara. Langkah
tersebut dilakukan di samping untuk mendorong investasi, juga digunakan untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Namun, akan tetap dilanjutkan upaya
pemantapan kesinambungan fiskal dengan melanjutkan penurunan defisit secara
bertahap dari 1,3 persen PDB pada tahun 2004 menjadi 0,8 persen PDB di tahun
2005. Dengan demikian, rasio pinjaman/PDB juga akan menurun. Tugas tersebut
tidak mudah mengingat kondisi eksternal yang berubah secara cepat dan sangat
besar yang langsung memengaruhi pos-pos pengeluaran dan pendapatan negara.
Di sektor keuangan, kebijakan ke
depan akan diarahkan untuk memperkuat kelembagaan guna menunjang kegiatan
perekonomian melalui upaya-upaya (1) pelaksanaan kegiatan lanjutan dalam
pembentukan Jaring Pengaman Sektor Keuangan melalui penetapan UU tentang
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan persiapan pengalihan tugasnya, penyusunan mekanisme
jaring pengaman sektor keuangan serta finalisasi RUU Jaring Pengaman Sektor
Keuangan; (2) peningkatan kinerja dan stabilitas lembaga jasa keuangan melalui
penyempuranaan UU tentang perasuransian, pasar modal, dana pensiun serta
implementasi International Organization
of Securities Commission (IOSCO) dan International
Association Insurance Supervision (IAIS) core principles; serta (3) peningkatan good governance pada industri jasa keuangan melalui perbaikan
kualitas manajemen dan operasional pada industri jasa keuangan melalui
penyusunan standar minimum penerapan prinsip good governance pada lembaga keuangan.
Selanjutnya, untuk meningkatkan
fungsi intermediasi perbankan kebijakan diarahkan pada optimalisasi penyaluran
kredit perbankan, termasuk peningkatan fungsi permodalan kepada UMKM, antara
lain melalui fasilitasi pengembangan skim penjaminan kredit dan bantuan teknis
pada BPR serta Konsultan Keuangan Mitra Bank untuk penyaluran kredit bagi
sektor tertentu serta pengkajian penyusunan kebijakan peraturan perundangan
Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Di samping itu, untuk mendukung
peningkatan diversifikasi sumber pendanaan pembangunan oleh Lembaga Jasa
Keuangan Nonbank (LJKNB), diterapkan kebijakan berupa pengaturan dan law enforcement pada pengawasan LJKNB.
Kebijakan tersebut dilaksanakan melalui kegiatan pokok yang antara lain
meliputi pengawasan industri asuransi yang berbasis risiko, pengawasan dan
pemeriksaan terhadap emiten, perusahaan publik dan manajer investasi, serta
penyusunan standar minimum mekanisme pengaduan nasabah serta standar prosedur
pengaduan investor pasar modal.
Selanjutnya, berbagai upaya
ditujukan untuk peningkatan ketersediaan data dan informasi statistik yang
cepat, lengkap, dan akurat, baik secara nasional maupun secara regional, perlu
ditindaklanjuti dan dijaga kesinambungannya. Tindak lanjut tersebut antara lain
akan dilakukan melalui peningkatan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan
standardisasi kegiatan statistik dalam kerangka mewujudkan sistem statistik
nasional yang andal, efektif, dan efisien, peningkatan kapasitas sumber daya
manusia statistik yang profesional serta penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi informasi mutakhir.
D. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan
1. Permasalahan yang Dihadapi
Revitalisasi pertanian,
perikanan, dan kehutanan merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional
untuk mendukung penciptaan lapangan kerja terutama, di perdesaan dan
pertumbuhan ekonomi nasional yang sekaligus dapat mengurangi kemiskinan, serta
peningkatan daya saing hasil-hasil pertanian. Sektor pertanian, perikanan, dan
kehutanan juga memiliki peran besar dalam penyediaan pangan, sehingga
stabilitas ketersediaan pangan sangat penting untuk menjamin kesejahteraan
masyarakat.
Permasalahan yang dihadapi di
sektor pertanian, perikanan dan kehutanan untuk dapat mewujudkan sasaran
tersebut adalah (1) kesejahteraan petani/nelayan masih rendah dan tingkat
kemiskinan yang tinggi di sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan, (2)
kelembagaan petani/nelayan dan penyuluhan yang masih lemah, (3) lahan
pengusahaan petani semakin sempit, (4) akses petani dan nelayan ke sumber daya
produktif termasuk permodalan dan usaha masih sangat terbatas, (5) masih
rendahnya sistem alih teknologi dan diseminasi teknologi pengolahan produk pertanian,
perikanan, dan kehutanan, (6) masih tingginya ketergantungan konsumsi pangan
pada beras dan rentannya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga yang ditandai
dengan masih adanya kasus busung lapar dan gizi buruk, (7) budi daya dan
pemanfaatan perikanan dan kehutanan yang belum optimal dan masih tingginya illegal
fishing dan illegal logging, (8) ketidakseimbangan pemanfaatan stok
ikan antarkawasan perairan laut dan terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem
laut dan pesisir, (9) rendahnya nilai hasil hutan nonkayu yang sebenarnya
berpotensi untuk meningkatkan pendapatan petani dan masyarakat sekitar kawasan
hutan, dan (10) pemanfaatan hutan yang melebihi daya dukung sehingga
membahayakan pasokan air yang menopang keberlanjutan produksi hasil pertanian.
Sementara itu, di sektor
peternakan, akhir-akhir ini dihadapi menyebarnya penyakit flu burung, yang
tidak saja merugikan produksi peternakan, tetapi juga membahayakan kesehatan
manusia.
Secara rinci, sumber daya
perikanan yang merupakan salah satu penyokong pertumbuhan ekonomi, sumber
devisa negara, dan penyedia bahan pangan protein hewani bagi masyarakat,
menghadapi berbagai permasalahan, antara lain (1) kondisi nelayan yang pada
umumnya miskin dan masih merupakan nelayan tradisional; (2) masih tingginya ketidakseimbangan
pemanfaatan stok perikanan tangkap antarkawasan/wilayah dan antar spesies; (3)
banyaknya praktik Illegal Unreported and
Unregulated (IUU) Fishing yang menyebabkan kerugian negara; dan (4)
pengusahaan perikanan budi daya yang masih belum efisien. Di samping itu,
masalah-masalah lain yang menyertai adalah sarana dan prasarana perikanan yang
belum memadai, dan input-input lain, seperti masalah benih, pakan, kesehatan
ikan, dukungan permodalan, riset, dan iptek perikanan. Sementara itu, masalah
penanganan dan proses pengolahan produk-produk perikanan juga belum berkembang
dengan baik, sehingga produk perikanan bermutu rendah dengan nilai jual yang
rendah pula. Di pasar global, produk perikanan juga menghadapi kendala oleh
adanya hambatan tarif dan nontarif, yang dikaitkan pula dengan isu-isu
lingkungan dan kesehatan. Apabila permasalahan itu dapat ditangani, sumber daya
kelautan dan perikanan mempunyai prospek besar untuk dikembangkan peranannya
dalam mendukung pembangunan nasional.
Indonesia memiliki potensi hutan
yang sangat besar, tetapi potensi hutan yang besar tersebut belum dikelola
secara optimal karena beberapa sebab, yaitu penataan kawasan hutan (termasuk
tata ruang hutan) yang belum mantap, belum terbentuknya unit pengelolaan hutan
pada seluruh kawasan hutan, pemanfaatan hutan yang belum berpihak kepada
masyarakat, pemanfaatan hutan yang masih bertumpu pada hasil hutan kayu,
pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran dan pengelolaan hutan yang
masih lemah, upaya konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan kritis belum
mendapat perhatian yang memadai.
Upaya-upaya untuk memperbaiki
pengelolaan hutan telah dilakukan, tetapi secara umum hasilnya belum seperti
yang diharapkan. Beberapa permasalahan yang masih memerlukan perhatian adalah
pemanfaatan hutan yang telah melebihi kemampuannya sebagai sumber daya alam
yang dapat diperbarui sehingga menimbulkan tidak saja kerugian ekonomi, tetapi
juga ekologi, seperti musnahnya plasma nutfah, lahan kritis, tanah longsor,
banjir, dan kekeringan. Berkurangnya kawasan hutan juga menyebabkan terjadinya
kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan bahan baku industri yang diperkirakan
mencapai 35–40 juta m3 per tahun. Sementara itu, potensi hasil hutan
bukan kayu belum berkembang secara optimal. Hal ini terkait dengan masih
rendahnya pendapatan dan kualitas hidup masyarakat di dan sekitar kawasan hutan
yang umumnya mengusahakan hasil hutan bukan kayu secara tradisional dan
terbatas.
2. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Sebagai salah satu upaya
stabilisasi kesejahteraan masyarakat, terutama untuk memenuhi konsumsi
masyarakat pada hari-hari besar, pada akhir tahun 2004 telah berhasil dilakukan
upaya pengamanan penyediaan bahan pangan pokok untuk memenuhi kebutuhan di hari
Lebaran dan Natal. Langkah ini dimaksudkan agar pada masa tingginya konsumsi
bahan pangan pokok masyarakat dapat memiliki akses terhadap bahan pangan pokok
dengan harga yang terjangkau. Langkah ini dilakukan pula dalam rangka
mengantisipasi bencana banjir dan musim tanam (paceklik) yang dapat mengganggu
jumlah pasokan bahan pangan yang dapat mengakibatkan melonjaknya harga. Pada
masa hari besar keagamaan tersebut telah dilakukan pemantauan stok, distribusi,
dan harga bahan pokok sehingga kebutuhan konsumsi masyarakat dapat dipenuhi
dengan baik.
Selain itu, ketersediaan dan
distribusi input produksi, seperti benih, pupuk, kredit, serta alat mesin
pertanian dapat dijaga agar tepat waktu dan pada tingkat harga yang terjangkau
sehingga proses produksi dapat berjalan lancar. Selanjutnya, mengingat panen
pada awal tahun 2004 berjalan baik, melalui Inpres Nomor 2 Tahun 2005 harga
pembelian gabah oleh Pemerintah telah disesuaikan agar dapat menutupi biaya
produksi. Langkah ini didukung pula dengan kebijakan larangan impor beras melalui
SK Menteri Perdagangan Nomor 71/M/XII/2004 yang berlaku dari 1 Januari sampai
dengan 30 Juni 2005, yang diperpanjang sampai akhir tahun 2005 untuk mencegah
masuknya impor beras yang dapat mengganggu stabilitas harga beras di pasaran
yang dapat merugikan petani. Langkah-langkah tersebut telah berhasil
menstabilkan penyediaan, distribusi, dan harga bahan pangan pokok serta
tersedianya input produksi pada saat musim tanam Larangan impor, terutama pada
saat panen raya,juga telah memberikan dampak membaiknya harga yang diterima
petani sehingga lebih menguntungkan.
Untuk lebih mempertegas dan
menjabarkan pembangunan pertanian, pada tanggal 12 Juni 2005 Presiden telah
mencanangkan konsep operasional Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan secara Nasional di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat. Langkah tersebut
dilakukan untuk lebih menekankan kembali dan menggerakkan seluruh stakeholders pertanian, perikanan, dan
kehutanan untuk memahami dan memosisikan sektor pertanian, perikanan, dan
kehutanan sebagai wahana peningkatan kesejahteraan petani, nelayan, peternak,
pekebun, dan petani hutan pada khususnya dan masyarakat di perdesaan pada
umumnya.
Di bidang pertanian, sedang
dilakukan revitalisasi sistem penyuluhan secara nasional. Selanjutnya,
Departemen Pertanian bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan lembaga
internasional sedang melakukan peningkatan sistem kesehatan ternak dan keamanan
produk hewan untuk mengendalikan penyakit ternak yang dapat menganggu keamanan
produk ternak dan kesehatan manusia. Dalam rangka mengatasi penyakit flu
burung, telah dilakukan langkah-langkah untuk mengendalikan dan membatasi
penyebaran flu burung yang merugikan peternak maupun yang membahayakan
kesehatan manusia (zoonosis), melalui vaksinasi, pemusnahan ternak dan pencegahan
penyebaran secara spasial, serta sosialisasi untuk kewaspadaan dan pengendalian
dampak flu burung.
Selain itu, untuk meningkatan
ketahanan pangan di tingkat regional dan daerah dan di tingkat rumah tangga
terus dilakukan upaya peningkatan kapasitas produksi pangan di daerah dan
peningkatan sistem kerawanan pangan dan gizi serta peningkatan pendapatan,
terutama di daerah-daerah defisit pangan untuk mencegah dan mengantisipasi
terjadinya kasus gizi buruk dan busung lapar.
Sementara itu, langkah-langkah
kebijakan di bidang kehutanan yang telah dilakukan dalam rangka revitalisasi
pertanian, perikanan, dan kehutanan adalah (1) revitalisasi industri kehutanan,
yang dititikberatkan pada pembangunan hutan tanaman industri, pemanfaatan hasil
hutan bukan kayu, dan peningkatan pemanfaatan jasa lingkungan; (2) pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan
sekitar hutan; (3) rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber daya alam;
dan (4) pelindungan dan konservasi sumber daya alam dengan melakukan
pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu ilegal yang
mendapat dukungan internasional, antara lain dengan Environmental
Investigation Agency (EIA) Inggris, kerja sama dengan LSM Amerika Serikat
dalam penyelamatan lingkungan hidup, kerja sama dengan negara-negara konsumen
kayu serta LSM internasional dalam forum Asian Forest Partnership (AFP) dan Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT), dan nota
kesepahaman bilateral dengan beberapa negara, seperti Cina, Jepang, Inggris,
Korea Selatan, dan Norwegia.
Selanjutnya, di sisi lain untuk
mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan sumber daya perikanan
dilakukan langkah-langkah yang mengarah pada upaya peningkatan kemampuan
nelayan dan pembudi daya ikan dan penguatan lembaga pendukungnya. Selain itu,
juga dilakukan upaya untuk mendorong peningkatan produktivitas usaha perikanan
dan peningkatan nilai tambah produk perikanan, yang didukung dengan
kebijakan/regulasi yang jelas dan perbaikan sarana dan prasarana perikanan yang
baik
Secara nasional, hasil awal
revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan pada awal tahun 2005
menunjukkan perkembangan yang positif. Pada tahun 2005, penyerapan tenaga kerja
di sektor pertanian diperkirakan masih besar, yaitu di atas 40 persen dari
total tenaga kerja. Ekspor hasil pertanian pada periode Januari – April 2005
meningkat sebesar 36,86 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada
tahun 2004. Besarnya kontribusi ekspor hasil pertanian terhadap total ekspor
jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2004, yaitu sebesar 4,33
persen.
Di bidang pangan pokok, produksi
beras pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 53,0 juta ton atau setara 33,5 juta
ton beras, yang berarti sedikit menurun jika dibandingkan dengan produksi tahun
2004. Perkiraan penurunan produksi padi tersebut perlu diantisipasi dan
dilakukan langkah-langkah pengmanan agar produksi pangan tidak mengakibatkan
gejolak yang berarti di tingkat masyarakat. Selanjutnya, kebijakan pelarangan
impor beras telah mendorong kenaikan harga gabah di tingkat petani. Pada tahun
2004, rata-rata harga gabah di tingkat petani untuk kelompok kualitas GKG
sebesar Rp1.382,38/kg, dan pada tahun 2005 mencapai sebesar Rp1.726,56/kg.
Hasil-hasil yang dicapai dalam pembangunan perikanan dalam 2 tahun terakhir ini,
dapat ditunjukkan dengan beberapa indikator luaran. Kontribusi subsektor
perikanan yang dicerminkan oleh PDB perikanan, pada tahun 2004 mencapai 2,40
persen dari PDB nasional. Persentase ini meningkat
apabila dibandingkan dengan tahun 2003 yang sebesar 2,24 persen. Dalam tahun
2005 diperkirakan kontribusi tersebut dapat mencapai 2,74 persen dari PDB
nasional. Jika dilihat dari produksinya, pada tahun 2004 produksi hasil
perikanan mencapai 6,83 juta ton, yang berasal dari perikanan tangkap sebesar
4,89 juta ton dan perikanan budi daya sebesar 1,94 juta ton. Sementara itu,
sumbangannya terhadap devisa negara, pada tahun 2004 mencapai USD 2,14 miliar,
dengan volume ekspor sebesar 0,92 juta ton.
Dalam
penyerapan tenaga kerja, subsektor perikanan mampu menyerap sebanyak 6,44 juta
orang, yang terdiri atas 3,99 juta orang nelayan dan 2,45 juta pembudi daya
ikan. Peran lain dari subsektor perikanan, adalah sebagai penyedianbahan pangan
protein hewani bagi masyarakat. Konsumsi ikan per kapita nasional terus meningkat
dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 tingkat konsumsi ikan oleh masyarakat
mencapai 23,18 kg/kapita/tahun, dan diperkirakan pada tahun 2005 mencapai 24,51
kg/kapita/tahun.
Sementara itu, di bidang
kehutanan telah berhasil merestrukturisasi perusahaan patungan hutan tanaman
industri, mengevaluasi kinerja industri kehutanan, melakukan pendaftaran ulang
izin usaha industri primer hasil hutan kayu, peningkatan upaya rehabilitasi,
reklamasi dan reboisasi hutan, meningkatkan pelindungan dan konservasi hutan
dan menyusun model pertumbuhan dan hasil hutan tanaman.
Nilai ekspor hasil industri
kehutanan yang berasal dari kayu lapis dan kayu gergajian pada tahun 2004
mengalami penurunan sebesar 29,67 persen, yaitu dari 1,965 miliar dolar Amerika
Serikat menjadi 1,382 miliar dolar Amerika. Penurunan tersebut disebabkan oleh
menurunnya volume ekspor dari kedua komoditas tersebut, terutama kayu lapis
yang berkurang sekitar 1,41 juta ton.
3. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Di subsektor pertanian langkah
tindak lanjut difokuskan pada upaya-upaya untuk (1) meningkatkan kualitas usaha
pertanian dengan melakukan penyuluhan, pendampingan; (2) dukungan peningkatan
produktivitas melalui penyebaran bibit/benih bermutu dan melakukan dukungan dan
pembinaan peningkatan nilai tambah; (3) mengembangkan diversifikasi pangan,
baik pada aspek produksi dan ketersediaan maupun pada aspek konsumsi untuk
meningkatkan ketahanan pangan di tingkat daerah dan tingkat rumah tangga; (4)
menyosialisasikan pentingnya kesadaran gizi dan memperkuat sistem kerawanan
pangan dan gizi yang mengutamakan partisipasi aktif masyarakat; (5)
meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan usaha peternakan dan
perkebunan, termasuk peningkatan mutu dan keragaman produk olahannya; (6)
memperkuat sistem pengendalian hama penyakit tanaman, hasil ikan, dan sistem
pengendalian kesehatan ternak dan keamanan produk ternak. Berkaitan dengan
penyakit zoonosis, perlu disusun sistem pengendalian penyakit ternak dan
terutama yang dapat membahayakan kesehatan manusia; (7) melakukan penguatan
sistem standar mutu dan keamanan komoditas pertanian, perikanan, dan kehutanan
untuk meningkatkan daya saing di pasaran.
Di subsektor perikanan, kinerja
subsektor perikanan akan ditingkatkan melalui (1) pengembangan perikanan
tangkap di perairan/kawasan ZEEI, laut dalam dan laut lepas; (2) rehabilitasi
dan optimalisasi pengelolaan sarana dan prasarana perikanan; (3) penataan
kembali kawasan perikanan budi daya tambak agar lebih efisien dan ramah
lingkungan, dan melakukan upaya-upaya perbaikan ekosistem pesisir; (4)
pengembangan usaha perikanan berbasis kerakyatan dan pemberdayaan masyarakat
pesisir, pembudi daya ikan dan nelayan kecil; (5) peningkatan eksploirasi
potensi sumber daya nonkonvensional, seperti ikan laut dalam, dan sumber daya
laut lainnya.
Selanjutnya, di subsektor
kehutanan, tindak lanjut yang akan dilakukan adalah (1) peningkatan pemanfaatan
potensi sumber daya hutan melalui pembinaan
dan penertiban industri hasil hutan; (2) optimalisasi penerimaan negara bukan
pajak (PNBP) dan dana reboisasi; (3) pengembangan hutan tanaman; pengembangan
dan pemasaran serta pengendalian peredaran hasil hutan; (4) pengembangan hasil
hutan nonkayu; (5) perencanaan dan pengembangan hutan kemasyarakatan (social forestry); serta (6) pengembangan
kelembagaan usaha perhutanan rakyat dengan pola swadaya, pola subsidi, dan pola
kemitraan.
E Pengurangan Kesenjangan
Antarwilayah dan Pembangunan Perdesaan
1. Permasalahan yang Dihadapi
Pembangunan nasional yang telah
dilakukan selama ini meskipun secara umum telah mampu meningkatkan kualitas
hidup dan kesejahteraan masyarakat, ternyata masih menimbulkan kesenjangan
pembangunan antarwilayah. Ketimpangan pembangunan terutama terjadi antara
Jawa-luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI)-Kawasan Timur Indonesia
(KTI), serta antarkota dan antara kota-desa. Pada beberapa wilayah, ketimpangan
pembangunan telah berakibat langsung pada munculnya semangat kedaerahan yang
pada titik yang paling ekstrem diwujudkan dalam bentuk gerakan separatisme.
Sementara itu, upaya-upaya percepatan pembangunan pada wilayah yang relatif
masih tertinggal tersebut, meskipun telah dimulai sejak lebih dari sepuluh
tahun yang lalu, hasilnya hingga tahun 2004 jauh dari harapan dari masyarakat
yang tinggal di wilayah tersebut.
Permasalahan dalam pengembangan
wilayah tertinggal adalah (1) belum adanya kesepahaman antara berbagai stakeholders, baik di pusat maupun
daerah dalam penanganan wilayah tertinggal; (2) rendahnya dukungan APBD
provinsi untuk mengembangkan wilayah tertinggal dan pulau-pulau kecil; (3)
belum optimal dan sinergisnya upaya-upaya untuk percepatan pengembangan wilayah
tertinggal; (4) terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan dan telekomunikasi
yang menghubungkan wilayah-wilayah tertinggal dengan pusat-pusat pemasaran dan
ibukota kabupaten dan provinsi; (5) masih rendahnya kualitas SDM dan belum
optimalnya pengembangan potensi, baik SDM, SDA, dan kelembagaan di wilayah
tertinggal; (6) masih rendahnya keterlibatan swasta, lembaga nonpemerintah, dan
masyarakat lokal dalam pengembangan wilayah tertinggal; (7) terbatasnya
informasi dan akses masyarakat di daerah dalam penyediaan modal, input
produksi, pengembangan teknologi, informasi pasar, dan peluang usaha.
Sementara itu, untuk daerah
perbatasan permasalahan yang dihadapi, terutama adalah (1) panjangnya garis
perbatasan darat dan laut yang tersebar sampai di pulau-pulau terluar yang
harus diawasi, sedangkan sarana dan prasarana yang dimiliki aparat pertahanan
dan keamanan sangat minim mengakibatkan lemahnya pengawasan daerah perbatasan;
(2) tapal batas antarnegara yang masih belum ditetapkan secara jelas; (3)
meskipun kebijakan nasional pengembangan kawasan perbatasan secara terpadu
sudah dirumuskan, namun dalam pelaksanaannya masih banyak kendala, antara lain
keterbatasan pendanaan dan belum terpadunya koordinasi antar pihak-pihak yang
berkepentingan; (4) perbedaan tingkat kesejahteraan yang cukup tinggi antara
masyarakat Indonesia dan masyarakat negara tetangga; (5) tingkat kemiskinan
yang cukup tinggi sebagai salah satu penyebab maraknya penyelundupan tenaga
kerja dan sumber daya alam; (6) masih sangat sedikitnya pos perbatasan yang
tersedia dan pilar perbatasan yang sangat terbatas jumlahnya dan rendah
kualitasnya; (7) terbatasnya sarana dan prasarana keamanan, cukai, imigrasi,
dan karantina di pos-pos pelintas batas; (8) terbatasnya prasarana wilayah yang
menghubungkan pusat-pusat perkotaan dengan pintu-pintu perbatasan; serta (9)
pola tata guna dan status hutan di sepanjang perbatasan yang masih wewenang
pemerintah pusat, di lain pihak daerah dan masyarakat setempat membutuhkan
sumber daya bagi daerah dan kehidupannya.
Untuk mendorong pembangunan di
wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh permasalahan yang dihadapi terutama
adalah (1) belum adanya kesepahaman dan belum optimalnya kualitas SDM di
daerah, baik antara pemerintah daerah, masyarakat pelaku langsung maupun
swasta, dalam pengembangan wilayah strategis cepat tumbuh; (2) belum
terciptanya sinergi dan kerja sama yang terpadu lintas sektor dan antarpelaku dalam
pengembangan kawasan strategis cepat tumbuh; (3) keterbatasan infrastruktur
jaringan jalan dan perhubungan serta telekomunikasi yang menghubungkan
antarwilayah strategis dan cepat tumbuh di dalam negeri, dan dengan pusat-pusat
perekonomian dunia; (4) keterbatasan sarana dan prasarana ekonomi, produksi,
dan pengolahan, yang mendukung kegiatan usaha untuk pengembangan produk
unggulan di kawasan strategis dan cepat tumbuh; (6) minimnya informasi dan
akses masyarakat di daerah terhadap modal, input produksi, teknologi, pasar,
serta peluang usaha, dan kerja sama investasi.
Terkait dengan penataan ruang dan
pertanahan, permasalahan yang dihadapi adalah masih belum terwujudnya
kelembagaan yang efektif dan efisien yang diperlukan untuk meminimalisasi
konflik pemanfaatan ruang dan sengketa pertanahan yang terjadi di masyarakat,
baik di pusat maupun di daerah.
Sementara itu, di sisi pendanaan
untuk mendukung pembangunan wilayah, mekanisme alokasi dana dekonsentrasi masih
berjalan secara parsial berdasarkan prioritas setiap sektor. Hal ini diperparah
dengan masih lemahnya koordinasi antara departemen dan pemerintah daerah yang
bersangkutan, mengakibatkan lemahnya sinergi dan keterpaduan kegiatan dan
program yang dibiayai oleh dana dekonsentrasi dan perbantuan dengan yang
didanai dari APBD. Keterbatasan APBD menyebabkan pemerintah daerah yang
bersangkutan menempatkan skala prioritas yang rendah terhadap pembangunan
wilayah yang relatif tertinggal karena dianggap investasi di daerah ini tidak
akan membawa dampak yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi di wilayahnya.
Permasalahan lain adalah masih
adanya kesenjangan antar wilayah perkotaan dan perdesaan, pembangunan perdesaan
masih relatif tertinggal jika dibandingkan dengan perkotaan, yang dicerminkan
antara lain dengan rendahnya kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat
perdesaan. Salah satu contohnya, baru sekitar 6,4 persen rumah tangga perdesaan
yang telah dilayani infrastruktur perpipaan air minum, sementara di perkotaan
telah mencapai 32 persen. Beberapa masalah pokok yang perlu diprioritaskan
penyelesaiannya adalah keterbatasan akses masyarakat perdesaan terhadap sumber
daya produktif, kapasitas kelembagaan sosial-ekonomi pembangunan perdesaan yang
belum memadai, serta rendahnya kualitas pelayanan prasarana-sarana permukiman
perdesaan. Di samping itu, investasi yang lebih cenderung terkonsentrasi di
perkotaan, terutama kota-kota besar dan metropolitan, menyebabkan kian
meningkatnya kesenjangan ekonomi perdesaan dengan perkotaan yang berimplikasi
pada munculnya berbagai masalah terkait dengan urbanisasi, eksternalitas
negatif, dan lain-lain.
2. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Dalam rangka mengurangi
kesenjangan pembangunan antarwilayah, langkah-langkah kebijakan utama yang
dilakukan, antara lain adalah (1) meningkatkan keberpihakan Pemerintah untuk
mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal agar dapat tumbuh dan berkembang
secara lebih cepat dan dapat mengatasi ketertinggalan pembangunan dengan daerah
lain, di antaranya dengan melaksanakan Inpres No. 7 Tahun 2003 tentang
Kebijakan dan Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia,
juga melaksanakan program-program RPJM Nasional pembangunan daerah tertinggal;
(2) mempercepat pembangunan wilayah-wilayah tertinggal, seperti perbatasan,
kawasan transmigrasi, kawasan pesisir, dan pulau-pulau kecil terluar melalui
upaya percepatan penyediaan infrasruktur dan mendorong masyarakat dan kerja
sama swasta dalam rangka pengembangan ekonomi lokal berbasis sumber daya alam, budaya lokal, dan kearifan tradisional secara
berkelanjutan dan kegiatan usaha kecil dan menengah (UKM) lainnya; (3)
menyediakan prasarana dan sarana sosial dasar (pendidikan dan kesehatan) dalam
rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia di wilayah tertinggal; (4)
terus melaksanakan kebijakan Public Service Obligation (PSO), Universal
Service Obligation (USO), terutama dalam bentuk keperintisan, khususnya
untuk penyediaan dan pelayanan transportasi di wilayah-wilayah tertinggal; (5)
mendorong percepatan pembangunan di wilayah-wilayah yang strategis dan
mempunyai potensi untuk cepat tumbuh, terutama di luar Pulau Jawa, dengan
membuka peluang dan kerja sama dengan pihak swasta sehingga diharapkan dapat
mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya.
Hasil-hasil yang telah dicapai
dalam pengembangan wilayah tertinggal adalah (1) tersusunnya konsep kebijakan,
strategi nasional pembangunan daerah tertinggal yang berisi uraian definisi dan
batasan, konsep kebijakan dan program prioritas bagi percepatan pembangunan di
daerah tertinggal; (2) teridentifikasikannya 199 kabupaten tertinggal untuk
jangka perencanaan 2006–2009; (3) terbentuknya kerja sama antara kementerian
PDT, Bappenas, dan Bank Dunia dalam pengembangan program percepatan pembangunan
di daerah tertinggal; (4) tersusunnya program terpadu dengan 6 (enam)
Kementerian (Koperasi, PDT, Nakertrans, Kehutanan, Pertanian, Kelautan dan
Perikanan) untuk mendukung percepatan pembangunan masyarakat perdesaan melalui
koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah berbasis agribisnis; (5) terbentuknya
kerjasama antara kementerian PDT dengan departemen pendidikan nasional dalam
pertukaran kepala sekolah antara daerah tertinggal dengan daerah maju; (6)
tersusunnya kebijakan PKPS BBM bidang infrastruktur perdesaan yang lebih berpihak
kepada daerah tertinggal; (7) tersusunnya kebijakan Penyerasian Pembangunan
Wilayah Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil; (8) pelaksanaan Pemberdayan
Komunitas Adat Terpencil (KAT) dalam hal peningkatan SDM, penataan permukiman,
dan kerja sama pengembangan. Saat ini program tersebut sudah mulai dilaksanakan
untuk tahun anggaran 2005 dan akan terus mendapat prioritas anggaran dan
perhatian dari pemerintah.
Selanjutnya, pengembangan wilayah
perbatasan telah menghasilkan, antara lain (1) tersusunnya konsep naskah
akademik Rancangan UU tentang Batas Wilayah RI dan konsep kebijakan strategi
pengelolaan kawasan perbatasan; (2) tersusunnya rancangan Keppres tentang Dewan
Pengelola Kawasan Perbatasan Antarnegara dan Rencana Induk Pengembangan Kawasan
Perbatasan; (3) tersusunnya kebijakan, strategi, dan rencana tata ruang wilayah
Kawasan Perbatasan Negara serta tersusunnya rencana aksi pembangunan di tujuh
wilayah perbatasan (Sanggau, Sambas, Kapuas Hulu, Nunukan, Talaud, Merauke, dan
Belu); (4) finalisasi MOU lintas batas RI-Malaysia; (5) terlaksananya pembinaan
pos lintas batas dan kelembagaan di Provinsi Kalimantan Barat, Sulawesi Utara,
Papua, dan Nusa Tenggara Timur; (6) terlaksananya kerja sama ekonomi melalui
penanaman modal dalam pengembangan kawasan khusus di beberapa kabupaten di
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur dalam kerangka Sosek Malindo; (7)
tersusunnya pangkalan data wilayah perbatasan antarnegara; (8) tersusunnya
informasi dan peta garis batas dan pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan.
Hasil-hasil yang telah dicapai
dalam pelaksanaan program pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh
adalah (1) tersusunnya panduan kebijakan, pedoman, mekanisme perencanaan, serta
indikator pembangunan terpadu pengembangan kawasan; (2) tersusunnya revitalisasi
manajemen pengembangan KAPET; (3) peningkatan investasi dan kerja sama pada
kawasan cepat tumbuh dan KAPET. Pada tahun 2004 telah disiapkan masuknya
investasi di KAPET Pare-Pare sebesar US $7,110,320 dan US$ 1 miliar di KAPET
Bima dan 39 MoU yang menunggu tindak lanjut; (4) fasilitasi kepada Pemerintah
Daerah dalam penyusunan Rencana Pengembangan Kawasan Andalan dan Rencana
Pengembangan Kawasan Industri di beberapa KAPET, antara lain Semparuk (KAPET
Sanggau), Blang Ulam (KAPET Banda Aceh), Lappade (KAPET Pare-Pare), Kariangau,
dan Pendingin (KAPET Sasamba), Kawasan Industri Pulang Pisau (KAPET DAS KAKAB);
(5) terlaksananya pengembangan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas
Sabang; (6) ditingkatkannya status kawasan berikat Otorita Batam menjadi
Kawasan berikat plus Otorita Batam; (7) berkembangnya konsep dan terlaksananya
fasilitasi pengembangan kawasan cepat tumbuh melalui kerja sama terpadu dan
kemitraan antara pemerintah daerah, pihak swasta, dan masyarakat pelaku lainnya
di daerah; (8) terbentuknya dan terlaksananya forum-forum lintas pelaku dan
kerja sama ekonomi subregional, baik dalam pengelolaan potensi daerah maupun
pengembangan ekonomi wilayah; (9) fasilitasi pelaksanaan kewenangan daerah di
Kawasan Otorita, dan fasilitasi penanganan masalah kewenangan daerah di wilayah
kawasan pelabuhan, bandar udara, perumahan, industri, perkebunan, pertambangan,
kehutanan, pariwisata, dan kawasan lain sejenis.
Dalam rangka optimalisasi
penggunaan RTRWN untuk mendorong pertumbuhan daerah tertinggal, telah
dilaksanakan kegiatan, antara lain (i) penyusunan berbagai rencana tata ruang
dan rencana strategis, khususnya di kawasan perbatasan antarnegara, seperti di
Kalimantan Barat, Maluku Utara, NTT, Irian Jaya Barat, Kepulauan Riau, dan
Sulawesi Utara, serta pulau-pulau kecil terluar; dan (ii) pelaksanaan bantuan
teknis guna pemantapan kelembagaan penataan ruang di daerah.
Langkah-langkah yang telah
dilakukan dalam program pengelolaan pertanahan, antara lain (1) kegiatan
pengkajian, penyempurnaan, dan penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan
di bidang pertanahan; (2) penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah (P4T) yang berkeadilan dan memiliki jaminan kepastian
hukum; dan (3) penguatan kelembagaan pertanahan dan kewenangannya; serta (4)
mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan
penyelesaian konflik-konflik dan sengketa sumber daya agraria melalui
standardisasi penanganan sengketa, pemberdayaan masyarakat, kerja sama
antarinstansi, dan pihak terkait serta penguatan hak atas tanah.
Hasil-hasil yang telah dicapai
dalam 10 bulan terakhir ini adalah (1) penyusunan dan penetapan standar
prosedur operasi pengaturan dan pelayanan (SPOPP) pertanahan; (2) penyusunan
RUU Penyempurnaan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Sumber Daya Agraria,
RUU tentang Hak Tanah, dan RPP tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Kerugian sebagai penyempurnaan PP No. 224 Tahun 1961, serta telah diselesaikan
PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah; (3) pemberian jaminan
kepastian hukum hak atas tanah bagi masyarakat dengan penerbitan sertifikat
tanah; (4) pengembangan sistem informasi pertanahan.
Upaya peningkatan taraf hidup masyarakat pesisir dilakukan dengan pemberdayaan
ekonomi masyarakat pesisir, pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil
melalui optimalisasi penangkapan, pengolahan, pelelangan, dan pemasaran ikan,
serta pengembangan unit bisnis perikanan terpadu. Selain itu, dilakukan pengembangan budi daya
ikan unggulan melalui kegiatan percontohan, penguatan modal, pelatihan teknis,
temu lapang, temu usaha, dan pendampingan teknologi, pemberdayaan perempuan
generasi muda, serta penumbuhan kelompok usaha bersama (KUB), bantuan
sarana/modal usaha pengembangan mata pencaharian alternatif, dan perbaikan
ekosistem di pulau-pulau kecil dan pemberian premi asuransi nelayan untuk
15.960 orang nelayan yang mengikuti program asuransi jiwa.
Adapun pengurangan kesenjangan
wilayah pembangunan perkotaan dan
perdesaan yang telah dilakukan pada tahun 2004 dan 2005 diarahkan pada areal development melalui Pengembangan Ekonomi Lokal, Pengembangan
Kota-Kota Kecil dan Menengah, Pengendalian Kota-Kota Besar dan Metropolitan,
dan Pengembangan Keterkaitan Antarkota, serta didukung dengan Peningkatan
Keberdayaan Masyarakat Perdesaan. Khusus di perdesaan, dilakukan penciptaan
lapangan pekerjaan nonpertanian (non-farm
activities), pemantapan kelembagaan sosial ekonomi dalam pembangunan
perdesaan, pengembangan agropolitan, dan pengembangan sarana dan prasarana
permukiman dan ekonomi perdesaan. Selain itu, dilakukan pula sinkronisasi dan
pengembangan permukiman di kawasan perbatasan, pulau-pulau kecil, dan
penanggulangan kemiskinan. Peningkatan keberdayaan masyarakat dilakukan melalui
fasilitasi pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia di perkotaan dan
perdesaan. Khusus untuk daerah perkotaan, untuk meningkatkan taraf hidup dan
partisipasi masyarakat miskin telah dilakukan Program Penanggulangan Kemiskinan
di Perkotaan (P2KP) di 4.756 kelurahan yang berada di Pulau Jawa, Sulawesi,
Kalimantan, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Dalam upaya mendorong pembangunan
perdesaan yang partisipatif, telah dilakukan peningkatan keberdayaan masyarakat
perdesaan dan kapasitas pemerintahan di tingkat lokal. Hal itu antara lain
ditandai dengan tersusunnya Rancangan Peraturan Presiden tentang Penataan
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) sebagai wadah partisipasi masyarakat
dalam pembangunan dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Desa (pengganti PP
No. 76 Tahun 2001).
Di samping itu, dilaksanakan
upaya-upaya untuk mengembangkan perekonomian lokal, memperkuat keterkaitan
perdesaan dengan perkotaan, yang
ditujukan untuk meningkatkan produktivitas, nilai tambah usaha ekonomi di
perdesaan serta penciptaan lapangan kerja berkualitas. Hasil-hasil yang telah
dicapai adalah perbaikan sistem informasi perdesaan; pedoman, modul-modul dan
pelatihan kewirausahaan dan pengembangan usaha produktif, termasuk bagi
penduduk miskin; pemantapan dan sosialisasi Usaha Ekonomi Desa-Simpan Pinjam
(UED-SP) sebagai Lembaga Keuangan Mikro Perdesaan; pembangunan prasarana-sarana
perekonomian seperti pasar desa, listrik desa, jembatan desa, dermaga desa,
tempat pelelangan ikan, prasarana-sarana irigasi, air bersih, dan sanitasi di
kawasan perdesaan, termasuk untuk desa-desa tertinggal. Khusus untuk
pengembangan 59 kawasan agropolitan, terus ditingkatkan pengembangan
prasarana-sarana penghubung kawasan sentra produksi dengan pusat-pusat
distribusi dan pemasaran.
3. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Untuk terus mempercepat
pembangunan wilayah tertinggal tindak lanjut yang diperlukan antara lain (1)
meningkatkan kesepahaman dan komitmen dalam penanganan wilayah tertinggal
antara berbagai pihak terkait di pusat dan daerah dan di semua tingkatan
pemerintahan; (2) meningkatkan upaya koordinasi dan sinkronisasi program
pengembangan wilayah tertinggal secara terpadu di pusat dan daerah; (3)
mendorong penyusunan kebijakan yang memprioritaskan penanganan wilayah
tertinggal secara terpadu di pusat dan daerah; (4) mendorong penanganan wilayah
tertinggal kepada pemerintah daerah dan masyarakat sehingga menjadi prioritas
pembangunan daerah dan pengalokasian anggaran program dalam APBD; (5)
penanganan lanjutan pemberdayaan KAT secara lebih terkoordinasi dan terpadu
antarsektor mencakup aspek sosial budaya,
ekonomi, dan politik serta mengembangkan kemandirian agar mereka mampu
melakukan perubahan sosial dengan membudi dayakan sumber dan potensi lingkungan;
(6) perlu dipertimbangkan adanya kebijakan Dana Alokasi Khusus wilayah tertinggal
(DAK Wilayah tertinggal); (7) pembangunan permukiman transmigrasi yang
dilengkapi dengan prasarana dan sarana permukiman di wilayah tertinggal. Selain
itu, perlu pula dilanjutkan kebijakan pembangunan prasarana dan sarana
transportasi wilayah-wilayah tertinggal, melalui skema Public Service
Obligation (PSO), Universal Service Obligation (USO) dan
keperintisan.
Dalam rangka pengembangan wilayah
perbatasan, perlu (1) menetapkan tapal batas antarnegara secara jelas dan sah
secara hukum internasional; (2) meningkatkan upaya pengawasan, pengamanan
wilayah perbatasan melalui pembangunan sarana dan prasarana garis perbatasan
darat dan laut; (3) menyusun kebijakan nasional yang dapat dijadikan sebagai
acuan bagi pengembangan kawasan perbatasan secara terpadu dan ditetapkan
melalui UU, Keppres dan peraturan perundangan lainnya; (4) merumuskan lembaga
koordinasi kawasan perbatasan antarnegara yang terpadu dan menyeluruh untuk
meningkatkan upaya pengelolaan pembangunan kawasan perbatasan; (5) menyusun
kebijakan penggunaan dan pengelolaan sumber daya alam di sepanjang perbatasan
dengan meningkatkan keterlibatan masyarakat kawasan perbatasan, termasuk
perlunya kebijakan kompensasi bagi wilayah konservasi di perbatasan; (6) penyusunan masterplan
pengelolaan pulau kecil terluar melalui pelibatan masyarakat.
Dalam rangka pengembangan wilayah
perbatasan perlu (1) menetapkan tapal batas antar negara secara jelas dan sah
secara hukum internasional; (2) meningkatkan upaya pengawasan, pengamanan
wilayah perbatasan melalui pembangunan sarana dan prasarana garis perbatasan
darat dan laut; (3) menyusun kebijakan nasional yang dapat dijadikan sebagai
acuan bagi pengembangan kawasan perbatasan secara terpadu dan ditetapkan
melalui Undang-Undang, Peraturan Presiden atau peraturan perundangan lainnya;
(4) merumuskan lembaga koordinasi kawasan perbatasan antar negara yang terpadu
dan menyeluruh untuk meningkatkan upaya pengelolaan pembangunan kawasan
perbatasan; (5) menyusun kebijakan penggunaan dan pengelolaan sumber daya alam
di sepanjang perbatasan, termasuk perlunya kebijakan kompensasi bagi wilayah
konservasi di perbatasan; dan (6) penyusunan rencana induk (masterplan) pengelolaan pulau kecil
terluar melalui pelibatan masyarakat.
Untuk terus mengoptimalkan
pelaksanaan penataan ruang di daerah, perlu ditindaklanjuti dengan pemantapan kelembagaan di daerah dan
pendayagunaan rencana tata ruang sebagai pedoman perencanaan pembangunan, baik
di tingkat nasional maupun daerah untuk menjamin keterpaduan pemanfaatan ruang antarwilayah, antarsektor, dan antarpelaku
dalam mendukung upaya pengurangan ketimpangan wilayah.
Dalam rangka mendorong percepatan
pembangunan kawasan cepat tumbuh dan strategis diperlukan (1) fasilitasi dalam
rangka peningkatan daya saing wilayah, khususnya pengarahan investasi publik
dan swasta, melalui koordinasi dan sinkronisasi program-program pengembangan
lintas sektor/institusi pada wilayah strategis dan cepat tumbuh, termasuk
kawasan andalan cepat tumbuh, KAPET, dan strategis lainnya; (2) melanjutkan
pengembangan produktivitas kawasan dengan orientasi pada sistem pengolahan dan
pemasaran komoditas unggulan pertanian, industri, dan pariwisata pada
sentra-sentra produksi dan kawasan potensial lainnya, secara berkesinambungan;
(3) fasilitasi dalam memadukan dan mengembangkan program-program pengembangan
sumber daya manusia dalam kerangka kewirausahaan dan keterampilan teknis,
melalui kegiatan yang berkesinambungan dan berkelanjutan; (4) mengembangkan
penelitian dan pengembangan teknologi untuk pengembangan produk unggulan; (5)
mengembangkan jaringan informasi dan komunikasi modern antara
pusat-daerah-internasional, khususnya terkait dengan informasi dan jaringan
pasar dan pemasaran; (6) mengembangkan upaya-upaya promosi dan publikasi secara
agresif dengan mengembangkan kerja sama dengan perwakilan bangsa di luar
negeri, dalam mempromosikan potensi-potensi unggulan daerah.
Selanjutnya, untuk terus mendorong pembangunan perdesaan,
tindak lanjut yang dilakukan di masa datang perlu difokuskan pada upaya (1) penggalakan
promosi dan pemasaran produk-produk dari kawasan perdesaan, khususnya ke pasar
perkotaan terdekat; (2) perluasan akses masyarakat, terutama kaum perempuan, ke
sumber daya produktif untuk pengembangan usaha; (3) peningkatan prasarana dan
sarana perdesaan serta akses masyarakat ke pelayanan publik; (4) peningkatan
kapasitas masyarakat perdesaan untuk dapat menangkap peluang pengembangan
ekonomi serta memperkuat kelembagaan dan modal sosial masyarakat perdesaan; (5)
perbaikan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan meningkatkan pelayanan
pendidikan dan kesehatan serta meminimalkan kerentanan, baik dengan
mengembangkan kelembagaan pelindungan masyarakat petani maupun dengan
memperbaiki struktur pasar yang tidak sehat; (6) pengembangan praktik-praktik
budi daya pertanian dan usaha nonpertanian yang ramah lingkungan.
Untuk mempercepat upaya mengatasi permasalahan dalam
pengelolaan pertanahan, tindak lanjut yang diperlukan, antara lain sebagai
berikut (1) pemantapan jaminan kepastian hukum melalui penyempurnaan peraturan
perundang-undangan di bidang pertanahan; (2) penyelesaian masalah dan sengketa
pertanahan; (3) pengurangan ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah (P4T), pengaturan keseimbangan dan keserasian antara
ketersediaan dan kebutuhan atas tanah, pengendalian pertanahan dan pemberdayaan
masyarakat, pembangunan, dan pengembangan pengelolaan data dan informasi
pertanahan serta penguatan kelembagaan pertanahan, di pusat dan daerah.
F. Peningkatan Kualitas SDM
1. Permasalahan yang Dihadapi
a. Bidang Pendidikan
Pada
hakikatnya, pendidikan merupakan upaya membangun budaya dan peradaban bangsa.
Oleh karena itu, UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa setiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan. Pemerintah terus-menerus memberikan perhatian
yang besar pada pembangunan pendidikan dalam rangka mencapai tujuan negara,
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang pada gilirannya sangat memengaruhi
kesejahteraan umum dan pelaksanaan ketertiban dunia. Namun, sampai dengan tahun 2004 pelayanan pendidikan belum dapat sepenuhnya
disediakan dan dijangkau oleh seluruh warga negara. Selain karena fasilitas
pendidikan belum mampu disediakan di seluruh pelosok tanah air termasuk di
daerah terpencil dan kepulauan, biaya pendidikan juga masih dinilai mahal oleh
sebagian besar masyarakat. Masih banyaknya penduduk Indonesia yang hidup di
bawah garis kemiskinan merupakan salah satu kendala utama terbatasnya
partisipasi pendidikan di Indonesia.
Meskipun tingkat
pendidikan penduduk Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sampai
dengan tahun 2003 tingkat pendidikan penduduk Indonesia masih cukup rendah yang
ditandai, antara lain, dengan rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun
ke atas yang baru mencapai 7,1 tahun. Pada saat yang sama, angka buta aksara
penduduk usia 15 tahun keatas juga masih sebesar 10,12 persen. Jika dilihat
dari partisipasi pendidikan penduduk, tampak bahwa pada tahun 2003 angka
partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7–12 tahun sudah mencapai 96,8 persen
(Susenas 2003). Namun, APS penduduk usia 13–15 tahun baru mencapai 81,58
persen, dan APS penduduk usia 16–18 tahun sebesar 50,65 persen.
Di samping itu,
kesenjangan tingkat keaksaraan dan partisipasi pendidikan antarkelompok
masyarakat juga masih terjadi, seperti antara penduduk kaya dan miskin, antara
penduduk laki-laki dan perempuan, antara penduduk di perkotaan dan perdesaan,
dan antardaerah. Di samping itu, fasilitas dan layanan pendidikan khusus bagi
anak-anak yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa belum tersedia secara memadai.
Kesenjangan yang paling besar terjadi antara penduduk kaya dan penduduk miskin.
Misalnya, untuk kelompok usia 16–18 tahun APS kelompok penduduk termiskin hanya
sekitar sepertiga APS kelompok terkaya. Pada tahun yang sama angka melek aksara
penduduk 15 tahun ke atas untuk kelompok termiskin baru mencapai 83,1 persen
dan untuk kelompok terkaya sudah mencapai 95,99 persen.
Upaya meningkatkan
partisipasi pendidikan masih dihadapkan pada beberapa masalah, seperti masih
banyaknya anak-anak usia sekolah, terutama dari kelompok miskin yang tidak
dapat memperoleh layanan pendidikan karena mahalnya biaya pendidikan bagi
mereka. Di samping itu, banyaknya gedung sekolah yang rusak berdampak negatif
pada upaya mempertahankan daya tampung fasilitas pendidikan yang ada.
Kualitas pendidikan
juga masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan peserta didik dan
pembangunan, yang terutama disebabkan oleh kurang dan belum meratanya pendidik
dan tenaga kependidikan, baik secara kuantitas maupun kualitas, belum
memadainya ketersediaan fasilitas belajar, terutama buku pelajaran dan
peralatan peraga pendidikan, dan belum berjalannya sistem kendali mutu dan
jaminan kualitas pendidikan, serta belum tersedianya biaya operasional yang
dibutuhkan untuk pelaksanaan proses belajar mengajar secara bermutu.
Sementara itu, buku
sebagai komponen terpenting strategis dalam proses belajar mengajar cenderung
untuk digantikan oleh sekolah setiap tahun ajaran. Hal ini semakin memperberat
orang tua untuk menyekolahkan anaknya.
Pendidikan tinggi
masih menghadapi kendala dalam menciptakan dan mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami
hambatan karena masih terbatasnya buku-buku teks dan jurnal-jurnal
internasional yang dapat diakses. Kegiatan penelitian dan pengembangan serta
penyebarluasan hasilnya masih sangat terbatas sehingga kualitas dan kuantitas
hasil penelitian dan pengembangan yang belum memadai, belum banyak hasil
penelitian, dan pengembangan yang dapat diterapkan oleh masyarakat dan masih
sedikit pula yang sudah dipatenkan dan/atau mendapat pengesahan hak kekayaan
intelektual. Upaya untuk meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan tinggi
juga telah dilakukan, tetapi hasilnya masih jauh dari yang diharapkan.
Berdasarkan hasil analisis, terungkap bahwa mutu lulusan perguruan tinggi masih
rendah sehingga mereka mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan dengan masa
tunggu untuk bekerja (job seeking period) yang masih cukup lama.
Sistem pengelolaan
pendidikan juga belum sepenuhnya efektif dan efisien yang antara lain
ditunjukkan oleh belum tersedianya informasi pendidikan yang memungkinkan
masyarakat memiliki kebebasan untuk memilih satuan pendidikan secara tepat,
belum optimalnya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi pendidikan, belum
mampunya Indonesia meningkatkan daya saing institusi pendidikan dalam
menghadapi era global pendidikan, belum berjalannya sistem pengawasan
pendidikan, dan belum optimalnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan
pendidikan termasuk partisipasinya dalam Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah/Madrasah.
Untuk jenjang
pendidikan tinggi, penguatan manajemen pendidikan dilakukan melalui otonomi
perguruan tinggi (PT). Otonomi perguruan tinggi sangat penting untuk membangun
iklim kebebasan akademik serta menumbuhkan kreativitas dan inovasi dalam
kegiatan-kegiatan ilmiah. Sampai dengan awal tahun 2005 PTN yang mengalami
perubahan status menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN)
yaitu ITB, UI, IPB, UGM, UPI, dan USU. Namun pelaksanaan PT-BHMN belum berjalan
dengan baik, antara lain karena belum tersedianya perangkat hukum berupa
undang-undang badan hukum pendidikan yang menjadi dasar bagi pengelolaan
keuangan dan manajemen sumber daya lainnya yang dimiliki oleh perguruan tinggi.
b. Bidang Kesehatan
Sementara
itu, permasalahan utama pembangunan kesehatan saat ini antara lain adalah masih
tingginya disparitas status kesehatan antartingkat sosial ekonomi, antarkawasan,
dan antarperkotaan-perdesaan. Permasalahan lainnya adalah terjadinya beban
ganda penyakit, kualitas, dan pemerataan masih rendah karena keterbatasan
tenaga dan peralatan, pelindungan masyarakat di
bidang obat dan makanan masih rendah, dan perilaku
masyarakat tidak mendukung pola hidup bersih dan sehat.
Selain permasalahan mendasar seperti itu, dalam 10 bulan
terakhir, terdapat beberapa isu yang perlu penanganan segera. Yang pertama
adalah pelayanan kesehatan terhadap
penduduk miskin. Status kesehatan penduduk miskin cenderung lebih rendah. Penyakit infeksi yang merupakan
penyebab kematian utama pada bayi dan balita, juga lebih sering terjadi pada
penduduk miskin. Hal ini terkait erat dengan terbatasnya akses terhadap
pelayanan kesehatan, baik karena kendala geografis maupun kendala biaya (cost
barrier).
Masalah kesehatan lain yang
menimbulkan perhatian cukup besar adalah kasus busung lapar. Kurang energi dan protein tingkat parah atau busung lapar
menyebabkan gangguan kesehatan, bahkan menyebabkan kematian. Jumlah kasus di 9 provinsi sampai Juni 2005
dilaporkan sebanyak 3.413 kasus gizi buruk dan 49 di antaranya meninggal dunia.
Faktor penyebab
terjadinya gizi buruk adalah rendahnya konsumsi energi dan protein serta serangan
penyakit infeksi. Adapun penyebab tidak langsung adalah rendahnya
ketersediaan pangan tingkat keluarga; pola asuh ibu kurang memadai; dan
terbatasnya ketersediaan air bersih dan buruknya sanitasi lingkungan.
Masalah lainnya adalah terjadinya
wabah berbagai penyakit menular, khususnya polio di beberapa wilayah. Sejak
tahun 1995 kasus polio liar sudah tidak pernah ditemukan lagi di Indonesia, dan
virus polio liar yang kembali muncul di Indonesia diperkirakan berasal dari
negara lain. Hingga saat ini kasus polio sudah menyebar di lima provinsi, yaitu
Lampung, Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Jumlah kasus positif
yang dilaporkan sampai 1 Agustus 2005 berjumlah 189 kasus dengan 8 kasus di
antaranya meninggal.
Bencana terutama
di Aceh, Nias, Alor, dan Nabire juga perlu penanganan segera. Bencana ini telah
menimbulkan korban jiwa yang luar biasa, baik yang meninggal, hilang, maupun yang luka-luka. Sarana dan
prasarana pelayanan kesehatan banyak yang hancur dan tidak berfungsi secara
optimal, seperti rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, laboratorium
kesehatan, dan polindes.
Saat ini dialami kekurangan pada hampir
semua jenis tenaga kesehatan yang diperlukan. Hal ini terjadi karena sistem
pendidikan masih belum bisa menghasilkan tenaga kesehatan dalam jumlah yang
mencukupi, serta sistem perekrutan dan pola insentif bagi tenaga kesehatan yang
kurang optimal. Di samping itu, jumlah dan penyebaran tenaga kesehatan
masyarakat masih belum memadai sehingga banyak puskesmas belum memiliki dokter
dan tenaga kesehatan masyarakat. Bahkan, akhir-akhir ini sering muncul keluhan
dan pengaduan masyarakat atas dugaan terjadinya malpraktik dokter.
c. Bidang
Agama
Sementara
itu, pembangunan agama merupakan upaya untuk mendukung agenda pembangunan nasional, yaitu mewujudkan manusia
Indonesia yang berkualitas dan berakhlak serta pada gilirannya meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan menciptakan Indonesia yang aman dan damai.
Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan agama
adalah kurangnya pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama di masyarakat. Kehidupan beragama pada sebagian
masyarakat baru mencapai tataran simbol-simbol keagamaan dan belum sepenuhnya
bersifat substansial, demikian juga terjadi di kalangan peserta didik. Selain itu, kurangnya jumlah dan
rendahnya mutu pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, terbatasnya sarana dan
prasarana, serta minimnya fasilitas pendukung lainnya. Pada sisi lain, derasnya
arus globalisasi terutama melalui media cetak dan elektronik semakin kuat mempengaruhi
perilaku anak didik yang cenderung ke arah negatif seharusnya dapat dicegah
atau dikurangi dengan pemahaman dan penghayatan agama.
Pelayanan kehidupan beragama juga dinilai belum
memadai. Hal tersebut terlihat, antara lain,
dari belum memadainya sarana dan prasarana ibadah, belum optimalnya pemanfaatan
rumah ibadah sebagai tempat pelayanan bagi masyarakat, masih sering dijumpai
berbagai kekurangan dalam pelayanan ibadah haji, serta belum optimalnya
pengelolaan dana sosial keagamaan. Selain itu, rendahnya kualitas dan kapasitas
lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan sehingga belum
sepenuhnya memerankan fungsinya sebagai agen perubahan sosial.
Kehidupan harmoni di dalam masyarakat belum
sepenuhnya dapat diwujudkan antara lain akibat munculnya ketegangan sosial yang
sering melahirkan konflik intern dan antarumat beragama.
Konflik ini pada mulanya disebabkan oleh ketimpangan sosial dan ketidakadilan
ekonomi yang seringkali memanfaatkan sentimen agama. Selain itu, konflik
tersebut juga diakibatkan oleh tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah
dan penegakan hukum yang masih lemah.
2. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
a. Bidang Pendidikan
Langkah kebijakan
yang ditempuh dalam upaya meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia
adalah sebagai berikut (1) peningkatan perluasan dan pemerataan pelayanan
pendidikan dasar yang berkualitas sebagai bentuk pemenuhan hak warga negara
untuk mengikuti Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun sebagaimana diamanatkan
dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (2) peningkatan
pendidikan bagi anak usia dini yang lebih merata dan bermutu sehingga mereka
memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya; (3) peningkatan
perluasan dan pemerataan pendidikan menengah, baik umum maupun kejuruan untuk
mengantisipasi meningkatnya lulusan sekolah menengah pertama sebagai dampak
keberhasilan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, dan penyediaan
tenaga kerja lulusan pendidikan menengah yang berkualitas; (4) pemberian
perhatian yang lebih besar pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung,
yaitu penduduk miskin, tinggal di daerah terpencil, kepulauan, daerah konflik
untuk menjangkau layanan pendidikan, baik formal maupun nonformal sesuai dengan
potensi dan kebutuhannya; (5) peningkatan perluasan layanan pendidikan tinggi
untuk menghasilkan lulusan yang memenuhi kebutuhan pasar kerja serta mampu
menciptakan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; (6) peningkatan
pendidikan nonformal yang merata dan bermutu untuk memberikan pelayanan pendidikan
kepada warga masyarakat yang tidak mungkin terpenuhi kebutuhan pendidikannya
melalui jalur formal, terutama bagi masyarakat yang tidak pernah sekolah atau
buta aksara, dan putus sekolah.
Di samping itu,
dalam rangka meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan ditempuh langkah
kebijakan sebagai berikut (1) peningkatan kualitas dan relevansi semua jalur,
jenis, dan jenjang pendidikan, untuk memberikan kecakapan peserta didik sesuai
dengan kompetensi yang diperlukan, termasuk kecakapan personel, sosial,
intelektual, spiritual, emosi, dan vokasional untuk bekerja dan usaha mandiri
sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan pembangunan; dan (2) peningkatan dan
pemantapan peran perguruan tinggi sebagai ujung tombak peningkatan daya saing
bangsa serta pengembang IPTEK dan seni, pelaksanaan otonomi keilmuan yang
didukung dengan peningkatan kualitas penelitian dan pengembangan budaya baca.
Adapun dalam upaya
meningkatkan efektivitas dan efisiensi manajemen pelayanan pendidikan ditempuh
langkah sebagai berikut (1) peningkatan otonomi dan desentralisasi pengelolaan
pendidikan tinggi, dengan pemberian kewenangan dan tanggung jawab yang lebih
besar kepada perguruan tinggi dalam mengelola pendidikan secara bertanggung
jawab dan akuntabel; (2) pelaksanaan manajemen berbasis sekolah/satuan
pendidikan lainnya secara lebih optimal yang didukung oleh penerapan sistem
kontrol dan jaminan kualitas pendidikan, dan penilaian kinerja di tingkat
satuan pendidikan melalui pelaksanaan evaluasi, akreditasi, sertifikasi, dan
pengawasan yang didasarkan pada hasil, termasuk kompetensi lulusan dan tingkat
kesehatan manajemennya; (3) peningkatan kesadaran masyarakat mengenai
pentingnya pendidikan untuk semua anak baik laki-laki maupun perempuan yang
didukung dengan ketersediaan informasi mengenai layanan pendidikan secara
transparan; dan (4) peningkatan efektivitas peran serta masyarakat dalam
pembangunan pendidikan, baik dalam penyelenggaraan, penyediaan biaya, maupun
pengelolaan pendidikan dari tingkat pusat sampai satuan pendidikan, termasuk
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah serta komite satuan pendidikan
yang lain.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk
memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan
pendidikan, baik akses dan pemerataan pelayanan pendidikan, mutu pendidikan,
maupun manajemen pelayanan pendidikan. Data Susenas 2004 menunjukkan
peningkatan proporsi penduduk usia 10 tahun yang berpendidikan SMP/MTs ke atas
dari 36,21 persen pada tahun 2003 menjadi 38,33 persen pada tahun 2004 dengan
kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin, penduduk perkotaan dan perdesaan,
serta antara penduduk laki-laki dan perempuan yang semakin rendah.
Meningkatnya taraf
pendidikan tersebut dipengaruhi oleh meningkatnya angka partisipasi pendidikan
semua kelompok usia penduduk. Angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia
7–12 tahun meningkat dari 96,4 persen pada tahun 2003 menjadi 96,8 persen pada
tahun 2004, APS penduduk usia 13–15 tahun meningkat dari 81,0 persen menjadi
83,5 persen dan APS penduduk 16–18 tahun meningkat dari 51,0 persen menjadi
53,5 persen. Kesenjangan APS antara perkotaan dan perdesaan juga semakin
rendah. Rasio APS penduduk perdesaan terhadap APS penduduk perkotaan meningkat
dari 0,85 menjadi 0,89 untuk kelompok usia 13–15 tahun dan dari 0,58 menjadi
0,64 untuk kelompok usia 16–18 tahun. Kesenjangan gender sudah tidak tampak,
khususnya pada kelompok usia 7–12 tahun. Pada kelompok usia 13–15 tahun terjadi
kecenderungan partisipasi pendidikan penduduk perempuan menjadi lebih tinggi
jika dibandingkan dengan penduduk laki-laki dengan indeks paritas gender
sebesar 1,01 dan pada kelompok usia 16–18 tahun partisipasi penduduk perempuan
lebih rendah jika dibandingkan dengan penduduk laki-laki dengan indeks paritas
gender sebesar 0,98.
Jika dilihat dari
angka partisipasi kasar (APK), menurut jenjang pendidikan, tampak bahwa
partisipasi pendidikan pada semua jenjang juga mengalami peningkatan. APK
jenjang SD/MI meningkat dari 105,82 persen pada tahun 2003 menjadi 107,13
persen pada tahun 2004, APK jenjang SMP/MTs meningkat dari 81,09 persen menjadi
82,24 persen dan APK jenjang pendidikan menengah meningkat dari 50,89 persen
menjadi 54,38 persen. Kesenjangan APK antara penduduk kaya dan miskin, serta
antara penduduk perkotaan dan perdesaan juga semakin rendah.
Dalam rangka
mendukung penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun,
mulai tahun ajaran 2005/2006 akan disediakan pelayanan pendidikan gratis untuk
jenjang SD/MI, SMP/MTs dan pesantren salafiyah yang menyelenggarakan Program
Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Untuk periode Juli – Desember
2005 disediakan anggaran untuk biaya operasional sekolah yang dihitung
berdasarkan jumlah peserta didik. Untuk jenjang SD/MI/pesantren salafiyah
setara SD biaya operasional akan diberikan bagi 28,89 juta peserta didik dengan
satuan biaya Rp235 ribu per orang per tahun. Pada saat yang sama, untuk jenjang
SMP/MTs/pesantren salafiyah setara SMP biaya operasional akan diberikan bagi
10,77 juta peserta didik dengan satuan biaya Rp324,5 ribu per orang per tahun.
Meskipun anggaran tersebut belum secara penuh dapat membebaskan peserta didik
dari seluruh pembiayaan pendidikan, anggaran yang tersedia dimaksudkan untuk
dapat membebaskan siswa miskin dari semua bentuk iuran. Kebijakan tersebut
merupakan langkah awal pemenuhan amanat UU No. 20 Tahun 2003, yaitu agar Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Pada jenjang
pendidikan menengah beasiswa yang disediakan untuk siswa miskin di SMA/SMK/MA
dilanjutkan dengan meningkatkan jumlah penerima dan satuan biayanya. Pada
Semester I Tahun Ajaran 2005/2006 disediakan beasiswa bagi 698,46 ribu siswa
dengan satuan biaya Rp65 ribu per siswa per bulan meningkat dari tahun-tahun
sebelumnya, yaitu sebesar Rp25 ribu per siswa per bulan. Dengan beasiswa yang
lebih banyak dan lebih besar jumlahnya diharapkan partisipasi penduduk miskin
yang menempuh jenjang pendidikan menengah dapat ditingkatkan.
Dalam rangka
meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan menengah dalam kurun
waktu tahun 2004 sampai dengan pertengahan tahun 2005 dilakukan pada jenjang
SMA/MA, antara lain penyediaan sarana dan prasarana pendidikan melalui
pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) SMA, USB SMK/SMK Kecil di SMP dan SMK di
Pondok Pesantren serta bantuan pengembangan program bagi SMK Besar/SMK
Nasional/SMK Internasional. Selain itu, dilakukan pula pembangunan Ruang Kelas
Baru (RKB) SMA/MA/SMK, dan pemberian beasiswa melalui program Bantuan Khusus
Murid (BKM) bagi 56.000 peserta didik SMA/SMK/MA negeri dan swasta yang berasal
dari keluarga tidak mampu dengan bakat dan prestasi yang menonjol.
Untuk memperluas
dan memeratakan pelayanan pendidikan tinggi, telah dilakukan berbagai kegiatan,
antara lain pemberian beasiswa PPA (peningkatan prestasi akademik), beasiswa
BBM (bantuan belajar mahasiswa), dan beasiswa akibat dampak kerusuhan bagi
681.844 mahasiswa. Untuk mempertahankan mahasiswa agar tidak putus sekolah
telah diberikan beasiswa bantuan belajar dan bantuan beasiswa yang lain bagi
437.463 mahasiswa. Sementara itu, pelayanan pendidikan di perguruan tinggi
agama juga ditingkatkan melalui, antara lain, menambah sarana dan prasarana
untuk Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN).
Kemampuan
keaksaraan penduduk juga mengalami peningkatan yang antara lain ditandai dengan
meningkatnya angka melek aksara penduduk berusia 15 tahun keatas dari 89,79
persen pada tahun 2003 menjadi 90,38 persen pada tahun 2004. Dengan kata lain, angka buta aksara dapat diturunkan dari
10,21 persen menjadi 9,62 persen. Dengan berbagai upaya yang dilakukan pada
tahun 2005, diharapkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas dapat
diturunkan menjadi 8,77 persen. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah,
antara lain, telah melakukan intensifikasi Gerakan Nasional Pemberantasan Buta
Aksara yang dimulai pada saat peringatan Hari Aksara Internasional Ke-39 di
Istora Senayan bersamaan dengan Peringatan Hari Guru Nasional pada tanggal 2
Desember 2004.
Di samping itu,
pendidikan nonformal juga terus digalakkan, terutama untuk memberikan pelayanan
pendidikan bagi masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan persekolahan.
Dalam kurun waktu tahun 2004 dan pertengahan tahun 2005 telah dilakukan pelayanan
pendidikan bagi masyarakat yang tidak atau belum sempat mengikuti pendidikan
formal melalui, antara lain, keaksaraan fungsional, pelaksanaan Paket A setara
SD, Paket B setara SMP, serta Paket C setara SMA Sementara itu, telah
dilaksanakan pula pendidikan keterampilan dengan penekanan pada pengembangan
pendidikan dan pelatihan yang berbasis masyarakat, pendidikan nonformal yang
dilaksanakan, antara lain, melalui kegiatan kelompok belajar usaha (KBU) yang
juga memberikan dampak positif dalam upaya penuntasan Wajib Belajar Pendidikan
Dasar 9 Tahun.
Dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan pada tahun 2005 telah disahkan Peraturan Pemerintah
(PP) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Standar nasional
pendidikan yang ditetapkan tersebut berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan
nasional yang bermutu. Selanjutnya, untuk mendukung pelaksanaan peraturan
perundangan tersebut, Pemerintah telah pula membentuk Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP) sesuai dengan amanat PP No. 19 Tahun 2005. Untuk pelaksanaan
standar nasional pendidika, telah dilakukan ujian nasional (UN) SMP/MTs,
SMA/MA/SMK tahun pelajaran 2004/2005 sesuai dengan jadwal.
Di samping itu,
dalam rangka meningkatkan mutu pendidik telah dilakukan pendeklarasian profesi
guru setara dengan profesi dokter, pengacara, akuntan, dan notaris oleh
Presiden pada peringatan Hari Guru pada tanggal 2 Desember 2004 di Istora
Senayan Jakarta. Demikian pula, telah dilakukan persiapan penyusunan standar
kompetensi guru, mekanisme uji kompetensi, dan sertifikasi yang terintegrasi
secara nasional; pembinaan profesionalisme guru dengan menghidupkan dan
memberdayakan kembali peran Musyawarah Kerja Kepala Sekolah/Kelompok Kerja
Kepala Sekolah, Musyawarah Guru Mata Pelajaran/Kelompok Kerja Guru
kabupaten/kota dan kecamatan di seluruh Indonesia; pelaksanaan kajian tentang
akreditasi guru juga mulai dilakukan sehingga diharapkan pelaksanaan akreditasi
guru dapat segera dilaksanakan.
Untuk jenjang
pendidikan menengah, pada tahun 2004 bantuan kepada sekolah diwujudkan dengan
memberikan BOMM untuk meningkatan mutu proses pembelajaran di sekolah/madrasah
negeri dan swasta, bantuan imbal swadaya mutu (matching grant)
untuk peningkatan kualitas sarana pembelajaran diberikan pula bagi SMA/MA
negeri dan swasta. Bantuan pengembangan kegiatan inovasi daerah di setiap
provinsi dan peningkatan mutu proses pembelajaran melalui revitalisasi MGMP,
MKKS, serta implementasi kurikulum 2004 secara terbatas dan pembekalan
pendidikan kecakapan hidup (life skill)
kepada siswa SMA.
Buku teks pelajaran
merupakan bagian penting dan strategis dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan
dasar dan menengah. Buku tersebut digunakan sebagai acuan wajib bagi guru dan
peserta didik dalam proses pembelajaran. Untuk itu, telah ditetapkan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional No. 11 Tahun 2005 tanggal 21 Juli 2005 tentang Buku
Pelajaran. Permen tersebut, antara lain, mengatur masa pakai buku teks
pelajaran paling sedikit 5 tahun dan tidak dibenarkannya guru, tenaga
kependidikan, satuan pendidikan, atau komite sekolah untuk melakukan penjualan
buku kepada peserta didik.
Untuk jenjang
pendidikan tinggi dilakukan pula penataan kelembagaan akreditasi menjadi suatu
lembaga yang independen dilakukan dengan meningkatkan kualitas pengelolaan
akreditasi program studi yang dilaksanakan melalui peningkatan kinerja proses
akreditasi dan perluasan jangkauan pelaksanaan program studi, peningkatan
kesiapan PT yang membutuhkan akreditasi dan tindak lanjut hasil akreditasi. Di
samping itu, peningkatan kualitas pendidikan tinggi juga dilakukan melalui
penugasan dosen senior yang memenuhi syarat dari perguruan tinggi negeri untuk
membina salah satu atau semua kegiatan tridharma perguruan tinggi bagi perguruan
tinggi negeri baru, yaitu Universitas Malekussaleh di Lhokseumawe, Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa di Banten, Universitas Trunojoyo di Bangkalan,
Universitas Khairun di Ternate, dan Universitas Papua di Manokwari.
Dalam rangka
peningkatan kapasitas lembaga-lembaga pendidikan di pusat dan daerah pada tahun
2004 telah dilakukan sosialisasi dan advokasi kebijakan pendidikan nasional
untuk mendukung sinkronisasi dan koordinasi perencanaan pembangunan pendidikan
antarjenjang, antarjalur, dan antarjenis pendidikan. Pada tahun 2005
dilanjutkan dengan penyelesaian 4 RPP sebagai tindak lanjut dari Undang Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Berbagai upaya
telah pula dilakukan untuk memperkuat manajemen pendidikan melalui, antara lain,
penguatan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi pendidikan sampai dengan
satuan pendidikan. Di samping itu, meskipun pemenuhan alokasi anggaran
pendidikan secara bertahap belum mencapai persentase yang menggembirakan,
pemerintah terus berupa untuk meningkatkan alokasi anggaran pendidikan dari
tahun ke tahun untuk mencapai 20 persen dari APBN dan APBD sebagaimana
diamanatkan dalam UUD 1945 dan diperkuat oleh UU Nomor 21 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
b. Bidang Kesehatan
Sementara itu, untuk
mengatasi berbagai permasalahan di sektor kesehatan, kebijakan pembangunan
kesehatan pada tahun 2005, antara lain diarahkan pada peningkatan upaya
peningkatan status kesehatan dan status gizi, terutama keluarga miskin dan
kelompok rentan; peningkatan upaya pencegahan dan penyembuhan penyakit;
peningkatan kualitas, keterjangkauan, dan pemerataan pelayanan kesehatan;
peningkatan penanggulangan wabah, kejadian luar biasa (KLB), konflik dan
bencana; peningkatan upaya lingkungan sehat; serta perbaikan sarana sanitasi
dasar untuk permukiman kumuh dan keluarga miskin.
Untuk
tahun 2005, sejalan dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional, upaya peningkatan akses penduduk miskin terhadap
pelayanan kesehatan lebih ditingkatkan melalui upaya pemeliharaan kesehatan
penduduk miskin dengan sistem jaminan/asuransi kesehatan. Dengan sistem ini,
penduduk miskin diikutkan pada asuransi kesehatan dengan premi yang dibayarkan
oleh Pemerintah sehingga masyarakat dapat mendapatkan pelayanan kesehatan
gratis di Puskesmas dan jaringannya, serta di kelas III rumah sakit.
Penanggulangan gizi
di Indonesia memerlukan pendekatan yang menyeluruh oleh semua pihak, baik
keluarga, masyarakat, pemerintah, maupun pelaku ekonomi. Langkah-langkah yang
dilakukan terdiri atas jangka pendek (emergensi), jangka menengah, dan jangka
panjang. Dalam jangka pendek, intervensi gizi buruk diarahkan untuk mencegah
kematian dan kecacatan melalui penemuan dini kasus gizi buruk dan memberikan
tata laksana, seperti menjamin perawatan gizi buruk di puskesmas dan rumah
sakit dan bantuan makanan pendamping ASI. Strategi jangka menengah mengatasi
masalah gizi buruk adalah meningkatkan keberdayaan keluarga dan untuk jangka
panjang pemberdayaan, penyuluhan, dan pendidikan gizi, serta integrasi kegiatan
lintas sektor.
Untuk mencapai
eradikasi polio, Indonesia telah melaksanakan berbagai upaya, yaitu
meningkatkan cakupan imunisasi sampai ke tingkat desa yang diberikan secara
gratis; imunisasi tambahan melalui Pekan Imunisasi Nasional (PIN) dan imunisasi
anak sekolah; serta surveilance Acute Flaccid Paralysis (AFP) atau lumpuh layu mendadak
secara rutin. Hasil pelaksanaan kegiatan imunisasi rutin polio secara nasional
dalam 3 tahun terakhir cakupannya mencapai lebih dari 90 persen, walaupun belum
merata di seluruh desa. Untuk mencegah terjadinya transmisi virus polio, telah
dilakukan Outbreak Response Imunisasi
(ORI) imunisasi massal terbatas atau Mopping Up Polio untuk memutus
rantai penularan virus.
Untuk
penanggulangan bencana alam di Provinsi Nangroe Aceh Darrussalam, langkah
kebijakan yang telah dilaksanakan adalah penyusunan Blue Print Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Provinsi NAD. Pelayanan kesehatan rutin juga terus dilakukan ditambah dengan
pengoperasian Pos Kesehatan Satelit (Poskelit). Selain itu, rekrutmen dan
tenaga kesehatan juga dilakukan dengan melibatkan setidaknya 880 tenaga
kesehatan. Untuk pemulihan fungsi pelayanan kesehatan di Provinsi NAD, telah
dilakukan rehabilitasi sarana pelayanan kesehatan.
Dalam rangka
meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM kesehatan, langkah kebijakan yang
dilakukan adalah perekrutan tenaga medis untuk puskesmas dan rumah sakit di
daerah terpencil. Penyusunan rencana penempatan tenaga kesehatan tersebut
dialokasikan dari pengangkatan reguler dokter pegawai tidak tetap (PTT) dan
calon pegawai negeri sipil (CPNS). Pada tahun 2004, telah ditetapkan PTT
sebanyak 1.040 dokter, 139 dokter gigi, dan 3937 bidan dan ditempatkan di
daerah tertinggal sebanyak 466 dokter, 77 dokter gigi, dan 1.651 bidan.
c. Bidang Agama
Berbagai upaya
telah dilakukan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi pembangunan agama.
Dalam upaya peningkatan pemahaman, penghayatan, pengamalan, dan pengembangan
nilai-nilai ajaran agama bagi setiap individu, keluarga, masyarakat, dan
penyelenggara negara telah dilakukan kegiatan, antara lain penerangan dan
bimbingan agama berupa penyuluhan kepada penganut agama masing-masing, baik di
perkotaan maupun perdesaan, termasuk daerah transmigrasi, daerah terpencil,
daerah bencana alam, dan daerah konflik. Untuk meningkatkan kualitas pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan ajaran agama bagi peserta didik di semua jenis,
jalur dan jenjang pendidikan telah dilakukan penyempurnaan materi pendidikan
agama, metodologi pengajaran dan sistem evaluasi, peningkatan kualitas guru dan
penyetaraan D-II dan D-III, pemberian bantuan sarana dan prasarana peribadatan
di sekolah/madrasah, dan penyelenggaraan pesantren kilat.
Peningkatan sarana
dan prasarana peribadatan telah dilakukan dengan memberikan bantuan untuk
pembangunan dan rehabilitasi tempat peribadatan, termasuk di daerah yang
terkena bencana alam. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada calon
jemaah haji dilakukan pemberian jaminan kepastian berangkat calon jemaah haji
yang telah melunasi/membayar ONH (BPIH), penyediaaan makanan di Madinah bagi
jemaah haji ONH biasa, dan penerbangan langsung ke Madinah, serta peningkatan
manajemen pemondokan di Mekah.
Dalam rangka
peningkatan kapasitas, kualitas, serta peran lembaga sosial keagamaan, dan
lembaga pendidikan keagamaan telah dilakukan kegiatan pemberdayaan
lembaga-lembaga sosial keagamaan, seperti majelis taklim, organisasi keagamaan,
Baitul Mal Wat-Tamwil, Badan Amil
Zakat, dan Nazhir Wakaf, pengadaan
buku perpustakaan tentang santri, pelatihan keterampilan, pengembangan
kelembagaan, orientasi tenaga pengelola pondok pesantren, bantuan beasiswa
santri berprestasi, pemberian bantuan operasional pemeliharaan (BOP) kelompok
kerja pondok pesantren, BOP kelompok kerja madrasah, pengadaan buku pustaka,
bantuan operasional kegiatan pusat pengembangan agama (P2A), bantuan sarana
perpustakaan lembaga keagamaan, penggandaan kurikulum/pedoman taman pendidikan
Al-Quran (TPA), orientasi dewan hakim, tenaga pengajar/teknis/pengelola TPA,
diklat fungsional, pengadaan buku dan pembinaan tenaga pembina keluarga Katolik
bahagia dan sejahtera tingkat keuskupan, pengadaan brosur tentang keluarga
bahagia dan sejahtera, pertemuan dan pembinaan rektor seminari menengah dan
tinggi, subsidi bantuan kepada lembaga sosial keagamaan, dan lembaga pendidikan
keagamaan
Pembinaan kerukunan hidup
umat beragama telah dilakukan melalui pelaksanaan musyawarah antarpemuka agama,
musyawarah antara pemuka berbagai agama, musyawarah antara pemuka berbagai
agama dengan pemerintah, dan musyawarah cendikiawan antaragama, peningkatan
kualitas tenaga penyuluh kerukunan umat beragama, rekonsiliasi tokoh-tokoh
agama di daerah pascakonflik, internalisasi ajaran agama di kalangan umatnya,
membangun hubungan yang harmonis antarumat beragama, dan silaturahmi/safari
kerukunan tokoh agama, baik di tingkat nasional maupun daerah/regional. Selain
itu, pembangunan kehidupan beragama yang harmonis juga dilakukan melalui
pemberian pembekalan wawasan multikulturalisme kepada guru agama, penyuluh agama,
dan pengelola lembaga keagamaan dan murid-murid di sekolah.
3. Tindak Lanjut yang Diperlukan
a. Bidang Pendidikan
Dengan memperhatikan
berbagai permasalahan yang masih dihadapi dan hasil yang telah dicapai, tindak
lanjut yang diperlukan dalam upaya meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan
pelayanan pendidikan antara lain adalah (1) penyelenggaraan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang bebas biaya bagi penduduk miskin yang
didukung dengan upaya penarikan kembali siswa putus sekolah dan yang tidak
melanjutkan ke dalam sistem pendidikan; (2) penyediaan sarana/prasarana,
terutama untuk wilayah yang partisipasi pendidikan dasarnya masih rendah; (3)
peningkatan intensitas dan kualitas penyelenggaraan pendidikan keaksaraan
fungsional untuk dapat menarik minat penduduk dewasa mengikuti pendidikan
keaksaraan; (4) peningkatan pemerataan dan keterjangkauan pendidikan menengah
jalur formal dan nonformal, baik umum maupun kejuruan, terutama di wilayah
perdesaan melalui penyediaan sarana/prasarana pendidikan dan meningkatkan
relevansinya dengan kebutuhan dunia kerja; (5) peningkatan pemerataan dan
keterjangkauan pendidikan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang memenuhi
kebutuhan pasar kerja; (6) peningkatan pemerataan dan keterjangkauan pendidikan
anak usia dini melalui penyediaan sarana dan prasarana pendidikan anak usia
dini dengan melibatkan peran serta masyarakat; (7) penurunan kesenjangan
partisipasi pendidikan antarkelompok masyarakat dengan memberikan akses yang
lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat terjangkau
oleh layanan pendidikan, seperti masyarakat miskin, masyarakat yang tinggal di
wilayah perdesaan, terpencil dan kepulauan, masyarakat di daerah konflik, serta
masyarakat penyandang cacat; serta (8) penyelenggaraan pendidikan alternatif di
wilayah konflik dan bencana alam yang diikuti dengan rehabilitasi dan
rekonstruksi sarana dan prasarana yang rusak, termasuk penyediaan pendidik dan
tenaga kependidikan, serta penyiapan peserta didik untuk dapat mengikuti proses
belajar mengajar.
Adapun tindak lanjut yang
diperlukan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan dan relevansi
pendidikan, antara lain, dengan (1) peningkatan kualitas dan kuantitas pendidik
dan tenaga kependidikan melalui rekrutmen, pendidikan dan pelatihan, serta
penyiapan sistem rekrutmen pendidik dan tenaga kependidikan dengan menerapkan merit-system,
pemberian pendidikan dan pelatihan bagi pendidik untuk meningkatkan
kompetensinya; (2) pengembangan kurikulum pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan
multikultural, termasuk penyiapan materi belajar mengajar dan metode
pembelajarannya yang disesuaikan dengan perkembangan IPTEK, budaya dan seni
serta perkembangan global, regional, nasional, dan lokal; (3) penyiapan sistem
evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi, termasuk sistem pengujian dan penilaian
pendidikan dalam rangka mengendalikan mutu pendidikan nasional pada satuan
pendidikan sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan, serta
evaluasi terhadap penyelenggara pendidikan di tingkat kabupaten/kota, provinsi,
dan nasional; (4) penyerasian jumlah dan jenis program studi pendidikan yang
disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan pembangunan dan untuk menghasilkan
lulusan yang memenuhi kebutuhan pasar kerja; dan (5) peningkatan intensitas penelitian
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna oleh perguruan
tinggi, terutama untuk mendukung pemanfaatan sumber daya alam yang diikuti
dengan upaya penerapannya pada masyarakat.
Demikian pula, untuk
memperkuat manajemen pelayanan pendidikan tindak lanjut yang perlu dilakukan,
antara lain penyiapan sistem pembiayaan
pendidikan yang berbasis siswa (student-based financing) atau berbasis formula (formula-based
financing) yang didukung dengan
upaya meningkatkan komitmen pemerintah daerah dalam pembiayaan pendidikan
melalui penetapan kontribusi pembiayaan pendidikan oleh setiap tingkatan
pemerintahan.
Terkait dengan penyediaan anggaran pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam
UUD 1945, Pemerintah akan secara bertahap meningkatkan anggaran pendidikan
untuk dapat mencapai 20 persen dari APBN dan APBD; pelaksanaan otonomi dan
desentralisasi pengelolaan pendidikan kepada satuan pendidikan dalam
menyelenggarakan pendidikan secara efektif dan efisien, transparan, bertanggung
jawab, akuntabel serta partisipatif melalui penetapan secara tegas tanggung
jawab setiap tingkatan penyelenggara pendidikan dan memfasilitasi penyiapan
standar pelayanan minimal oleh setiap provinsi dan kabupaten/kota; peningkatan
peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan termasuk dalam pembiayaan
pendidikan, penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat serta dalam
peningkatan mutu layanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan
evaluasi program pendidikan.
b. Bidang Kesehatan
Selanjutnya,
untuk mengurangi tingginya disparitas status kesehatan, langkah nyata yang akan dilakukan, antara lain meningkatkan akses
penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan melalui pengembangan jaminan
kesehatan bagi penduduk miskin dengan memberikan pelayanan kesehatan gratis di
puskesmas dan kelas tiga rumah sakit. Upaya
lainnya adalah penempatan tenaga dokter dan paramedis, terutama di puskesmas
dan rumah sakit di daerah tertinggal. Untuk mengatasi masalah busung
lapar atau kurang energi dan protein tingkat
berat di berbagai daerah di Indonesia telah dilakukan langkah darurat
berupa perawatan penderita di rumah sakit dan pemberian makanan tambahan. Upaya
berikutnya adalah menyusun rencana secara terpadu untuk menangani masalah ini
mulai dari aspek produksi, distribusi dan konsumsi dan bersifat lintas sektor.
Sementara itu, Pekan
Imunisasi Nasioal (PIN) Polio akan diteruskan secara serentak di seluruh
provinsi di Indonesia dilakukan untuk memutuskan mata rantai penularan virus
polio tersebut. yang akan dilaksanakan dua kali putaran yaitu tanggal 30
Agustus dan 27 September 2005.
Dalam
rangka penanggulangan akibat bencana yang terjadi di berbagai daerah, upaya-upaya yang akan terus dilanjutkan,
antara lain rehabilitasi dan rekonstruksi sarana pelayanan kesehatan yang
rusak, pemenuhan tenaga kesehatan, pencegahan dan pemberantasan penyakit,
penyediaan obat, dan peralatan kesehatan, perbaikan gizi, serta upaya untuk
memulihkan fungsi pelayanan kesehatan di daerah bencana.
c. Bidang Agama
Untuk terus mengatasi permasalahan dalam
pembangunan agama adalah melanjutkan peningkatan kualitas dan pemahaman agama
serta kehidupan beragama guna memberi kemudahan bagi setiap pemeluk agama dalam
melakukan pendalaman dan pengamalan ajaran-ajaran agama dengan baik dan dapat
menjalankan ibadah menurut ketentuan agama. Peningkatan Kerukunan Intern
dan Antarumat Beragama perlu dilanjutkan melalui pewujudan harmoni sosial dalam
kehidupan intern dan antarumat beragama yang toleran dan saling menghormati
dalam rangka penciptaan suasana yang aman dan damai, sehingga konflik yang
terjadi di beberapa daerah dapat diselesaikan dan tidak muncul di daerah lain.
G. Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan
Hidup
1. Permasalahan
yang Dihadapi
Sumber daya alam
dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memerhatikan
kelestarian fungsi lingkungan hidupnya. Dengan demikian, sumber daya alam
memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan (economic resource) dan sekaligus sebagai penopang
sistem kehidupan (life support
system). Atas dasar fungsi ganda itu, sumber daya alam senantiasa
harus dikelola secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan
nasional. Berbagai permasalahan masih banyak dihadapi dan harus diselesaikan.
Permasalahan itu antara lain tingginya potensi konflik kepentingan antarpihak,
penipisan cadangan sumber daya alam, masih lemahnya kelembagaan, penegakan
hukum yang tidak selalu mudah dipecahkan, rentang waktu yang cukup panjang
antara kegiatan pembangunan dengan munculnya dampak lingkungan, serta rendahnya
pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya penghematan sumber daya alam
dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Hutan merupakan salah
satu sumber daya alam yang masih potensial tetapi pengelolaannya belum optimal,
antara lain karena penataan kawasan hutan yang belum mantap, unit pengelolaan
hutan yang belum terbentuk di seluruh kawasan hutan, pola pemanfaatan hutan
yang belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat, pemanfaatan hutan yang masih
mengutamakan hasil kayu semata, pengawasan dan penegakan hukum yang masih
lemah, serta upaya konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan kritis yang
belum mendapat perhatian memadai.
Sumber daya kelautan dan
perikanan juga masih sangat potensial, walaupun masih banyak dijumpai tantangan
dan kendala. Perairan Indonesia sangat luas dan memerlukan pengelolaan yang
tepat, baik dalam aspek pertahanan, keamanan, maupun pendayagunaannya.
Terbatasnya kemampuan negara dalam melakukan pengawasan dan pengendalian telah
memicu berbagi persoalan yang cukup serius. Merebaknya praktik penyelundupan
dan pencurian kekayaan laut (illegal
fishing/mining), pencemaran dan
kerusakan ekosistem pesisir dan laut sering dijumpai di kawasan laut yang rawan
dan di daerah perbatasan. Sementara koordinasi dan sinergitas antarinstitusi
yang mempunyai kewenangan di laut juga masih rancu dan tumpang tindih sehingga
persoalan yang terjadi di laut sulit ditangani secara tegas dan tuntas. Di
samping itu, batas wilayah laut Indonesia dengan 10 negara tetangga juga belum
selesai, dan hal ini berpengaruh besar terhadap keberadaan maupun pengelolaan
potensi lautnya, bahkan pulau-pulau kecil terluar/ terdepan sebagai titik
pangkal perbatasan belum pula ditangani secara optimal, baik dari segi ekonomi,
sosial budaya, maupun politik. Permasalahan juga muncul karena belum
diterapkannya rencana pengelolaan sumber daya kelautan secara konsisten, bahkan
banyak daerah yang belum memiliki rencana tersebut, sehingga konflik
kepentingan sering terjadi (antarsektor, antardaerah, antarpusat, dan daerah).
Selain itu, sistem mitigasi bencana alam belum dikembangkan dengan baik. Hal
ini perlu mendapat perhatian karena Indonesia merupakan daerah rawan bencana
(gempa, tsunami) yang sewaktu-waktu dapat terjadi akibat pergerakan lempeng tektonik
Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.
Dalam hal sumber daya
mineral dan pertambangan, permasalahan utama yang dihadapi adalah menurunnya
produksi minyak bumi karena berkurangnya cadangan (sumur produksi) dan belum
tercapainya pengembangan lapangan minyak yang baru. Keadaan ini disebabkan
kurangnya investasi baru di bidang migas yang umumnya dilakukan oleh investor
asing.Disamping itu, kenaikan harga minyak bumi dunia yang terus berlanjut
sepanjang tahun 2005 telah mengakibatkan ketimpangan harga BBM domestik yang
besar terhadap harga BBM di luar negeri.Dampak buruk dari disparitas tersebut
telah dirasakan secara langsung oleh rakyat dengan berkurangnya stok dan
kelangkaan BBM di dalam negeri yang diakibatkan oleh perilaku spekulan.
Kelangkaan BBM juga menunjukan bahwa system distribusi BBM yang dilakukan oleh
Pertamina cukup rawan jika harga BBM tidak berada di tingkat keekonomiannya.
Bahkan pasokan beberapa jenis BBM yang dijual dengan harga rendah, seperti
minyak solar dan minyak tanah sudah sangat tergantung pada impor karena
kapasitas untuk produksi BBM dalam negeri tidak mencukupi. Kendala utamanya
adalah keterbatasan teknis dan penyediaan bahan baku minyak mentah yang
dibutuhkan untuk kilang bersangkutan harus dari impor. Kurangnya eksplorasi
telah menyebabkan produksi dan neraca sumber daya mineral tidak mengalami
perubahan yang berarti. Hal ini antara lain sangat berkaitan dengan masalah
ijin pertambangan termasuk eksplorasi di kawasan hutan lindung yang menyebabkan
ketidakpastian usaha pertambangan.
Ketergantungan dan
kelangkaan BBM yang terjadi akan membaik jika kegiatan
penganekaragaman/diversifikasi energi dan penghematan/konservasi energi
berjalan baik. Harga BBM domestik yang ditekan rendah dan hambatan kegiatan
diversifikasi dan konservasi telah saling memperkuat, dan membuat derajat
persoalannya semakin rumit. Kondisi umum negara berkembang yang dicirikan
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan tingkat konsumsi energi
yang tinggi telah terjadi di Indonesia. Hal ini dapat diperbaiki dengan upaya
intensifikasi pemanfaatan sumber-sumber energi yang telah dikembangkan pada
saat ini.
Permasalahan mendasar
pengembangan energi nasional meliputi data mengenai potensi energi di seluruh
Indonesia, belum terencananya prospek bisnis energi, belum efektifnya manajemen
risiko, belum tuntasnya kerangka regulasi, kurang menariknya iklim investasi,
ketergantungan pembangunan energi (atau investasi energi) pada pemerintah yang
sangat besar, belum efektifnya kelembagaan dan belum tersusunnya perumusan
konsep keamanan pasokan energi atau ketahanan energi (security of energy supply).
Isu degradasi lingkungan
hidup, seperti pencemaran udara dan kerusakan atmosfer, kebutuhan air dan
pencemaran air, kerusakan dan pencemaran pesisir dan laut, kemerosotan
keanekaragaman hayati, kebutuhan dan diversifikasi energi, limbah domestik,
limbah bahan berbahaya dan beracun, kerusakan hutan dan lahan, kerusakan daerah
aliran sungai, bencana lingkungan dan alam serta masih banyak lagi yang lain
terus bermunculan. Sebagian memang disebabkan oleh fenomena alam tetapi
sebagian lagi merupakan kontribusi dari perbuatan manusia yang cenderung
merusak. Meskipun telah dilakukan upaya-upaya perbaikan, hal itu masih belum
mampu menahan laju degaradasi lingkungan secara siginifikan.
2. Langkah-Langkah
Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Berbagai permasalahan
yang digambarkan di atas memperlihatkan bahwa upaya pengarusutamaan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam praktik pembangunan nasional
masih belum menggembirakan. Konsep yang berupaya menyejahterakan masyarakat
tanpa merusak lingkungan itu, kenyataannya masih banyak menghadapi tantangan.
Di bidang sumber daya
kehutanan, telah dilaksanakan kebijakan yang menekankan upaya rehabilitasi dan
konservasi karena selain tetap mementingkan pelindungan dan pemanfaatan sumber
daya hayati juga diupayakan tidak mengurangi kontribusi kehutanan terhadap
perekonomian nasional. Upaya-upaya lainnya yang telah dilakukan antara lain,
penetapan kawasan hutan; pengembangan aneka usaha kehutanan nonkayu; evaluasi
kinerja industri kehutanan untuk restrukturisasi industri; penetapan lima taman
nasional baru, yaitu Bantimurung-Bulusarung (Sulawesi Selatan),
Aketajawe-Lolobata (Maluku Utara), Kepulauan Togean (Sulawesi Tenggara), Sebangau
(Kalimantan Tengah), dan Gunung Ciremai (Jawa Barat); pelaksanaan Gerakan
Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) yang merupakan salah satu
prioritas dalam memulihkan kerusakan sumber daya hutan dan lahan; dan
pengembangan informasi sumber daya hutan.
Kebijakan yang diambil
untuk mencegah terjadinya degradasi ekosistem pesisir dan laut, antara lain
dengan meningkatkan upaya konservasi laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil serta
merehabilitasi ekosistem yang rusak. Di samping itu, pengelolaan dan pendayagunaan
potensi sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan
prinsip kelestarian dan berbasis masyarakat. Untuk mengantisipasi pencurian dan
perusakan sumber daya kelautan, dikembangkan pula sistem pengendalian dan
pengawasan sumber daya laut dan pesisir, melalui pengembangan sistem Monitoring Controlling and Surveillance (MCS)
dan pembenahan perizinan, yang disertai dengan penegakan hukum yang ketat.
Selanjutnya, untuk menyelesaikan batas wilayah laut dengan negara tetangga
terus dijalin kerja sama regional dan internasional. Dalam rangka
mengoptimalkan sumber daya kelautan, kegiatan identifikasi potensi serta
prioritas pengembangannya telah dilakukan dengan melibatkan 15 provinsi yang
mencakup 42 kabupaten/kota, yang sekaligus juga memperkuat kapasitas dan
kemampuan daerah dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut
serta keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
Dalam rangka pelestarian
sumber daya kelautan, kegiatan yang telah dilaksanakan adalah pemberdayaan dan
pelayanan terpadu masyarakat pesisir, dan percontohan Gerakan Bersih Pantai di
beberapa wilayah pesisir. Di samping itu, telah dilakukan pula upaya
pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang di 8 provinsi yang mencakup 15
kabupaten/kota, serta penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) bersama
pemerintah daerah dan stakeholders
terkait lainnya.
Dalam rangka melakukan
perbaikan ketimpangan harga BBM antara harga domestik dan harga internasional,
harga BBM dalam negeri telah dinaikkan pada tanggal 1 Maret 2005. Selain itu,
pemerintah telah mencanangkan gerakan penghematan pemakaian energi secara
nasional, meliputi antara lain penghematan energi di instansi pemerintah,
pengurangan pengurangan jam siaran televisi, dan pemakaian listrik serta BBM
secara hemat bagi fasilitas pemerintah dan publik. Sementara itu, untuk
mengurangi beban ekonomi rakyat miskin akibat kenaikan harga, pemerintah telah
memberikan subsidi untuk perluasan jangkauan pendidikan, pelayanan kesehatan
dan pembangunan prasarana desa terutama di desa-desa miskin, dan dengan program
ini diharapkan lebih dari 36 juta rakyat yang masih berada dibawah garis
kemiskinan dapat dijangkau.
Dalam rangka
penganekaragaman energi telah didorong produksi dan penggunaan gas bumi dan
batubara dalam jumlah besar, disamping untuk meningkatkan hasil-hasil
ekspornya. Dari sisi teknologi telah diuji coba sistem baru pemanasan industri
yang menggunakan batubara, yaitu gasifikasi batubara untuk pengeringan teh,
karet dan komoditi pertanian di Jawa Barat. Dengan meningkatnya harga BBM telah
terjadi peningkatan minat penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan di
kota-kota Jakarta, Surabaya, meskipun masih dalam jumlah sedikit. Kendala utama
yang dihadapi adalah minat konsumen masih terbatas karena kendala teknis misalnya
harus menyediakan alat tambahan pada mesin kendaraan, jumlah stasiun pengisian
gas masih terbatas, selain masih perlu sosialisasi mengenai keselamatan
penggunaannya.
Hasil-hasil yang
diperoleh dalam pengembangan energi, antara lain (1) telah diterbitkan
keputusan Menteri ESDM Nomor:1321.K/MEM/2005 tanggal 30 Mei 2005 tentang
rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi gas Nasional; (2) telah
dioperasikannya fasilitas produksi, pengolahan dan penampungan migas terapung Belanak-Natuna, yang didisain untuk
melakukan pengolahan minimal 500 juta kubik feet gas, 100.000 barel minyak dan
kondensat serta 24.140 barel LPG setiap harinya; (3) telah dilakukannya
penandatanganan kontrak investasai bidang migas pada 12 Desember 2004 sebanyak
46 Kontrak Kerja Sama (KKS); (4) telah ditetapkan/ diputuskan pemberian pasokan
gas Aceh untuk pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM) I dan II yang akan dijalankan
dengan kapasitas penuh berdasarkan prinsip-prinsip komersial tanpa subsidi
pemerintah; (5) telah dikeluarkan 2 izin usaha sementara dan 1 izin usaha untuk
pengolahan migas, 2 izin usaha pengangkutan migas, 6 izin usaha sementara
penyimpanan migas, dan 40 izin usaha sementara dan 5 izin usaha niaga.
Secara umum, semua
langkah-langkah kebijakan energi diatas meliputi kelompok kebijakan (1)
intensifikasi pencarian sumber energi; (2) penentuan harga energi yang
dilakukan dengan memperhitungkan nilai keekonomiannya dengan mempertimbangkan
biaya produksi dan kemampuan masyarakat;(3) diversifikasi energi; (4)penerapan
konservasi energi dan pemerataan beban energi bagi konsumen; (5) mengoptimalkan
neraca energi dalam bauran energi.
Di bidang lingkungan
hidup, selain menyelesaikan kasus-kasus lingkungan yang akut (misalnya, kasus
pencemaran Teluk Buyat, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong,
pembukaan jalan Ladia Galaska), agenda kerja kabinet bidang lingkungan hidup
yang terpenting adalah pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan. Hal utama
yang dilakukan adalah terus mendorong pengembangan kemitraan para pihak untuk mewujudkan
konsep pembangunan berwawasan lingkungan melalui pengarusutamaan aspek
lingkungan dalam tiap bentuk pembangunan di Indonesia. Di bidang pembangunan
lingkungan hidup, kerja sama dan kemitraan yang ditelah dilakukan berkaitan
dengan hal tersebut, antara lain pengembangan Bank Pohon, Bangun Praja, dan
Kalpataru. Selain itu, telah pula dikembangkan program-program, seperti
pengendalian dampak perubahan iklim, program penataan lingkungan,
penanggulangan dampak emisi kendaraan, serta pengelolaan sampah dan pelaksanaan
program subsidi kompos.
3. Tindak
Lanjut yang Diperlukan
Berbagai program akan
terus dilanjutkan dengan harapan terwujudnya daya dukung lingkungan yang
memadai serta penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan di seluruh
sektor dan daerah.
Dalam pembangunan
kehutanan, langkah yang akan diambil adalah penatagunaan kawasan hutan,
merumuskan rencana makropembangunan kehutanan, pemantapan pengelolaan kawasan
konservasi, melaksanakan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, peningkatan
kapasitas kelembagaan pengelolaan sumber daya hutan, serta pengembangan dan
penyebarluasan pengetahuan tentang pengelolaan potensi sumber daya hutan yang
berkelanjutan.
Dalam bidang sumber daya
kelautan, langkah-langkah yang akan dilaksanakan adalah percepatan pembuatan Indonesian Ocean Policy agar dapat
dijadikan panduan dalam pengelolaan pesisir dan laut. Selain itu, di tingkat
legislasi perlu pula difasilitasi percepatan penyelesaian Undang-Undang
Pengelolaan Wilayah Pesisir (UU-PWP) yang diharapkan dapat mempercepat
penyelesaian konflik yang terjadi di wilayah pesisir. Selanjutnya, dalam rangka
pelestarian sumber daya kelautan, akan dipacu upaya perluasan kawasan
konservasi laut daerah (KKLD), yang direncanakan dapat mencapai sasaran kawasan
konservasi seluas 10 juta ha pada tahun 2010 dari kondisi saat ini seluas lebih
kurang 5,6 juta ha.
Untuk memperkuat
pembangunan kelautan, langkah selanjutnya, yang perlu diambil adalah
penyelesaian batas wilayah laut dengan negara tetangga; penanganan dan
pengembangan pulau-pulau kecil, terutama yang berada di wilayah perbatasan; dan
penyelesaian penamaan pulau-pulau yang ada untuk didepositkan ke PBB sebagai
bentuk pengakuan dunia.
Selain itu, prinsip
pengelolaan wilayah pesisir terpadu perlu diterapkan secara konsisten, mulai
dari hulu, tengah, dan hilir, melingkupi daerah aliran sungai (DAS) sampai
dengan wilayah pesisir. Salah satu dukungan kegiatan yang diperlukan adalah
melaksanakan rehabilitasi ekosistem dan habitat pesisir yang rusak,
mempromosikan upaya-upaya mitigasi lingkungan pesisir laut dan pulau-pulau
kecil, dan pengendalian pencemaran pesisir dan laut.
Dibidang sumber daya mineral
dan pertambangan, upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif pada kegiatan
hulu migas terus dilanjutkan. Selain itu untuk meningkatkan produksi minyak
nasional perlu dilakukan pengembangan lapangan migas marginal, pengembangan
lanjut brownfield, serta mempercepat
pengembangan lapangan minyak baru yang sudah ditemukan yaitu lapangan Jeruk,
West Seno, dan Cepu. Upaya pembangunan bidang pertambangan batu bara akan
dilanjutkan dengan pengembangan teknologi upgraded
brown coal (UBC) di pilot plant UBC di Palimanan-Cirebon
Untuk program
diversifikasi energi, tindak lanjut yang diperlukan adalah pembangunan pipa
transmisi gas untuk memperluas jaringan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan
Sulawesi. Dengan pembangunan transmisi ini maka penggunaan gas di dalam negeri
akan meningkat dan menghemat pemakaian BBM. Upaya meningkatkan penggunaan batu
bara akan dilanjutkan dengan penyediaan batu bara dalam jumlah yang cukup dan
berlanjut untuk pembangkit listrik, pabrik semen, pabrik baja dan industri
lainnya. Kendala yang dihadapi adalah masih terbatasnya luas area cakupan
pemasaran gas karena terbatasnya jaringan transmisi dan distribusi untuk gas
kota, serta kurang tersedianya jalur transportasi kereta api untuk pengangkutan
batu bara secara murah dan cepat. Perlu ditingkatkannya pemanfaatan dan
penelitian serta pengembangan energi alternatif dan terbarukan terutama
diarahkan untuk konsumen yang berada di daerah perdesaan.
Untuk memenuhi kebutuhan
energi di masa datang dalam jumlah yang cukup dengan harga yang terjangkau
perlu diupayakan penyediaan akses berbagai macam jenis energi untuk masyarakat
misalnya perluasan jaringan outlet pemasaran energi non-BBM meliputi BBG (CNG)
untuk kendaraan bermotor, depot LPG untuk peralatan mesin tidak bergerak,
perluasan jaringan gas kota untuk rumah tangga dan penggunaan briket batu bara
untuk rumah tangga, industri kecil dan peternakan di daerah perdesaan.
Dalam memenuhi kebutuhan
energi mendatang yang tersedia dalam jumlah yang memadai, terjangkau, ramah
lingkungan dan berkelanjutan untuk berbagai macam jenis energi bagi segala
lapisan masyarakat perlu diciptakan suatu system penyediaan dan transportasi energi
yang lebih kompetitif dan mencerminkan harga pasar (keekonomian), menciptakan
iklim investasi yang kondusif, meningkatkan cadangan migas nasional, menjamin
pasokan gas untuk pabrik pupuk, menjamin supply dan distribusi BBM dalam
negeri, dan mendorong penggunaan energi alternatif.
Di bidang lingkungan
hidup, pembangunan kapasitas kelembagaan lingkungan hidup adalah tindak lanjut
yang penting untuk dilakukan. Tujuannya, mendorong prinsip pembangunan
berkelanjutan yang tetap melestarikan lingkungan hidup dalam pembangunan sosial
ekonomi. Di samping itu, dalam program pembangunan lingkungan hidup yang
dikembangkan ke depan harus telah mencakup pesan Presiden RI dalam pidato
peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Istana Cipanas, 6 Juni 2005, yaitu
antara lain menanamkan budaya bersih sejak dini, ekspose kota-kota yang bersih
atau kotor, dan mengembangkan budaya hidup hemat (air, listrik, kertas, dan
BBM).
H. Percepatan
Pembangunan Infrastruktur
1. Permasalahan yang Dihadapi
Pertumbuhan jumlah
penduduk yang terus meningkat yang diiringi dengan pertumbuhan investasi di
berbagai sektor ekonomi di Indonesia, mengakibatkan permintaan terhadap
pelayanan infrastruktur juga meningkat secara tajam. Di pihak lain,
ketersediaan infrastruktur di Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan
dimaksud, baik dari segi jumlah maupun kualitas. Pembangunan infrastruktur –
yang terdiri dari sumber daya air, transportasi, pos dan telematika,
ketenagalistrikan, serta perumahan dan permukiman – masih dihadapkan pada
keterbatasan investasi dalam pembangunan infrastruktur, baik oleh pemerintah
maupun swasta.
Untuk sumber daya air,
perkembangan penduduk dan kondisi masyarakat Indonesia yang semakin sejahtera
berdampak kepada meningkatnya kebutuhan terhadap air. Di sisi lain, kondisi
prasarana sumber daya air semakin menurun akibat kurangnya pemeliharaan dan
kondisi daerah hulu yang cenderung terus menurun mengakibatkan kemampuan
pasokan air menjadi semakin terbatas. Kondisi kebutuhan air yang terus
meningkat dan ketersediaan air yang semakin menurun berpotensi menimbulkan
konflik pemanfaatan air, baik antarkepentingan maupun antarwilayah. Kebutuhan
untuk pertanian dan rumah tangga akan berkompetisi dengan kebutuhan untuk
industri. Demikian pula, suatu daerah yang mempunyai potensi air tawar akan
memprioritaskan untuk kebutuhan di wilayahnya. Apabila
kondisi seperti ini terus dibiarkan akan menimbulkan konflik yang lebih luas.
Ketidakseimbangan pasokan dan ketersediaan air juga dapat mengancam kerusakan
lingkungan karena adanya penggunaan air tanah yang tidak terkendali untuk
memenuhi kekurangan pasokan air permukaan. Untuk itu, diperlukan kebijakan yang
komprehensif jangka panjang yang adil dan berkelanjutan.
Sementara itu, untuk
permasalahan pengembangan transportasi adalah rendahnya investasi swasta,
terutama disebabkan oleh ketidakpastian dalam penetapan tarif awal dan
penyesuaian tarif terhadap inflasi. Tarif yang berlaku saat ini hampir di semua
subsektor transportasi masih belum mencerminkan biaya. Sementara itu, kebijakan
lainnya, yaitu subsidi silang tidak dapat menyelesaikan masalah, bahkan
menambah masalah baru. Subsidi silang dalam pelaksanaannya sering tidak
transparan dan akuntabel, bahkan menimbulkan moral hazard akibat adanya
informasi yang asimetris. Tarif yang terdistorsi oleh subsidi telah memberikan
sinyal yang keliru kepada investor swasta dan konsumen. Padahal, tarif atau
harga merupakan sinyal utama bagi produsen (investor) dan konsumen dalam
membuat keputusan investasi dan konsumsi. Ketika investor swasta melihat investasi
di sektor transportasi tidak menguntungkan karena tarif yang sangat rendah,
mereka tidak tertarik untuk berinvestasi. Sebaliknya, dengan tarif yang rendah,
konsumen atau masyarakat menggunakan jasa transportasi secara berlebihan (overconsumed).
Implikasi lebih lanjut
dari permasalahan di atas adalah terjadinya penurunan kualitas dan jangkauan
pelayanan transportasi yang diindikasikan oleh (1) terbatasnya kemampuan
pemeliharaan prasarana dan sarana transportasi, baik secara rutin maupun
berkala, mengakibatkan banyaknya prasarana transportasi lebih cepat rusak jika
dibandingkan dengan umur ekonomis yang seharusnya; (2) masih lemahnya peran dan
fungsi transportasi untuk membuka dan mengembangkan wilayah tertinggal,
terisolir dan perbatasan; (3) masih rendahnya daya saing armada pelayaran
nasional dan maskapai penerbangan nasional baik untuk pasar domestik maupun
internasional.
Pada pelayanan pos dan
telematika, permasalahan pokok yang dialami sepanjang tahun 2004 hingga saat
ini adalah (1) masih rendahnya kinerja dan daya saing BUMN pos dan penyiaran
sehingga pembangunan baru sangat terbatas; (2) masih lemahnya pengawasan
terhadap pelaksanaan kompetisi pada penyelenggaraan telekomunikasi sambungan
tetap pascaduopoli sehingga perselisihan antar-operator masih terjadi; (3)
belum dapat diimplementasikannya perubahan kode akses sambungan langsung jarak
jauh karena belum selesainya persiapan teknis; (4) masih belum optimalnya peran
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) akibat belum jelasnya pemisahan
struktur dan kewenangan antara Pemerintah dan BRTI; (5) masih belum optimalnya
pelaksanaan program Kewajiban Pelayanan Universal (Universal Service Obligation) pada pelayanan telematika dan Kewajiban
Pelayanan Publik (Public Service
Obligation) pada pelayanan pos; (6) belum optimalnya kegiatan
pengawasan dan pemanfaatan frekuensi radio sehingga masih terjadi
ketidakefisienan pengalokasian frekuensi dan interferensi antarfrekuensi; dan
(7) masih terbatasnya pengembangan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi
akibat kurangnya kesiapan pendukung, seperti standardisasi, otentikasi, serta
keamanan sistem dan transaksi data.
Sementara itu, dalam
pengembangan ketenagalistrikan permasalahan saat ini adalah kondisi cadangan
kapasitas tenaga listrik secara nasional masih pada tingkat yang cukup
mengkhawatirkan, baik pada sistem Jawa Madura Bali (Jamali) maupun sistem Luar
Jamali. Untuk sistem pembangkit beberapa wilayah masih mengalami krisis
listrik, karena pada umumnya sebagian besar sistem Luar Jamali bekerja dengan
cadangan listrik (reserved margin) diikuti dengan keterbatasan pasokan
batu bara yang ada sangat rendah, yaitu rata-rata dibawah 15 persen. Selain
itu, pada pembangunan listrik perdesaan, meskipun sampai dengan akhir tahun
2004 telah terlistriki sebanyak 52.007 desa dan rasio desa terlistriki telah
mencapai 78,5 persen dengan jumlah pelanggan sebesar 20.031.297 pelanggan,
namun masih terdapat beberapa kendala dalam pembangunan listrik perdesaan,
yaitu kondisi geografis yang sulit dijangkau, kurangnya kemampuan pendanaan
pemerintah, serta letak pusat beban yang jauh dari pembangkit listrik serta
tingkat beban yang secara teknis dan ekonomis belum layak untuk dipasok oleh
pembangkit skala besar.
Pada pembangunan
perumahan, permasalahan utama yang dihadapi adalah makin meningkatnya jumlah
rumah tangga yang belum memiliki rumah, terbatasnya kemampuan menyediakan
perumahan jika dibandingkan dengan permintaan, dan meningkatnya luasan kawasan
kumuh. Diperkirakan backlog
ketersediaan rumah pada tahun 2004 berjumlah 5,8 juta unit rumah dan akan
bertambah menjadi 11,6 juta pada akhir 2009. Dalam pelayanan air minum dan air
limbah, permasalahan yang dihadapi adalah masih rendahnya cakupan pelayanan air
minum PDAM; meluasnya daerah tidak terlayani air minum perpipaan akibat
menurunnya kualitas air baku; rendahnya cakupan pelayanan air limbah; dan masih
rendahnya kesadaran masyarakat dalam penanganan air limbah. Pada tahun 2002
tingkat pelayanan air bersih perpipaan di kawasan perkotaan baru mencapai 33,3
persen, sedangkan di kawasan perdesaan hanya mencapai 6,2 persen. Akses
penduduk ke prasarana dan sarana pengolahan air limbah dasar (tidak diolah)
mencapai 63 persen.
Demikian pula, dalam
pembangunan persampahan, masih dihadapi permasalahan pokok, yaitu menurunnya kualitas
pengelolaan persampahan Data menunjukkan bahwa jumlah sampah terangkut baru
mencapai 38,2 persen dan untuk pelayanan sistem drainase, masih terdapat 7,34
persen rumah tangga yang mendiami kawasan rawan banjir permanen akibat buruknya
kualitas dan kuantitas sistem jaringan drainase.
2. Langkah-Langkah
Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Untuk menjaga
keberlanjutan sumber daya air, langkah-langkah kebijakan yang ditempuh adalah
(1) pengelolaan sumber daya air melalui konservasi dan pendayagunaan; (2)
peningkatan fungsi jaringan irigasi; (3) pengendalian daya rusak air; (4)
pengembangan kelembagaan;
Hasil-hasil yang
diperoleh (1) upaya konservasi air dilakukan melalui pengelolaan sumber daya
air yang terintegrasi dengan memerhatikan kepentingan masyarakat hulu dan
masyarakat hilir yang adil dan seimbang, keseimbangan antara demand dan supply untuk pemanfaatan jangka panjang dan jangka pendek; (2)
rehabilitasi prasarana sumber daya air juga dilakukan untuk memertahankan
tingkat layanan sumber daya air, baik untuk memenuhi kebutuhan air bagi rumah
tangga, industri, irigasi; maupun pengendalian banjir; (3) hasil judicial review di Mahkamah Konstitusi
terhadap UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air telah memperkuat
keberadaan UU tersebut dan menunjukkan perubahan mendasar dalam pengelolaan
sumber daya air yang adil dan berkelanjutan. Pola pengelolaan sumber daya air
yang partisipatif diharapkan dapat meningkatkan koordinasi antar pemanfaat,
pembuat kebijakan dan pihak-pihak lain yang berkentingan sehingga dapat
mengurangi potensi konflik air; (4) beberapa peraturan perundangan sebagai
pedoman pelaksanaan telah dipersiapkan, tetapi masih memerlukan koordinasi dan
konsultasi, baik antarinstansi pusat dan daerah maupun dengan masyarakat dan
para ahli; (5) dalam rangka meningkatkan koordinasi dan mengurangi potensi
konflik air, diperlukan segera suatu wadah koordinasi yang dapat
mengakomodasikan semua pihak pemangku kepentingan. Selain itu, untuk memberikan
bekal kepada petani pemakai air agar dapat berpartisipasi aktif dalam
pengembangan dan pengelolaan sumber daya air juga dilakukan pemberdayaan.
Untuk meningkatkan
kinerja pelayanan sektor transportasi, langkah kebijakan yang diambil di
samping melanjutkan pembangunan dan pemeliharaan prasarana dan sarana
transportasi dilakukan upaya (1) melanjutkan reformasi dan restrukturisasi
serta mendorong partisipasi swasta dalam pembangunan prasarana dan sarana
transportasi; (2) mengoptimalkan pemanfaatan prasarana dan sarana transportasi
melalui pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan teknologi transportasi;
(3) penanganan kendaraan bermuatan lebih secara komprehensif dan dengan
melibatkan instansi terkait, terutama dalam pelaksanaan dan pengawasannya;
serta (4) mengembangkan transportasi yang berkelanjutan, terutama dengan
mendorong pembangunan dan penggunaan transportasi umum di perkotaan; (5)
meningkatkan aksesibilitas pada wilayah-wilayah yang tertinggal, terisolasi
serta pulau-pulau kecil; (6) meningkatkan keselamatan lalu lintas semua moda
transportasi meliputi angkutan jalan raya, kereta api, angkutan laut, dan udara
serta penyeberangan.
Hasil-hasil yang telah
dicapai, antara lain adalah (1) sedang diselesaikannya pembangunan,
peningkatan, pemeliharaan dan rehabilitasi prasarana dan sarana transportasi di
berbagai wilayah, termasuk pembangunan jalur ganda kereta api Yogya-Kutoarjo,
Cikampek-Cirebon, double-double track Cikarang-Manggarai; (2) untuk
meningkatkan minat swasta berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur telah
diterbitkan UU No. 38/2004 tentang Jalan, Perpres No. 36/2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, PP No. 15/2005
tentang Jalan Tol dan Pembentukan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), serta
diterbitkan dan diberlakukan Inpres No. 5/2005 tentang Pemberdayaan Industri
Pelayaran Nasional serta PP No. 44/2005 tentang Piutang Maritime dan Mortgage;
(3) Untuk mengatasi kerusakan jalan akibat kendaraan bermuatan lebih
diberlakukan ketentuan pembatasan kendaraan bermuatan lebih (excess-load)
secara komprehensif; (4) dalam rangka meningkatkan keselamatan dan
mempertahankan tingkat pelayanan telah dilaksanakan pembangunan dan
pengoperasian alat pengujian kendaraan bermotor (PKB) di Lampung Selatan dan
Poliweli, Sulawesi Selatan, rehabilitasi sarana dan prasarana, pengerukan alur
pelayaran, pemasangan rambu jalan, rambu suar dan rambu sungai, sarana bantu
navigasi; (5) mulai tahun 2004 khusus untuk transportasi laut diterapkan
standar keselamatan dan keamanan (International Ship and Port Facilities
security/ISPS Code) dengan menerbitkan International Ships Security
Certificate (ISSC) terhadap 26 pelabuhan umum dan 352 kapal; (6) pengadaan
dan pengoperasian sarana transportasi di wilayah-wilayah yang tertinggal,
perbatasan dan terisolasi dengan skim subsidi keperintisan; (7) penyelesaian
bandara Ketaping-Padang, Juanda-Surabaya, SM. Badarudin II Palembang,
Hasanuddin Makasar.
Sementara itu,
untuk sektor pos dan telekomunikasi langkah-langkah kebijakan yang ditempuh
adalah (1) restrukturisasi penyelenggaraan pos dan telematika; (2) peningkatan
efisiensi pemanfaatan dan pembangunan infrastruktur pos dan telematika; dan (3)
peningkatan pengembangan dan pemanfaatan aplikasi berbasis teknologi informasi
dan komunikasi.
Hasil-hasil yang
telah diperoleh adalah (1) penyempurnaan dan penyusunan berbagai perangkat
peraturan sektor pos dan telematika yang (a) mendorong pelaksanaan
restrukturisasi sektor, seperti Keputusan Menteri Perhubungan No. 28–35 Tahun
2004 terkait restrukturisasi penyelenggaraan telekomunikasi dan Peraturan
Pemerintah No. 11–13 Tahun 2005 terkait penyelenggaraan penyiaran lembaga
penyiaran publik, (b) mendorong percepatan pembangunan infrastruktur
telekomunikasi di daerah nonkomersial, seperti PP No. 27 dan 28 Tahun 2005 yang
mengatur pemanfaatan dana operator telekomunikasi sebagai dana USO
telekomunikasi, serta (c) mendorong pemanfaatan dan pengembangan teknologi
informasi dan komunikasi, seperti penyelesaian penyusunan RUU Informasi dan
Transaksi Elektronik; (2) pelaksanaan program Kewajiban Pelayanan Publik pada
Pos dan Penyiaran yang meliputi penyediaan dana kompensasi PSO pada Pos dan
Penyiaran, dan Kewajiban Pelayanan Universal pada Telematika yang meliputi
penyediaan fasilitas telekomunikasi sebanyak 2.635 satuan sambungan di 2.341
desa; (3) rehabilitasi infrastruktur pos dan penyiaran; (4) pengubahan status
kelembagaan PT TVRI (persero) dan Perjan RRI menjadi lembaga penyiaran publik;
dan (5) restrukturisasi kelembagaan eksekutif di bidang pos dan telematika
melalui pembentukan Departemen Komunikasi dan Informatika yang merupakan
penggabungan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, Lembaga Informasi
Nasional, dan Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Untuk pembangunan
ketenagalistrikan, langkah kebijakan yang dilakukan adalah (1) pemulihan pemenuhan
kebutuhan listrik untuk menjamin ketersediaan pasokan listrik, terutama di
daerah krisis listrik; (2) peningkatan partisipasi investasi swasta, pemerintah
daerah, dan koperasi; (3) peningkatan infrastruktur tenaga listrik yang efektif
dan efisien dan diversifikasi energi; (4) peningkatan kemadirian industri
ketenalistrikan; (5) penyesuaian tarif secara bertahap.
Hasil-hasil yang
telah dicapai meliputi (1) pembangunan pembangkit baru dan penyelesaian
pembangunan pembangkit serta pembangunan gardu induk, jaringan transmisi dan
distribusi. Untuk pembangkit listrik, yaitu PLTA Wonorejo (6,5 MW), PLTA Besai
(2x14 MW), PLTA Sipansihaporas Unit I (17 MW), PLTA Renun (82 MW), PLTU Tarahan
3 dan 4 (2x100 MW), PLTP Lahendong (20 MW), dan PLTA Bili-Bili (20 MW). Untuk
gardu induk, jaringan transmisi dan distribusi, yaitu penambahan gardu induk
150 kV dan jaringan transmisi 150 kV dan 275 kV di Sumatra, interkoneksi 500 kV
bagian selatan Jawa serta interkoneksi 150 kV di Sulawesi; (2) mengembangkan
pembangkit listrik panas bumi (PLTP), yang ditujukan untuk meningkatkan jaminan
pasokan energi primer untuk pembangkit; (3) penyusunan studi master plan geothermal; (4) persiapan
tiga proyek upstream-downstream PLTP, yang ditujukan untuk dapat
dijadikan semacam benchmark mengenai biaya, tarif uap, dan tarif
listrik untuk pengembangan panas bumi ke depan; (5) telah ditandatangani 3
proyek pembangkit listrik, yaitu PLTU Minemouth 4x600 MW di Sumatra Selatan,
PLTU Parit baru 2x55 MW di Kalimantan Barat, dan PLTU Tanjung Jati A di
Jawa 2x660 MW.
Sementara itu, untuk
mendukung pemenuhan kebutuhan perumahan, langkah kebijakan diarahkan untuk
mendorong pemenuhan kebutuhan rumah yang layak, aman, terjangkau dengan
menitikberatkan kepada masyarakat miskin dan berpendapatan rendah; serta
meningkatkan kualitas perumahan melalui penguatan lembaga komunitas. Hasil yang
telah dicapai dari pelaksanaan program pengembangan perumahan adalah sebagai
berikut: (1) terbitnya peraturan mengenai pembiayaan sekunder perumahan; (2)
pengembangan sistem perumahan swadaya melalui bahan bangunan bergulir untuk
38.189 unit rumah di 30 provinsi; (3) pengembangan perumahan swadaya dan
perbaikan permukiman kumuh melalui fasilitasi penyusunan proposal kredit mikro
perumahan sebanyak 580.931 unit rumah di 30 provinsi; (4) fasilitasi
pengembangan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa); dan (5) dukungan prasarana
dasar lingkungan sebanyak 19 twin block
(1.824 unit) pada 14 lokasi; (6) penanganan tempat tinggal bagi korban bencana.
Dalam rangka pemenuhan
pelayanan kebutuhan air minum dan air limbah, kebijakan pembangunan ditujukan
untuk meningkatkan keberlanjutan (sustainability)
pelayanan air minum dan air limbah; meningkatan pendidikan dan kampanye
perilaku hidup bersih dan sehat; serta meningkatkan peran serta masyarakat dan
dunia usaha dalam pembangunan/pengelolaan prasarana dan sarana air minum dan
air limbah. Hasil yang telah dicapai dari pelaksanaan program pengembangan
prasarana dan sarana air minum dan air limbah sebagai berikut: (1) terbitnya
Peraturan Pemerintah No. 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air
Minum (SPAM); (2) peningkatan pelayanan air minum sebesar 5.281 liter/detik
pada 386 desa dan menjangkau sekitar 6,28 juta jiwa; (3) pembangunan prasarana
dan sarana air limbah yang melayani sekitar 3,1 juta jiwa pada 248
kabupaten/kota; (4) penanganan air minum dan air limbah pada daerah bencana.
Sementara itu, untuk mendukung pembangunan persampahan dan drainase kebijakan
ditujukan untuk meningkatkan cakupan pelayanan persampahan; meningkatkan
kualitas pengelolaan persampahan dan drainase; dan peningkatan keterlibatan
masyarakat dan dunia usaha dalam pengelolaan persampahan dan drainase. Hasil
yang telah dicapai dari pelaksanaan program pengembangan prasarana dan sarana
persampahan dan drainase sebagai berikut: (1) peningkatan pelayanan persampahan
untuk sekitar 3 juta jiwa pada 177 kabupaten/kota; (2) peningkatan pelayanan
drainase untuk areal permukiman seluas 334 ha pada 163 kabupaten/kota; (3)
penanganan persampahan pada daerah yang mengalami bencana.
3. Tindak
Lanjut yang Diperlukan
Pengelolaan sumber daya
air terus dilakukan dengan memerhatikan berbagai kepentingan secara adil dan
berkelanjutan. Kualitas operasi dan pemeliharaan prasarana sumber daya air
perlu mendapat perhatian dari semua pihak dalam rangka mempertahankan tingkat
layanan sumber daya air. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan sumber daya air
terus dilanjutkan dengan mengutamakan upaya konservasi air. Pendekatan
nonkonstruksi lebih diprioritaskan dan diimbangi dengan pendekatan konstruksi
untuk kebutuhan jangka pendek. Upaya mempertahankan prasarana sumber daya air
perlu terus dilanjutkan melalui peningkatan operasi dan pemeliharaan, serta
rehabilitasi terhadap prasarana sumber daya air yang rusak.
Selain itu, dalam rangka implementasi
UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air diperlukan peraturan perundangan
sebagai pedoman pelaksanaannya. Untuk itu, seluruh peraturan perundangan
sebagai pedoman pelaksanan UU tersebut perlu segera diterbitkan yang
penyusunannya melibatkan secara aktif seluruh pemangku kepentingan. Dewan
sumber daya air sebagai wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air perlu
segera dibentuk.
Untuk pengembangan
transportasi, berbagai tindak lanjut untuk mempercepat penyediaan prasarana dan
sarana transportasi masih diperlukan. Tindak lanjut dimaksud terutama untuk
mengurangi kesenjangan antara permintaan dan penawaran serta untuk meningkatkan
jangkauan pelayanan transportasi agar dapat memenuhi kebutuhan jasa
transportasi di daerah-daerah tertinggal, pulau-pulau kecil, dan kawasan
terisolasi yang lain. Oleh karena itu, tindak lanjut pembangunan transportasi
diprioritaskan pada: (1) peningkatan aksesibilitas barang dan jasa dari pusat
produksi ke pemasaran melalui upaya penanganan prasarana dan sarana transportasi;
(2) pemulihan kondisi angkutan umum masal sesuai dengan pemenuhan standar
pelayanan minimal serta pengurangan beban angkutan jalan raya dengan membatasi
muatan yang berlebihan; (3) pengembangan armada laut nasional untuk
meningkatkan pangsa armada nasional dalam aktivitas pelayaran domestik; (4)
pelaksanaan kebijakan membuka pasar (multi operator) bagi angkutan udara
disertai dengan peningkatan pengawasan dan pembinaan keselamatan, keamanan, dan
pelayanan bagi setiap operator jasa transportasi udara; (5) penyusunan rencana
pembangunan intermoda transportasi, terutama pengembangan jaringan kereta api
lingkar Jabodetabek, termasuk KA Bandara Soekarno Hatta-Manggarai dan wacana
pengembangan jaringan KRL pelabuhan Tanjung Priok-Manggarai; (6) perumusan kebijakan
strategis tentang tarif, subsidi serta deregulasi sektor transportasi untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan jasa transportasi; (7)
melanjutkan kebijakan hemat energi nasional melalui program transportasi
berkelanjutan, program langit biru, dan program laut bersih.
Untuk mendukung
peran pos dan telematika dalam menjamin kelancaran arus informasi, terdapat
beberapa hal yang masih perlu dilakukan, yaitu (1) menyusun dan menyempurnakan
berbagai perangkat peraturan penyelenggaraan pos dan telematika untuk (a)
mendukung pelaksanaan restrukturisasi sektor, (b) mendorong percepatan
penyediaan infrastruktur pos dan telematika, dan (c) mendorong pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi; (2) melakukan penataan kelembagaan,
termasuk perkuatan BRTI, dan struktur industri untuk mendukung terciptanya
kompetisi yang setara dalam penyelenggaraan pos dan telematika; (3)
meningkatkan pengawasan pelaksanaan kompetisi dalam penyelenggaraan pos dan
telematika; (4) meningkatkan intensitas dan efektivitas sosialisasi perubahan
peraturan dan implikasinya; (5) meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pelaksanaan program Kewajiban Pelayanan Publik pada pelayanan Pos dan
Penyiaran, serta Kewajiban Pelayanan Universal pada Telematika; (6)
meningkatkan kerja sama pemerintah-swasta dalam penyelenggaraan pos dan
telekomunikasi, terutama di daerah nonkomersial; (7) meningkatkan efisiensi dan
pengawasan pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit; (8)
meningkatkan kualitas dan jangkauan infrastruktur penyiaran, terutama di daerah
perbatasan dan blank spot; (9)
mendorong pengembangan aplikasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi,
seperti e-government, e-procurement, dan e-commerce; dan (10) memfasilitasi
pemberdayaan masyarakat, terutama di wilayah perdesaan, dalam memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi beserta aplikasinya.
Untuk mendukung
pengembangan ketenagalistrikan, terdapat beberapa hal yang masih memerlukan
tindak lanjut, yaitu (1) mencari alternatif sumber pembiayaan, baik dalam negeri
maupun luar negeri dan skema pendanaan lunak; (2) menarik investor asing
melalui penetapan harga listrik sesuai dengan keekonomiannya secara bertahap;
(3) subsidi terhadap energi konvensional secara bertahap akan dikurangi,
sehingga proyek energi terbarukan untuk pembangkit listrik layak dikembangkan;
(4) upaya diversifikasi dan konservasi energi dari konsumsi BBM menjadi gas;
(5) upaya penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan untuk
mengakomodasikan perkembangan yang ada; (6) pengkajian mendalam mengenai
model/struktur industri ketenagalistrikan; (7) peningkatan dan perbaikan
efisiensi teknis dan nonteknis, (8) upaya pelaksanaan subsidi tepat sasaran;
(9) melanjutkan upaya akreditasi kelembagaan di sektor ketenagalistrikan; (10)
penurunan biaya investasi melalui penyederhanaan desain dan standar konstruksi
listrik perdesaan dan pemanfaatan sumber daya lokal tanpa mengurangi standar
keselamatan dan keamanan; (11) penurunan komponen biaya operasi dan
pemeliharaan dengan mengoptimalkan potensi sumber daya setempat, termasuk
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia; (12) pengembangan sistem penyediaan
tenaga listrik yang efisien melalui penyediaan fasilitas publik yang
disesuaikan dengan tingkat kebutuhan masyarakat setempat dan (13) pengembangan lembaga
keuangan perbankan dan nonperbankan sampai ke tingkat kabupaten yang diikuti
skema pendanaan kredit mikro (kredit lunak) yang mendukung pelaksanaan usaha
penyediaan dan penyambungan tenaga listrik sampai ke konsumen.
Untuk mendukung
pengembangan perumahan terdapat beberapa hal yang masih memerlukan tindak
lanjut, yaitu (1) pengembangan pola subsidi yang tepat sasaran, efisien dan efektif
dalam pembangunan perumahan; (2) peningkatan akses masyarakat terhadap kredit
mikro (small scale credit) untuk pembangunan/perbaikan
rumah yang berbasis swadaya masyarakat; (4) peningkatan kualitas lingkungan
pada kawasan rumah sederhana, kawasan kumuh, desa tradisional, desa nelayan,
dan desa eks transmigrasi. Untuk mendukung pengembangan pelayanan air minum
terdapat beberapa hal yang masih memerlukan tindak lanjut, yaitu (1) peningkatan cakupan
pelayanan air minum dan air limbah; (2) pelaksanaan kampanye publik, mediasi,
dan fasilitasi, kepada masyarakat mengenai perlunya perilaku hidup bersih dan
sehat; (3) peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan air minum dan
air limbah. Selain itu, untuk mendukung pengembangan pelayanan persampahan dan
drainase terdapat beberapa hal yang masih memerlukan tindak lanjut, yaitu (1) pembangunan sistem
pengelolaan sampah dengan cara daur ulang (reduce, reuse, recycle) dan berbasis masyarakat; (2) pemasyarakatan
struktur pembiayaan dalam penanganan persampahan dan drainase; (3) penyusunan
kebijakan, strategi, dan rencana tindak penanggulangan sampah secara nasional.
I. Rehabilitasi NAD dan Nias
1. Permasalahan yang Dihadapi
Bencana gempa bumi pada
yang berkekuatan 8,9 skala Richter yang diikuti gelombang tsunami di NAD dan
Pulau Nias, Sumatra Utara di penghujung tahun 2004 telah menelan korban jiwa
dan harta benda dalam jumlah yang sangat besar. Akibat dari bencana tersebut,
kehidupan masyarakat di wilayah terkena bencana mengalami kelumpuhan hampir di
semua bidang. Untuk membangun kembali masyarakat NAD dan Nias yang hancur,
diupayakan melalui rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana, setelah upaya
tanggap darurat selesai dilaksanakan.
Pembangunan kembali
masyarakat dan wilayah NAD dan Nias dihadapkan pada berbagai masalah, antara
lain (1) korban manusia yang sangat
besar, baik yang meninggal maupun yang hilang, hancurnya permukiman
penduduk; (2) lumpuhnya pelayanan dasar
kesehatan, pendidikan, keamanan, sosial, dan pelayanan pemerintahan; (3)
tidak berfungsinya infrastruktur dasar,
seperti jalan, air bersih, rumah sakit, listrik, pelabuhan, sistem transportasi
dan telekomunikasi; dan (4) hancurnya
sistem sosial dan ekonomi sehingga aktivitas produksi, perdagangan, dan
perbankan mengalami stagnasi total.
2. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Adapun langkah-langkah
kebijakan yang dilaksanakan sejak terjadinya gempa bumi dan tsunami, Pemerintah
mengambil langkah-langkah penanggulangan di antaranya segera menyatakan bencana
Aceh dan Sumatra Utara ini sebagai bencana nasional melalui Keppres Nomor 112
Tahun 2004. Hal ini disertai arahan direktif kepada seluruh jajaran Kabinet
Indonesia Bersatu dan kepala daerah terkait untuk melakukan tindakan secara
komprehensif dalam penanganan tanggap darurat bencana alam tersebut, yang
selanjutnya, telah diterbitkan pula Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2005
tentang Kegiatan Tanggap Darurat dan Perencanaan serta Persiapan Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Pascagempa dan Tsunami. Sementara itu, dalam melakukan
penanganan darurat dilakukan mobilisasi sumber daya nasional dan daerah,
melalui pembentukan Satuan Koordinasi Pelaksana Khusus Aceh yang beranggotakan
para pejabat kementerian/lembaga terkait, yang secara operasional diarahkan
pada kegiatan evakuasi dan pemakaman jenazah korban, penanganan pengungsi,
pemberian bantuan darurat, pelayanan kesehatan, sanitasi dan air bersih,
pembersihan kota dan penyiapan hunian sementara (huntara). Selanjutnya, untuk
mengembalikan fungsi pemerintah daerah diturunkan sejumlah Tim Pendamping dari
Departemen Dalam Negeri ke dua puluh kabupaten/kota di Provinsi NAD, serta
dilakukan pembentukan pos-pos komando untuk memperlancar pelaksanaan bantuan
tanggap darurat oleh setiap instansi, dan pengamanan berbagai arsip/dokumen
pertanahan.
Upaya penanggulangan dan
pemulihan tersebut dilakukan dengan pendekatan secara utuh dan terpadu melalui
tiga tahapan, yaitu tanggap darurat, rehabilitasi dan rekontruksi, yang harus
berjalan secara bersamaan dalam pelaksanaan penanggulangan dampak bencana.
Tahap tanggap darurat, yang telah dilaksanakan pada bulan Januari 2005 sampai
dengan Maret 2005, bertujuan menyelamatkan masyarakat yang masih hidup dengan
sasaran utama adalah penyelamatan dan pertolongan kemanusiaan. Pada tahap
tanggap darurat tersebut masyarakat umum, Pemda NAD, unsur-unsur TNI, PMI,
berbagai LSM lokal/nasional dan pihak lainnya dengan sigap membantu
menyelamatkan kehidupan dari keluluhlantakan tersebut. Respon masyarakat
Indonesia tersebut sangat luar biasa besar dalam membantu masyarakat Aceh dan
Nias mengatasi akibat bencana ini. Di samping itu, dukungan masyarakat
internasional melalui tim penyelamat (rescue
team) sangat membantu percepatan upaya-upaya tanggap darurat dengan
berbagai perlengkapan dan tim medisnya, dan juga besarnya kesediaan (commitment) para donor multilateral dan
bilateral dan masyarakat internasional dalam memulihkan masyarakat NAD dan
Nias.
Selanjutnya,
tahap rehabilitasi, yang ditargetkan dapat dilaksanakan mulai April 2005 hingga
Desember 2006, ditujukan untuk mengembalikan dan memulihkan fungsi bangunan dan
infrastruktur yang mendesak dilakukan untuk menindaklanjuti tahap tanggap
darurat, seperti rehabilitasi masjid, rumah sakit, infrastruktur sosial dasar,
serta prasarana dan sarana perekonomian yang sangat diperlukan. Sasaran utama
dari tahap rehabilitasi ini adalah untuk memperbaiki pelayanan publik hingga
pada tingkat yang memadai. Dalam tahap rehabilitasi ini, juga diupayakan
penyelesaian berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek hukum melalui
penyelesaian hak atas tanah, dan yang terkait dengan aspek psikologis melalui
penanganan trauma korban bencana.
Pada
tahap rekonstruksi, yang ditargetkan dapat dilaksanakan mulai bulan Juli 2005
hingga akhir tahun 2009, ditujukan untuk membangun kembali kawasan kota, desa
dan aglomerasi kawasan dengan melibatkan semua masyarakat korban bencana, para
pakar, perwakilan lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha. Sasaran akhir
tahap rekonstruksi ini adalah terbangunnya kembali kehidupan masyarakat yang
lebih baik di wilayah yang terkena bencana. Pada tahap ini juga akan dibangun
instalasi sistem peringatan dini bencana alam untuk mencegah korban yang besar
di kemudian hari jika terjadi bencana gempa bumi dan tsunami lagi di berbagai
wilayah negara.
Pada saat ini tahap tanggap darurat telah selesai
dilaksanakan, dan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias telah dimulai.
Dari segi pendanaan, telah diperoleh persetujuan
dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk menganggarkan Rp 8,4 triliun bagi proses
rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias untuk tahun anggaran
2005, dengan rincian Rp3,9 triliun akan disalurkan melalui Badan
Pelaksana Rekonstruksi dan Rehabilitasi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan
Nias, dan sisanya, Rp4,4 triliun
akan dikerjakan oleh kementerian atau
lembaga negara terkait setelah melakukan
koordinasi dengan BRR.
Di luar anggaran
pemerintah, proses rehabilitasi dan rekonstruksi telah berhasil menjaring
komitmen dari negara-negara donor, baik
secara bilateral maupun multilateral, dukungan lembaga internasional yang tergabung di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
LSM internasional dan partisipasi kalangan perusahaan swasta, dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Beberapa hasil pembangunan yang dilaksanakan
sampai dengan akhir bulan Juli 2005 adalah dibangunnya 3.200 unit rumah di
sejumlah lokasi di Aceh dan Nias
oleh berbagai lembaga dalam dan luar negeri. Untuk pembangunan kembali akses
transportasi, Pemerintah dengan bantuan Palang Merah Singapura dan Pemerintah
Singapura, telah memulai pelaksanaan pengerjaan Pelabuhan Meulaboh, dan melalui
bantuan pemerintah Australia dan United
Nations Development Programme (UNDP) kegiatan pembangunan kembali Pelabuhan Ulee Lheue di Banda Aceh juga tengah berlangsung. Untuk
pemulihan kembali sebagian akses jalan di pantai barat Aceh,
pemerintah Amerika Serikat melalui United
States Agency for International Development
(USAID), telah menyetujui pendanaan untuk pembangunan kembali jalan raya antara Meulaboh dan Banda Aceh. Hasil-hasil lain sejauh ini
adalah pembentukan 20 children center
yang merupakan tempat perawatan kesehatan anak dan penanganan trauma
psikologis, pendataan penduduk, dan aktivitas ekonomi masyarakat pascabencana,
pemulihan aktivitas
kepemudaan, dan keolahragaan serta fungsi-fungsi kelembagaannya.
3. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Dengan
memerhatikan proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang sedang dilaksanakan,
beberapa isu strategis yang memerlukan perhatian adalah (1) persoalan pemilikan
hak tanah dan tata guna lahan;
(2) kurangnya ketersediaan bahan
baku dan bangunan dalam jumlah besar akibat rusaknya mata rantai
distribusi dan penyimpanan; (3) kemungkinan terjadinya peningkatan harga barang akibat membengkaknya permintaan di pasar; (4) isu korupsi yang
memerlukan proses audit untuk
menjamin berlangsungnya prinsip transparansi dan akuntabilitas; (5)
pelaksanaan Proyek Ladia Galaska
yang berpotensi mengganggu kelestarian hutan Leuser jika tidak dikelola dengan baik; (5) keefektifan upaya
reformasi birokrasi dan pemerintahan dengan memberdayakan dan membangun kembali birokrasi dan aparat
pemerintah daerah; dan (6) tindak
lanjut dari proses perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) di Helsinki,
yang menuntut kesiapan dari pihak Pemerintah untuk mempersiapkan upaya penciptaan lapangan kerja dan pemukiman kembali para anggota eks-GAM di tengah masyarakat Aceh.
Assalamu'alaikum wr wb,
ReplyDeleteJika bank anda mengatakan tidak untuk anda untuk pinjaman, di sana adalah tempat asli di mana anda bisa mendapatkan pinjaman asli. Saya ingin merekomendasikan sebuah organisasi pinjaman islam saya menemukan online untuk semua saudara-saudara muslim dan saudari yang sedang mencari pinjaman cepat untuk cepat menyelesaikan masalah yang mendesak. Saya mendapat pinjaman sebesar Rp800.000.000.00 aku digunakan untuk merenovasi sekolah saya dan yang lainnya onece aku digunakan untuk memperluas pabrik pengolahan makanan. Saya mendapat pinjaman dari mereka beberapa bulan yang lalu. Saya merekomendasikan mereka karena ada begitu banyak palsu pinjaman perusahaan online. Saya diarahkan kepada mereka oleh kakak saya yang juga mendapat pinjaman sebesar Rp500.000.000 dari mereka. Sebelum saya menghubungi mereka untuk pinjaman, saya juga melakukan banyak penelitian tentang mereka dan menemukan bahwa mereka benar-benar asli. Mereka tidak seperti kebanyakan western pinjaman perusahaan itu adalah palsu. Jadi saya mengajukan pinjaman tanpa jaminan agunan dengan mereka. Mereka memberikan pinjaman sesuai dengan hukum Islam dan peraturan yang berlaku. Tidak ada jaminan yang dibutuhkan. Tidak ada biaya tersembunyi. Mereka pinjaman proses cepat dan sederhana. Tapi Anda harus bisa meyakinkan mereka bahwa anda akan membayar kembali pinjaman. Saya ingin menyarankan semua muslim sejati ke kontak Email mereka: (islamicloanempowerment@gmail.com)
Wassalamu alaikum wr wb.